CERPEN 1 BUKU KUMPULAN CERPEN KE 3.
Cerpen dibawah ini saya rencanakan untuk kami terbitkan dalam buku kumpulan cerpen ke 3 atas nama saya sendiri. Sudah ada 15 judul cerpen yang akan saya jadikan buku kumpulan cerpen ke 3 saya.
(1)
KENANGAN ITU ADA DI SINI
Sunyoto Sutyono
Sejak kecil Djaka diasuh oleh Kakek Nenek, dilimpahi kasih sayang dan kehangatan luar biasa. Yah begitulah, dimana-mana cucu kesayangan pastilah diistimewakan dan dimanjakan.
Kakek adalah
pensiunan guru/Kepala Sekolah Rakyat yang secara ekonomi cukup mampu. Rumahnya
gedung tinggi, luas berlantai semen plester cukup bergengsi pada jaman itu.
Perabotan tidak banyak, beberapa meja marmer kursi kayu jati tempat duduk
anyaman rotan. lemari kaca kayu jati untuk pakaian di kamar tidur. Di ruang
tamu lemari kaca isinya pecah belah barang dapur yang jarang dipakai.
Ada simbul kebesaran orang jawa berupa pusaka
tombak panjang, beberapa keris, tiga ekor kuda di kandangnya. Secara sosial
keluarga Kakek sangat dihormati oleh masyarakat desa Bendo, di daerah
pegunungan kecamatan Karang Nongko.
Jujur saya tak
memikirkan kedua orang tua dan saudara-suadara saya. Sampai suatu saat ditanya
oleh pak guru di sekolah. Saya mengatakan ayahku adalah kakek Martodihardjo,
dan ibuku nenek Pariworo. Pak guru mengatakan ”itu kan kakek nenekmu. Nama
kedua orang tua dan saudaramu?” Saya pikir kakek nenek itulah orang tuaku.
Sejak itu baru memikirkan sejarah hidupku sebenarnya.
”Nek siapa Ayah Ibu
dan saudara sekandungku?” tanyaku suatu malam menjelang tidur.
”Kenapa kau tanyakan
itu?”
”Pak guru di sekolah
kemarin menanyakan itu dan saya tidak tahu.”
“Ayahmu adalah pak
Pradjoko dan ibumu bu Sulasmi. Mereka tinggal di kecamatan sebelah, sebagai
guru SR. Waktu kau lahir kakak laki-lakimu baru berusia dua tahun. Setelah
umurmu satu tahun, ibumu sakit-sakitan sehingga kerepotan mengasuh kamu dan
kakakmu.
Kamu dititipkan pada
nenek di sini sampai sekarang. Ibumu mengandung lagi dan melahirkan adikmu
perempuan yang sekarang diasuh oleh Budhemu. Ketika mengandung adikmu, keluarga
ayahmu pindah pulang ke rumah orang tua Ayahmu di kampung njaten, dekat sekolahanmu
itu.” cerita nenek.
”Tetapi saya
terlanjur berpikir bahwa nenek dan kakek itu ayah ibuku.”
”Ya sekarang kamu kan
sudah besar sudah kelas empat. Jadi sudah mengerti siapa orang tuamu dan siapa
kakek nenekmu, siapa saja saudara kandungmu.” jelas nenek.
”Bolehkan saya tetap
disini ikut nenek kakek?” tanyaku
”Tentu boleh, akan
tetapi kakek dan nenek sudah semakin tua, sehingga tidak sekuat dulu. Mulai
sekarang kamu harus membiasakan dengan mereka. Sering main ke rumah ayah ibumu,
membantu-bantu kerja disana. Ibumu kan punya toko pracangan. Kamu bisa bantu mengasuh
adik-adikmu, atau jaga toko ketika ibumu lagi sibuk di dapur” ujar nenek.
”Maksudnya saya harus
ikut di rumah ayah ibu Pradjoko gitu? Kan di sini saya punya piaraan
domba-domba, lalu bagaimana? Kasihan kalau saya tinggalkan begitu saja.
Terutama anak-anaknya yang lucu-lucu menggemaskan.”
”Maksud nenek kamu
sering-seringlah kesana, supaya lebih dekat dengan keluarga disana. Soal
kambing, itu gampang. Lagian sebentar lagi kamu
naik kelas lima, tahun depannya kelas enam kemudian tamat, melanjutkan
SMP di kota seperti kakakmu.” Jawab nenek.
“Nanti kalau saya
sudah naik kelas enam saja ya nek? Kalau di kota kost dengan orang lain ya nek?
Pasti saya nanti kangen pada nenek dan semua yang ada disini.”
”Makanya mulai
sekarang belajar hidup jauh dari nenek. Di kota itu ramai, bila malam terang
benderang oleh cahaya lampu listrik, banyak toko, kendaraan lalu lalang,
pokoknya segala kemajuan yang belum pernah kamu ketahui akan kamu alami, pasti
kamu betah di kota. Tidak seperti di desa ini gelap dan sepi.”
Djaka terdiam pikirannya membayangkan suasana
desanya yang masih perawan. Belum disentuh kemajuan budaya modern kota. Jalanan
gelap tidak beraspal, kendaraan umum hanya ada sepekan dua kali dari desa ke
kota kabupaten dan sebaliknya, Telepon hanya satu di kantor kecamatan.
Lampu penerangan
rumah penduduk memakai lampu petromaks, lampu tempel (teplok) dan lampu
ublik. Sekolah masih sangat mengandalkan serba ingatan. Murid sekolah
Rakyat (SR) atau sekolah Dasar (SD) tidak pernah mencatat pelajaran dalam buku
tulis. Semua pelajaran di kerjakan di sabak, dengan alat tulis namanya grip.
Karena sabak hanya satu untuk masing-masing anak, setelah selesai mengerjakan
pelajaran tertentu, langsung dinilai oleh guru lalu dihapus, ketika ganti mata
pelajaran lain.
Cita-cita kami para
murid di desa pada tahun lima puluhan itu, sangat sederhana. Karena pengetahuan
kami terbatas seputar orang desa. Tidak ada yang ingin menjadi pilot, penyair,
cerpenis, pelukis, pemusik, pemain film, conten creator, tidak ada.
Semua yang terlintas
hanya yang keseharian kita lihat nyata di desa.
Ketika SR/SD saya suka membantu orang tua menjaga toko pracangan
sembako, memelihara kambing, mencari kayu bakar, membantu menjaga adik-adik,
latihan naik sepeda. Berkebun menjala
ikan di sungai bersama ayah.
Terdengar dengkur
halus, rupanya nenek sudah tidur. Saya kembali berhayal tentang
kota. Sekolah di kota pasti harus bersepatu, banyak saingan, banyak anak yang
pintar. Sekolahnya maju, banyak pengetahuan baru, sehingga cita-cita ku tidak
lagi seperti waktu sekolah di desa. Saya senang sih dengan semua itu.
Walau demikian tidak boleh melupakan hal-hal
baik yang diajarkan di desa. Misalnya
budaya sopan santun, etika pergaulan, keramahan, gotong royong masih layak
dipertahankan. Hidup di kota pasti lebih banyak tantangan, karakter masyarakat
berbeda, saya harus bisa beradaptasi dengan gaya hidup di kota asal tidak
kebablasan dan terjerumus dalam ombak kemajuan kota terutama yang negatif.
Kakek pernah bilang
”kalau sudah sekolah di kota jadi orang pintar, jangan lupa pulang untuk
membangun desanya, supaya lebih maju seperti di kota.” Begitu asyiknya melamun,
mulut berkali-kali menguap tanda mulai mengantuk. Tak lama kemudian saya
tertidur pulas.
Ketika bangun pagi
hari udara dingin menyergap, burung berkicau di pepohonan seputar rumah. Kakek
menyuruh siap-siap. Segera mandi dan sarapan pagi, karena akan diajak naik
kuda, tilik saudara di Kecamatan sebelah.
Untuk menuju rumah
saudara berjarak 25 km, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki, atau naik
kuda. Kondisi jalan, menyeberang sungai
belum ada jembatan dan juga memang belum ada kendaraan bermotor.
Sepanjang perjalanan
kakek menjelaskan seperti layaknya seorang guide turis. Perjalanan hari
itu sangat mengesankan bagi saya bersama kakek. Begitu kita sudah pulang ke
rumah kembali ke rutinitas. Sekolah, menyabit rumput dan menggembala kambing,
menjaga adik di rumah ibu. Waktu berjalan begitu cepat tanpa terasa, tiba waktunya
saya naik ke kelas enam. Sudah saatnya meninggalkan nenek, ikut di njaten rumah
orang tua. Saya lega ketika Adik perempuan yang nomer empat menggantikan
menemani nenek agar tidak kesepian.
Dibawah bimbingan
Ayah, saya bisa belajar lebih intensif supaya bisa lulus SR dengan nilai baik.
Selama setahun kami sekeluarga benar-benar merasakan hangatnya hidup bersama
ayah bunda dan adik-adik.
***
Rasanya begitu
singkat tinggal bersama saudara, saya harus melanjutkan SMP di kota. Kami
pulang hanya bila liburan sekolah. Roda waktu berputar cepat, usia manusia
semakin menua. Saya berpindah dari satu kota ke kota lain melanjutkan studi,
dan akhirnya menetap dan berkeluarga di kota lain.
Rumah masa kecilku
itu tak mampu lagi menahan gempuran jaman. Situasi dan kondisi di desa Karang
Nongko sudah berubah pesat, maju seperti kota. Kini saya merasa asing di desa
sendiri. Para sesepuh, saudara, teman,
kenalan lama yang sebaya, sudah berganti generasi baru yang kebanyakan saya tak
mengenal mereka.
Magnit penarik yang
dirindukan untuk pulang kampung menjadi semakin kehilangan daya tariknya.
Apalagi setelah kakek nenek, dan kedua
orang tua kami berpulang. Rumah peninggalan merekapun sudah lenyap tinggal
puing pondasi dan lantai sebagai saksi bisu.
Maafkan Kek bila
kutak ikut membangun desa kita. Kenangan masa kecil tetap terukir di dada ini. Saya terlahir,
menikmati masa anak-anak yang indah disini, suatu saat nanti Insyaa Allah
menjadi cerita menarik bagi anak cucu kami. (snt)
Jember,
20 Mei 2025

Komentar
Posting Komentar