CERPEN KE 11 BUKU KUMPULAN CERPEN KE 3
(11)
GEGARA
SOUND HOREG.
Sunyoto Sutyono
Di
daerahku lagi demam sound horeg. Sebenarnya sound horeg cocoknya di mainkan di
tanah lapang, atau di Gedung pertemuan yang cukup luas. Karena sound system
yang ribuan waat itu suaranya menggelegar membuat lingkungan sekitar horeg
(bergetar) hebat.
Tetangga
saya pak Hamid punya acara menikahkan putrinya, dengan menyewa sound system horeg
sebagai hiburan di rumahnya perkampungan padat penduduknya. Kami dengannya satu
RT. Saya di lingkungan perumahan, pak Hamid di lingkungan luar perumahan,
dipisahkan oleh jalan raya yang membelah lingkungan kami.
Kami
berbeda selera dan gaya hidup, dan karakter. Latar belakang pendidikan,
pekerjaan, status sosial menjadikan beda dengan masyarakat lingkungan kripikan,
rumah pak Hamid. Misal selera musik bila ada hajatan, kami di perumahan
lebih suka masik yang kalem tenang. Sedang di lingkungan luar perumahan,
seleranya keras, bisa terdengar dari jarak jauh, tak peduli tetangga
terganggu.
Hari
sabtu pagi pukul 08.00, di rumah pak Hamid cek sound. Tetangga sekitar pada
kaget, Suara memekakkan telinga, jendela-jendela kaca bergetar keras. Awalnya
para tetangga bisa memaklumi, bahwa keluarga pak Hamid mampu menyelenggarakan
pesta perkawinan putri semata wayangnya semeriah itu.
Namun
mulai jam 08.00 sampai istirahat saat adzan dhuhur non stop dibombardhir
gemuruh suara sound. Timbul
ketidak nyamanan pada masyarakat sekitar terutama warga lingkungan perumahan.
“Yaa Allah, apa tidak bisa dikecilkan sedikit volumenya sih! Jendela rumah
saya sampai pecah lo pak Tik,” keluh pak Jos, pemilik bengkel mobil yang
rumahnya berseberangan persis depan
rumah Pak Hamid.
”Ya bisa pak, volumenya bisa dibesarkan atau dikecilkan. Tergantung
perjanjian antara pak Hamid dengan pemilik sound.” kata pak Tikno.
”Apa hany,a saya, yang merasa tidak nyaman? Pak Tik dan para tetangga lain
tidak merasa terganggu?” tanya pak Jos kesal, pada pak Tik tetangga sebelah
rumah.
”Pasti, semua sangat terganggu. Istri dan cucu saya sampai mengungsi ke
rumah mertua di gang tiga. Mereka tidak bisa istirahat siang.” kata pak Tikno.
”Kita laporkan saja ke pak RT, bagaimana?” kata pak Jos.
Pak Tik setuju.
Tidak menuggu lama, setelah shalat dhuhur di masjid, pak
Jos ditemani pak Tik melapor ke pak RT
lewat telepon. Sementara
itu sound di hidupkan lagi menggelegar, dada rasanya seperti di dihantam palu
godam oleh dentuman bass dram. Pak RT yang diseberang sana mendengar gemuruh
sound dari rumah pak Hamid.
Suara telepon pak Jos menjadi kurang terdengar jelas. Pak
RT segera menutup telepon dari pak Jos. Menghubungi pak Hamid. Terjadi sedikit
cekcok, antara pak RT dengan pak Hamid. Namun dengan penjelasan panjang lebar
akhirnya pak Hamid mengerti.
Diluar dugaan, si tukang sound tidak bisa menerima
teguran dari pak Hamid atas himbauan pak RT tersebut. Dia merasa dirugikan.
Kalau sound nya dikecilkan volumenya, anggapannya menurunkan citra dan pasaran sound horeg miliknya. Para penggemar
yang sudah tersebar luas di masyarakat pasti kecewa.
”Pak Hamid merasa sudah menyewa, punya hak mengatur di
rumahnya sendiri. Ya sudah, diambil jalan tengah. Hari ini kita patuhi himbauan
pak RT, sehari besok bolehlah.” kata pak Hamid.
Tukang sound bersungut-sungut, mengomel namun menurut demi pelayanan
pada tuan rumah. Para tetangga perumahanpun merasa lega sehari itu. (Snt)
Jember, Juni 2025.

Komentar
Posting Komentar