MBAH MARTO DIHAHARDJO
SIMBAH KAKUNG (Almarhum)
SIMBAH MOEKIDJAN al MARTODIHARDJO bin ACHMAD RASYID
Simbah Martodihardjo kemudian
menikah dengan mbah putri Pariworo adalah pepunden yang menurunkan keluarga
Jepun dari Dongko. Beliau adalah Bapak dari
sembilan putra putri Keluarga Simbah Guru Dongko. Menurut penuturan Pak
Lek Drs. H. Slamet Martowidjojo si
Bungsu dari keluarga ini, Simbah Kakung Martodihardjo itu pendiam, disiplin, sehingga putra-putrinya
sangat takut bila melanggar ketentuan atau membuat kesalahan.
Beliau berprofesi sebagai guru
SR (Sekolah Rakyat) Negeri dan terakhir
pensiun sebagai Kepala SR Negeri Dongko I. Beliau adalah merupakan tokoh
panutan dunia pendidikan di Kecamatan
Dongko kab Trenggalek. Sangat berpengaruh dan sangat dihormati oleh masyarakat
kalangan pendidikan, kalangan pemerintahan maupun masyarakat biasa pada umumnya
di Kec Dongko. Kalau memperhatikan jejak sejarah dan bukti peninggalan, bahwa
beliau itu priyayi yang gemi, nastiti,
ngati-ati. Sebagai guru PNS jaman dahulu berapa gajinya, karena itu pilihan
hidup sampingan adalah bertani. Simbah tidak kaya namun cukup sandang pangan
dan papan.
Diluar dinas beliau senang
sekali bertani sampai akhir hayatnya. Beliau hidup sederhana, rajin menabung
berinvestasi berupa tanah dan pekarangan yang ditanami berbagai buah-buahan, memelihara ikan mujaer, tombro
di kolam dekat Pasar Dongko, dan menanam kobis lombok dan sayuran lain demi menyalurkan hobi bertaninya.
Postur tubuh simbah kakung itu
sedang tidak tinggi tidak rendah
tidak gemuk tidak kurus ukuran
orang Indonesia pada umumnya, berkulit sawo matang, berambut lurus berhidung
mancung.
Menurut penulis, yang sejak
kecil dibesarkan ikut simbah, simbah itu
kereng atau keras, tegas tetapi lembut dan sayang serta tidak mau diam. Beliau senang membaca
buku-buku ilmu tuwa misalnya gatoloco, darmo gandul sapto darmo dan
lain-lain. Waktu itu saya masih kecil sehingga tidak boleh membaca itu. Pernah
waktu itu saya melihat buku judulnya Darmo gandul, eh ketangkap simbah. “anak
kecil dilarang baca buku itu”
Rumah tinggal mbah Marto itu
dulu rumah gedong termasuk mentereng sangat dikenal masyarakat. Lokasinya dekat
pasar Dongko di jalan raya Daendels Jl. Panglima Soedirman sekarang. Dari jalan
raya struktur tanahnya sedikit menaik karena itu keluarga sering mengatakan
rumah simbah itu dengan sebutan omah nduwur. Didepan pendopo mah nduwur itu
dulu ada rumah yang ditempati oleh keluarga mbah Markam dan disebelah mah duwur
itu dulu ada rumah ditempati oleh keluarga pak de Diroen (Ayah Pakde Paidjo,
Pakde Surat, dan Yu Tumini)
Sayang karena tidak ada yang
merawat rumah (mah nduwur) itu dirobohkan dan kini tersisa rumah kecil yang
dulunya dapur ditempati oleh bude Sujami istri pakde Adi soemarto. Masih untung
tanahnya masih milik keluarga mbah Martodihardjo. Bagi saya, Bulik Warni,
paklik Slamet, rumah itu sangat berarti karena merupakan prasasti sejarah TMGD.
Di dunia tidak ada yang abadi, semua itu tinggal kenangan.
SIMBAH PUTRI PARIWORO
BINTI TOIKROMO
(Almarhumah)
Simbah
Putri adalah keturunan Buyut Toikromo seorang Demang KE 4 di Desa Dongko Tempo
Doeloe. Sesaudara Kandung ada empat yaitu (1)
Eyang Paimin al Mangoen Admodjo,
berdomisili di Watu kuncung, (2) Eyang Paiman al
Martodisastro, demang Desa dongko menggantikan buyut Toikromo
berdomisili di Desa Dongko, (3) Eyang Painah menikah dengan Eyang Karto Dihardjo, Carik desa Dongko berasal
dari Puru berdomisili di watu kuncung.
(4) Eyang PARIWORO binti
Toikromo istri dari simbah MOEKIDJAN al MARTO DIHARDJO bin ACHMAD RASYID.
adalah ibu dari sembilan putra putrinya.
Beliau bersahaja, kalem,
sabar, sangat peduli dan senantiasa menjalin hubungan silaturahmi dengan
keluarga dan kerabatnya. Postur tubuh beliau termasuk tinggi tidak gemuk, kulitnya bersih kuning langsat,
rambut lurus selalu digelung rapi, berkebaya dan memakai kain panjang. Simbah
putri ini setiap hari makan sirih, makanya giginya coklat tetapi tidak pernah
sakit gigi. Beliau adalah yang menurunkan silsilah “TRAH MBAH GURU DONGKO”
Menurut Pak lek Slamet
Martowidjojo putra bungsu, bunda Pariworo adalah seorang ibu yang sabar dan
murah sernyum serta sayang anak dan cucu
cucunya. Pada saat tertentu secara periodik simbah Marto kakung putri sering berkunjung ke rumah anak cucunya, baik
yang diluar kota atau pun dalam kota. Bila liburan panjang anak cucu sering
bersilaturahim ke njepun Dongko, dan itulah kebahagiaan yang beliau rasakan semua
anak cucu pada ngumpul.
Penulis sejak masa kanak-kanak sampai kelas 6 SD diasuh simbah Pariworo di rumah njepun. Selama ikut
simbah saya merasakan simbah kakung dan mbah putri sangat sayang bahkan memanjakan.
Mbah putri itu gerak geriknya kalem, tutur katanya adem kepada siapa saja,
sabar pengertian dan bijaksana. Kepada mbah kakung sangat berbakti, sopan dan
perhatian ingat-ingat seperti pasangan putri-putri kraton jaman dahulu. Tidak
sembarangan bicara atau berolok-olok seperti keluarga muda modern seperti jaman
sekarang. Simbah putri tidak bekerja di kantor seperti putri-putri jaman
sekarang, beliau ibu rumah tangga mendidik dan membesarkan anak-anak, suami
bertugas mencari nafkah. Begitulah prinsip keuarga embah Martodihardjo.
Dulu kalau simbah bertandang
ke rumah mbah Niti Soedarmo (ayah dari Bapak Soetijono) para simbah (mbah Niti
putri, mbah Jekso, mbah Joyo dan mbah Pariworo) pada main kartu cina yaitu main
slembrek atau sampen atau main ceki. Sebagai penyemangat dalam bermain mereka
taruhan uang kecil-kecilan atau lotre daging ayam hanya sebagai hiburan sesaat.
Mbah
Martodihardjo dengan mbah Pariworo
menurunkan Sembilan putra putri ( GENERASI PERTAMA /
GENERASI ANAK )
Komentar
Posting Komentar