NOVEL PLAYING VICTIM.

 

PLAYING VICTIM

(Menyalahkan, Marah, Depresi, Menyendiri)   

 

 

Sunyoto Sutyono

2023

 

 

Daftar Isi

 

Halaman Judul ..... hal.  i

Daftar Isi ...... hal. iii

Prakata  Penulis....... hal. iv

01. Episode Mengangkat Anak, ...... hal. 1

02. Episode Masa Kecil Bahagia, ...... hal. 15.                 

03. Episode Orang Tua Lalai ..... hal. 30

04. Episode Semakin Jadi ,...... hal. 40

05. Episode Ada Yang Berubah, ........ hal. 49

06. Episode Tak Merasa Bersalah, ..... hal. 60

07. Episode Bencana, ...... hal. 69

08. Episode Menguak Jati Diri, .....hal. 90

09. Episode Bertengkar Hebat, ....... hal. 99

10. Episode Perenungan Dhina, ........hal. 118

11. Episode Victim Mentality, ........ hal. 123

12. Episode Berbagai Solusi. ....... hal. 133

13. Episode Membuat Prestasi, ....... hal. 141.

14. Episode Penutup, ........ hal. 151

15. Biodata Penulis, ........ hal. 156

 

 

***


Prakata Penulis.

 

Assalamu‘alaikum warroh matullohi wabarokaatu.

Langkah awal dalam menulis novel sangatlah sulit, namun tiada langkah awal berarti tiada langkah selanjutnya. Alhamdulillah puji syukur kehadhirat Allah SWT atas ridhonya, akhirnya dengan susah payah saya dapat mewujudkan menyelesaikan Novel pertama saya Saya beri judul “PLAYING VICTIM (Marah, Depresi, Menyendiri)

Dalam Novel ini Sunyoto Sutyono bercerita tentang seorang cewek mengalami berbagai trauma  masa lalu yang menyebabkan berperilaku menyimpang. Suka marah-marah, menyalahkan orang lain, selalu berpikir negatif.. Dalam buku ini diceritakan bagaimana keluarga menyikapi agar anaknya yang masih kecil tidak terkena dampak buruknya.

Buku ini dapat menjadi bacaan bagi siapa saja yang sudah remaja sampai dewasa. Sehingga dapat menarik manfaat bila menyikapi orang yang demikian, dimanapun berada. Dalam hal ini bisa terjadi di keluarga, di tempat kerja, di sekolah agar selamat paling tidak untuk dirinya sendiri syukur-syukur bisa membantu si penderita playing victim tersebut.

Pada kesempatan ini saya untuk yang ketiga kalinya, secara tulus kembali mengucapkan terima kasih kepada owner Tidar Media yang telah membantu saya  dalam menerbitkan buku-buku saya.

Jujur buku ini masih jauh dari sempurna, saya bisa menerima kritik dan saran positif dari para pembaca. Semoga buku ini disukai oleh para pembaca budiman, karena bermanfaat.

Billahit taufiq wal hiddayah, Assalamu ‘alaikum warroh matullohi wabarokaatu.

SELAMAT MEBACA, SALAM LITERASI

Jember, 2023

Sunyoto Sutyono

 




EPISODE 1

Mengangkat Anak.

 

 

 

Sejak tahun seribu sembilan ratus delapan puluhan Galih Raharjo pemuda dari desa Punjung, kecamatan Sepanjang Kabupaten Karang Harjo. merantau memenuhi panggilan tugas dinas. Menjadi guru di sekolah kejuruan negeri Kecamatan Jati Mulyo, wilayah Kabupaten Jati Mas.

Setelah menjadi guru, Galih Raharjo akrab dipanggil pak Galih. Dia berperawakan kurus krempeng, tinggi semampai, rambut lurus hitam kecoklatan sedikit gondrong di sisir rapi. Raut muka lumayan menarik, selalu dihiasi senyum dibibirnya. Orangnya cerdas, kreatif, sopan, irit bicara namun bermutu, humoris dan baik hati. Dia menyukai hampir segala bentuk seni dan olah raga.

Dua tahun sudah pak Galih kost di rumah seorang janda setengah baya ibu Syariyah dengan putrinya. Seorang gadis  masih sekolah di SMA Negeri Jati Mulyo. Hubungan pak Galih dengan keluarga ibu Syariyah dan  putrinya, sangat akrab dan harmonis seperti keluarga sendiri. Safitri Rahmadhani nama gadis itu, keseharian dipanggil Fitri. Rambutnya hitam keriting sebahu, kulit sawo matang, sorot mata tajam, postur tubuhnya mungil, ramah, dari keluarga taat beragama. Karena keakraban mereka bertiga itulah, akhirnya pak Galih mendapat lampu hijau dan mereka saling jatuh cinta. Kata pepatah jawa witing tresno jalaran soko kulino. Setelah mendapat restu dari ibu Syariyah beserta keluarga besarnya masing-masing, pak Galih hmenikah dengan Safitri Ramadhani.

Sepuluh tahun sudah berlalu kebahagiaan mereka bertiga, di rumah itu terasa kurang sempurna karena belum hadirnya buah hati dambaan keluarga. Berbagai upaya medis, sudah dicoba termasuk mencoba program bayi tabung. Mungkin Allah sudah mentakdirkan demikian. Pasutri Galih dan Safitri sedih, namun mereka berdua sudah berserah diri kepada takdir Allah swt. Dengan rasa prihatin yang dalam, ibu mertua akhirnya juga menyerah pada takdir putra putrinya.

Ketika pak Galih mengajak istrinya pulang ke desa Punjung, desa kelahirannya, Ibu Warjiman mertua Fitri menanyakan.

“Mbak Fitri sudah sepuluh tahun, kok belum dikaruniai momongan lo. Ibu ingin sekali menimang cucu anaknya Galih.” Deg dada Fitri seperti tertindih balok besar sehingga sementara tidak kuasa berkata-kata. Setelah bisa menata hati barulah dia mampu berkata.

“Tidak tahu bu, Allah belum berkenan memberinya.” jawab Fitri dengan wajah sendu pipinya memerah karena malu dan teriris hatinya.

“Iya bu, padahal kami sudah berkonsultasi dengan dokter dan mengkonsumsi berbagai macam obat serta terapy, tidak ada hasilnya. Kami sudah lelah dan menyerah. Barang kali ini sudah takdir kami.” sahut pak Galih melengkapi jawab istrinya.

“Ya sudah jangan bersedih.” hibur Bu Warjiman ibu kandung pak Galih. Lalu ibu bercerita, mereka berdua mendengarkan dengan serius.

“Kebetulan kang Akad tetangga kita, kamu masih ingat kan Leh?”

“Ya ingatlah” jawab pak Galih.

“Nah itu, istri kang Akad melahirkan bayi perempuan cantik, lucu, kulitnya putih, sehat. Dia anaknya sudah banyak. Berkeinginan menyerahkan bayinya kepada orang lain yang bersedia dan mampu merawat anaknya dengan penuh kasih sayang dari keluarga yang cukup ekonominya. Sebenarnya kang Akad juga terpaksa menyerahkan anaknya kepada orang lain. Namun terpaksa keluarganya tidak mampu, anaknya banyak. Maka hal itu harus dilakukan demi kesejahteraan dan kebahagiaan putrinya yang masih baru lahir satu bulan lalu. Kang Akad berharap nanti putrinya itu menjadi orang yang berpendidikan, bisa bekerja mapan dan menjadi orang yang terpandang yang dihormati. Tidak seperti bapaknya yang hanya buruh tani miskin di desa.” Bu Warjiman jeda sejenak memberi kesempatan anak dan menantunya berpikir.

“Bagaimana menurut pendapatmu le?” lanjut bu Warjiman

“Sebenarnya kami berdua sudah sepakat manerima takdir membina keluarga tanpa anak sekalipun. Namun

dalam hal ini kami diskusikan dulu ya bu?”

Sementara mereka berbincang mbah Dullah memberi salam. Tetangga sebelah rumah itu masih saudara, menanyakan kabar Galih dan istrinya.

“Kapan datang le, nduk, slamet kabeh to keluarga di Jati Mulyo?”

“Kemarin sore mbah bakdha Ashar, Alhamdulillah semua keluarga sehat wal afiat dan selamat.” jawab Pak Galih, sementara istrinya hanya tersenyum ramah lalu mencium punggung tangan mbah Dullah. Ibu menyodorkan tiga gelas kopi panas dan sepiring gorengan sukun untuk camilan.

“Kemana pak Warjiman, kok gak kelihatan?” sapa mbah Dullah

“Lagi ke rumah cucunya di rumah barat. Mbah Dullah mau kemana?”

“Tidak ada, ya hanya jalan-jalan saja terus mampir ke sini.”

Setelah meletakkan pantatnya di kursi, bu War mempersilahkan mencicipi hidangan ala kadarnya itu.

“Mana anakmu kok tidak kelihatan le?”

“Mereka belum punya momongan lo mbah, makanya ini tadi saya menawarkan kepada mereka untuk mengangkat anaknya kang Akad menjadi anaknya, untuk pancingan.” jelas ibu panjang lebar, membuat hati Safitri semakin sedih.

“Ya baik itu. Anak saya si Mimin dulu kan juga sulit punya anak, lalu di pancing mengangkat anaknya Jiyah. Lalu sekarang sudah melahirkan dua orang anak kandung.” cerita mbah Dullah.

“Terus anak angkatnya itu bagaimana mbah?” tanya Fitri ingin tahu.

“Ya tetap menjadi anaknya, jadi anaknya sekarang tiga. Namun anak angkatnya itu yang dulu manis, menurut, berbakti pada orang tuanya, setelah besar dan dewasa kini menjadi anak durhaka.” mbah Dullah menyeruput sampai habis kopinya lalu ijin mau melanjutkan jalan-jalan. Bu War, pak Galih dan istrinya mengantar sampai di teras. Pak Galih dan Istrinya pamit ke kamar siap-siap mau mandi. Bu War ke dapur menyiapkan sarapan.

“Yang, bagaimana pendapatmu tentang tawaran ibu mengangkat anaknya kang Akad tadi?” Pak Galih pada istrinya tak sabar.

“Kalau menurut Mas bagaimana?”

“Lhah ditanya kok ganti nanya.” lalu pak Galih  menjelaskan isi hatinya.

Jujur saya kawatir untuk mengangkat anak. Pertama suatu saat nanti kalau sudah besar waktunya menikah siapa yang akan menjadi walinya. Menurut agama, orang tua angkat tidak boleh menjadi wali nikah anak angkatnya. Kedua pasti suatu saat dia akan bertanya siapa  dirinya yang sebenarnya, pasti kita berat untuk menjelaskan. Namun kita tidak boleh menghilangkan nazab orang tua kandungnya. Ketiga saya kawatir terjadi seperti yang diceritakan mbah Dullah itu yaitu ketika masih kecil dia baik, membahagiakan orang tua yang sudah membesarkannya, ketika sudah dewasa berubah menjadi anak durhaka.   Saya kan pegawai negeri lalu serba repot, kalau jujur kasihan anaknya belum waktunya menerima kenyataan kebenaran, akhirnya berbohong, dalam administrasi terpaksa diakui sebagai anak kandung.” panjang lebar pak Galih menjelaskan.

“Bagaimana pendapatmu yang?”

“Kalau menurutku tidak ada salahnya  tentang rencana memungut putri kang Akad sebagai putri angkat kita. Toh kita sudah menyerah menjalani takdir. Namun kalau menurut pertimbangan mas tadi seperti itu ya terserah mas saja. Seandainya kita ambil maka keluargaku di Jati Mulyo mungkin juga belum tentu setuju.” jawab istrinya.

“Kalau dari hatimu yang paling dalam, keputusanmu setuju atau tidak?” tanya suaminya.

“Saya setuju, namun bagaimana nanti menghadapi pertanyaan para tetangga dan masyarakat.?”

“Yang penting kamu sudah setuju, maka Bismillah kita sepakat menyampaikan ini  kepada ibuku.”

Besoknya Galih dan Fitri menghadap ibunya menyampaikan persetujuannya, namun  masih akan berunding dengan keluarga besar istrinya di Jati Muyo.

***

Berita yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Dengan pertimbangan yang rumit.  Bahwa dengan mengangkat anak ini, dapat menjadi harapan dimasa tua. Akhirnya semua keluarga menyetujui mengambil anak angkat untuk keluarga Galih Raharjo.

Seminggu setelah semua sepakat, maka Pak dan bu Warjiman, ayah dan ibu kandung pak Galih dan beberapa keluarga dekat, mereka mengantar anak itu dari Desa Punjung ke Jati Mulyo rumah ibu Syariyah mertua pak Galih.  Saudara-saudara yang ikut mengantar hanya menginap satu malam. Setelah sarapan kemudian mendo’akan agar bayinya sehat, kuat dan cepat besar, Mbah Dullah putri, menyempatkan berpamitan dengan bayinya

“Nduk, jadilah putri yang sholeha bisa mengharumkan nama orang tua.”

“Aamiin.” semua yang ada di ruangan itu serempak

“Soalnya ada lo anak pungut itu ketika masih kecil disayang-sayang, setelah dewasa durhaka pada orang tua yang telah membesarkannya. itu telah dialami anak saya sendiri.” lanjut mbah Dullah Putri.

“Naudhzubillah mbah, jangan sampai seperti itu.” ketus bu Warjiman

“Makanya jangan lupa di didik agama dengan benar nantinya.” tandas mbah Dullah putri.

“Ya sudah, keburu kemalaman sampai di rumah, kami serombongan mohon pamit, maaf bila ada salah tingkah atau salah kata. Assalamu ‘alaikum warrohmatulloohi wabarokaatuh.” mereka serombongan berpamitan pulang ke desa Punjung.

Bapak dan Ibu Warjiman, Pak Galih, bu Fitri, dan bu Syariyah mengantarkan sampai tamunya semakin menjauh dari halaman rumah.

Bapak dan ibu mertua berkenan tinggal agak lama di rumah anak lelakinya, untuk mengajari menantunya merawat anak balita. Mulai dari memandikan memborehi minyak penghangat tubuh, sampai cara memakaikan popok, grita  dan baju. Kemudian mengajarkan bagaimana membuatkan makan dan minuman bagi balita agar anaknya tumbuh pesat, sehat jiwa raganya. Pokoknya paket komplit A sampai Z diajarkan dengan sabar dan telaten kepada menantunya.

Safitri memperhatikan dengan seksama, training yang diberikan dan tentu saja melakukan praktek, semua yang sudah diajarkan dibawah bimbingan ibu mertua. Setelah ibu yakin, Safitri bisa mengasuh bayinya dengan baik, maka ibu  dan bapak mertua pamit untuk pulang ke desa dengan rasa puas dan bahagia. Mereka berdo’a semoga keluarga anak lelakinya menjadi lebih berbahagia dengan putri angkat mereka.

Dengan hadirnya putri kecil yang montok dan lucu maka Safitri dan pak Galih kini harus sering bangun mengganti popok atau membuatkan susu bila malam hari, Mereka semakin menyayangi bayi kecil yang belum di beri nama itu. Mereka tulus ikhlas melakukannya demi putri tercintanya. Pak Galih menawarkan beberapa calon nama untuk putrinya kepada istrinya. 

 

 


 

EPISODE 2

Masa Kecil bahagia


Setelah memilih beberapa nama akhirnya disetujui nama “Riskya Rachmadhina” untuk putri kecilnya. Esok hari pak Bagyo dan bu Safitri mohon pertimbangan kepada bu Syariyah, Besok atau lusa akan mengundang para tetangga dekat untuk mengenalkan Dhina.  Bu Syariyah menyetujuinya, kemudian segera menyiapkan segala sesuatu keperluan hidangan untuk para tetangga  yang akan diundang. Pak Bagyo dan bu Safitri mencatat nama-nama tetangga satu gang yang akan diundang.

Tepat hari minggu pagi jam 09.00 wib,  para undangan sekitar 30 orang sudah berdatangan langsung menempati tempat duduk yang disediakan, cukup di ruang tengah dan ruang tamu. Pak Mahfud tetangga samping rumah diminta bertindak sebagai pembawa acara, segera membuka acara dilanjutkan menyampaikan susunan acara. Pak Bagyo sebagai tuan rumah menyampaikan hal ihwal mengenai putri angkatnya kepada para tetangga sejelas-jelasnya. Tidak lupa permohonan kepada para tetangga bisa menyayangi putrinya. Demi kesejahteraan psychis putrinya, pak Bagyo mohon dengan sangat agar tidak memberikan informasi tentang jati diri Dhina Putrinya kapanpun. Biarlah kami sendiri yang akan menyampaikan nanti bila waktunya tiba.  

Dhina tumbuh dengan cepat besar, gemuk, cantik. Umur tujuh bulan di adakan upacara adat turun tanah. atau ada yang menyebut tujuh bulanan (mitoni). Diundanglah teman-teman anak-kecil para tetangga untuk menyaksikan. Pertama Acara mandi air kembang setaman, memakai mahkota dari janur kuning yang dihias bunga-bunga segar. Hal demikian melambangkan agar selama manusia hidup senantiasa mengingat Cahaya tuntunan Illahi Robbi dan Rasulnya..

Ke dua masuk kurungan ayam untuk memilih berbagai barang yang tersedia dalam kurungan itu. Barang yang tersedia dalam kurungan terdiri dari buku al qur-an kecil, pensil, buku tulis, cermin, suri, bedak, makanan rengginang, ceker ayam, tumpeng kecil, Jenang  Dengan kemauan sendiri Dhina memilih Al-Qura’an kecil. Itu melambangkan gaya hidupnya besok ketika dewasa suka belajar agama dan mengaji kitab suci.

Ke tiga acara menginjak bubur tujuh rupa, bubur putih, merah, hitam, kuning, hijau, coklat, bubur ketan manis, terakhir menginjak air putih. Ini melambangkan setelah dewasa semua manusia akan melewati berbagai pengalaman baik buruk untuk dapat mencapai kebahagian. Berawal dari suci kembali suci.

Ke empat  menginjak tanah dan menaiki tangga terbuat dari tebu ireng. Hal tersebut melambangkan bahwa perjalanan manusia itu  dimulai dari dasar berpijak (tanah) kemudian berusaha meraih kebahagiaan dan kesejahteraan dengan antebing kalbu  pikiran yang mantap tidak ragu dalam menentukan langkah menuju apa yang dicitakan.

Sebenarnya simbol-simbol  yang merupakan pesan tersembunyi tersebut adalah lebih ditujukan kepada yang sudah dewasa yang sudah mampu berpikir. Karena bagi anak kecil yang melakukan upacara itu masih belum mengerti, umurnya masih tujuh bulan.

Acara ditutup dengan jamuan untuk anak-anak yang hadir.  Mereka senang dan bagi Dhina kecil paling tidak kenangan yang terrekam dalam memorinya adalah banyak teman yang menyayanginya. Ketika mereka pulang mereka menyayang pipi Dhina yang seperti bakpao. Itu semua tentu merupakan memori indah bagi teman-teman kecilnya juga. Bagi pak Bagyo sekeluarga, moment itu merupakan moment berbahagia, yang selama ini belum pernah dialaminya.

Momen-momen kecil menjadikan hati bahagia, Ketika memperhatikan pertumbuhan Dhina yang dari hari kehari semakin montok dan bongsor menggemaskan adalah wajar. Sejak bayi selera makannya sangat bagus. Kalau ibu Fitri menyuapi, Dhina tidak mau putus, begitu masuk mulut sebentar habis minta langsung disuapi lagi sampai buburnya habis. Kalau terlambat menyuapi dia menangis. Makanya sejak bayi tubuhnya gendut subur.  Saking gendutnya ketika lomba bayi sehat di Jati Mulyo kota Durian dia di diskualifikasi karena kelebihan berat badan. Kalau dibawa kontrol atau Imunisasi ke Dokter anak, timbangannya tidak muat karena tubuhnya tinggi.

Ketika belum bisa berjalan, kalau capek merangkak dilantai Dhina senang dan tertawa-tertawa bila di gendong di punggung ibunya sambil bekerja di dapur. Bila pak Bagyo  sedang berkegiatan mengajar di sekolah atau di luar rumah maka Dhina dipercayakan kepada Nenek Syariyah dan sering dibantu oleh tetangga sebelah rumah. Mereka berdua sangat menyayanginya.

Sesekali Dhina kecil diajak bapak dan ibunya jalan-jalan dengan naik vespa sampai akhirnya Dhina tertidur. Dhina kecil tidak pernah rewel kalau merajuk dibujuk dengan berkomunikasi yang lucu atau ditunjukkan burung, bunga, kucing, ayam atau kumbang, dia sudah tenang.

Waktu terus berjalan, umur Dhina genap satu tahun. Pada ulang tahun pertamanya Dhina baru saja bisa berjalan dan mulai belajar berbicara. Seperti biasanya dalam momen itu mengundang teman-teman kecil putra putri para tetangga dan saudara yang domisili sekota. Dhina kecil kelihatan senang memakai rok baru warna merah jambu bahan kain tipis rempel-rempel. Rambutnya yang lebat hitam itu di sisir dan dipakaikan bando, wajahnya di makeupi minimalis kelihatan cantik. Setelah tiup lilin dibantu ibunya, pak Bagyo mengucapkan selamat ulang tahun dan mencium pipinya dengan ciuman kasih sayang. Dhina kecil memeluk bapaknya dengan erat bapak membalas memeluk putrinya pula sambil berkali-kali mengecup pipinya yang gembil itu.

Lalu berganti ibunya mengucapkan selamat ulang tahun, kemudian nenek. Reaksi Dhina sama dengan ketika bapaknya mengucapkan selamat ulang tahun. Kemudian saudara-saudara dan dilanjutkan teman-teman kecilnya. Setiap momen selalu di abadikan oleh Pak Bagyo dalam album foto keluarga.

Pak dan Bu Bagyo sangat bersyukur telah diberi kesempatan menyayangi anak walau bukan anak kandung sendiri. Pak Bagyo ingat pernyataan spontan bernada minir, dari kerabatnya di desa yang mengatakan “semoga kebahagiaan ini langgeng. Soalnya banyak kejadian ketika masih kecil disayang-sayang ketika besar dan tumbuh semakin dewasa menyusahkan orang tua angkatnya.” Untuk menangkal semua itu Pak dan Bu Bagyo serta Nenek Syariyah mencurahkan penuh kasih sayang kepada Putri kesayangan dan selalu berdo’a mohon pertolongan-Nya.  

Usia empat setengah tahun Dhina memasuki TK ‘Aisyiah” kelas nol kecil. Awalnya   tidak mau di tinggal sedikitpun oleh ibunya. Sehingga beberapa hari bu Bagyo terpaksa ikut masuk duduk di bangku  kelas Dhina. Setelah tiga hari ibu kepala sekolah melarang ibu ikut masuk di kelas. Ketika di tinggal oleh ibu maka pagar sekolahan di kunci. Dhina menangis keras-keras memanggil ibunya.

Kepala sekolah dan gurunya berusaha menenangkan dengan cara disuruh bermain di ruang kepala sekolah bersama ibu kepala sekolah. Kurang lebih dua minggu baru dia merasa terbiasa untuk ikut pelajaran di kelas. Rupanya dia kesulitan menyesuaikan diri dengan teman-teman yang lain. Dia di kelas paling bongsor diantara teman-teman sekelasnya.

Ketika suatu saat dia di tunjuk ikut lomba samroh di Surabaya bertemu Tk Islam se Jawa Timur dia kesulitan mencarikan seragam terutama celana panjangnya. Bu Bagyo menjahitkan celana khusus untuknya. Entah malu atau karena orang tua tidak boleh mengantarkannya atau apa, Dia tidak kelihatan happy seperti teman lain se grupnya. Dia kelihatan sangat fokus menabuh ketipungnya tidak ada senyuman sedikitpun diwajahnya. Pulang dari Surabaya di tanya oleh bapaknya

“Dhin kenapa kok wajahmu seperti marah begitu ketika tampil bermain musik?

“Aku malu pak, dilihat orang banyak, aku takut tidak ada ibu dan bapak di sana.” 

 “Kan ada Ustadzah, ada teman-temannya semua tidak diantar bapak ibunya.”

“Aku inginnya sama ibu dan bapak.”

“Ya tidak apa-apa kamu hebat sudah berani tampil di THR Surabaya, besok lagi kalau tampil harus senang, beri senyuman kepada penonton seperti bapak kalau lagi main band itu. ya sayang.”

“Iya.” Jawab Dhina kecil. Bapak dan ibu bergantian memberi hadiah ciuman di pipinya

“Selain di THR. diajak main kemana saja oleh Ustadzah?” tanya ibu

“Ke kebon binatang lihat gajah, singa dan jerapah dan lain-lainnya.”

“Huih senang dong.” tanya Bapak

“Tidak, karena tidak ada ibu saya haus sekali.”

“Kok tidak minta kepada Ustadzah lo.”

“Tidak berani, malu pak.”

“Terus bagaimana?”

“Aku minta kepada teman.”

“Diberi?”

“iyah diberilah.”

“Lain kali karena tidak ada bapak dan ibu, kalau ingin apa-apa bilang sama Ustadzahnya, ya.”

“Iya pak.” Dhina manja sekali dan minta gendong bapaknya.

Pada kesempatan lain ketika liburan, Dhina diajak rekreasi dan foto-foto ke tempat-tempat wisata di malang dan sekitarnya. Sesekali diajak bapak dan ibu makan di suatu rumah makan dan tidur di hotel. Senang rasanya libur bersama sekeluarga. Bapak juga sering mengajak berkunjung ke rumah saudara-saudara di luar kota. Di Bali, di  Kediri, Tulungagung. Semua itu diupayakan oleh pak Bagyo agar putrinya terbiasa dekat dengan orang tua dan saudara-saudara dari keluarga bapak dan ibunya.

Kalau di rumah sehari-harinya Dhina bermain pasar-pasaran, atau ibu-ibuan, bermain boneka dengan ibunya, terkadang sendirian atau bermain di rumah tetangga. Suatu ketika teman sebayanya laki-laki dibelikan sepeda kecil roda dua. Dhina diperhatikan oleh Bapaknya ingin sekali mencoba naik sepeda itu. Namun dia belum berani bilang kepada teman. Pak Bagyo terketuk hatinya ingin membelikan dia sepeda kecil baru untuknya.

Betapa gembira hati putrinya, tiba-tiba ayah mengeluarkan sepeda kecil baru berwarna hijau muda dari mobilnya. 

“Pak ini sepedanya siapa?” tanya Dhina berharap sesuatu

“Sepedanya putrinya teman bapak di sekolah.”

“Kok dibawa kesini?” sedikit kecewa hatinya

“Apa kamu mau dikasih sepeda ini?”

“Tidak, itukan sepeda orang lain.”

“Kalau ini sepedahnya bapak yang belikan untuk kamu, mau?”

“Mau, mau, sangat maulah.”

“Okey ini memang sepedahnya Dhina baru dibelikan dari toko.”

“Benar pak, ini sepedah ku?”

“Betul,”

Dhina memeluk bapaknya sambil berteriak kegirangan “ibu, nenek, Dhina punya sepedah baru.” Ibu keluar melihat ke halaman. Betapa bahagianya melihat putrinya begitu gembira.

“Pak jadi beli sepedahnya?” tanya bu Bagyo senang.

“Jadi dong sayang, lha itu sepedahnya.” Jawab pak Bagyo

Hari-hari berikutnya Dhina belajar naik sepeda bersama teman-temannya di jalanan gang komplek rumahnya. Ada kebanggaan dibelikan sepeda baru. Sebelumnya pernah dibelikan sepeda di loakan, remnya tidak pakem menyebabkan Dhina jatuh terperosok ke selokan. Dia menangis dan sejak itu tak mau sepedanya yang katanya jelek.

 

  

 

EPISODE 3

Orang Tua Lalai

  

Sejak bayi Riskya Rahmadhina (Dhina) kalau tidur selalu bersama Bapak dan Ibu di kamarnya. Sebelum tidur Bapak sering bercerita masa kecil dan harapan masa depan Dhina. Bapak ingin putrinya kuliah sampai paling tidak lulus Sarjana S-1 seperti Bapak. Lalu bekerja di Kantor, atau jadi guru di sekolah, pokoknya tidak di pabrik atau di lapangan. Lalu menikah dengan calon suami yang baik hatinya, baik perilakunya, taat beragama Islam, sabar dan perhatian terhadap keluarga. Dhina membayangkan betapa indah masa itu nanti,  sampai akhirnya dia lelap tertidur di pelukan Bapak Ibu.

Ketika umur empat tahun Dhina mulai sekolah di TK Al Hikmah kelas nol kecil sampai nol besar di Kecamatan Jati Mulyo kabupaten Jati Mas. Ketika sudah besar Dhina tidak boleh  tidur sekamar dengan Bapak ibu. Tidurnya dengan mbah Putri Syariyah. Kakek, suami mbah Syariyah, ayah bu Fitri sudah meninggal dunia.

Dhina ingat betul bahwa Bapak sibuk mengajar setiap hari di sekolah. Ibu sibuk berbagai macam organisasi di Kecamatan. Sehingga dia sering di rumah bersama mbah putri, (mbah Syariyah)

Dhina heran kalau mengaji, selalu diantar oleh adik-adik ibu yang rumahnya di desa lain. Saya sering diajak ke rumah adik ibu itu. Disana saya harus memanggil orang tua mereka dengan sebutan mbah Putri juga. Hanya bedanya kalau mbah yang di rumah Dhina itu mbah Syariyah, dan mbah putri yang ini namanya mbah Rubiyah. Mbah Rubiyah sering  mengatakan bahwa ibuku itu adalah anaknya. Dhina tak mengerti apa yang dikatakan mbah Rubiyah itu.

Ketika kelas 4 SD Bapak pindah tugas ke Kota Penyuwangi. Kata ibu, Bapak diangkat menjadi Kepala Sekolah di SMK Negeri di sana. Hanya seminggu sekali Bapak pulang ke Jati mulyo. Ibu juga sering rapat-rapat di Penyuwangi sehingga saya lebih sering hanya tinggal dengan mbah putri. Suatu saat waktu saya di kamar Mbah Putri hanya sendirian, tanpa sengaja melihat tumpukan uang tersimpan di bawah bantal Mbah Putri.

Timbul niat dalam hati untuk mengambil sedikit uang itu untuk beli makanan di sekolah dan traktir teman-teman. Tidak ada rasa takut sama sekali. Pertama mengambil uang itu ternyata mbah Putri tidak menanyakan apa-apa. Sampai tiga kali atau empat kali mengambil uang milik mbah Putri untuk mentraktir teman sekelas. Akhirnya baru ketahuan oleh mbah Paijan, adik mbah Putri yang menjadi Polisi. Mbah Jan curiga karena setiap pulang sekolah, Dhina tidak makan di rumah. Mbah Putri juga lapor pada mbah Jan kalau dia sering kehilangan uang. Dari hasil analisa mbah Jan menyimpulkan bahwa Dhina mencuri. Mbah Putri terkejut dengan pernyataan itu. Masih kecil sudah berani tidak jujur bagaimana kalau sudah dewasa nanti.

Perbuatanku itu kemudian dilaporkan kepada pak Bagyo. Tahu-tahu bapak sudah bermaksud memindahkan sekolah Dhina ke Penyuwangi. Bapak menanyai Dhina  dengan sedikit kasar. Apakah benar Dhina telah mencuri uang mbah Putri, Digunakan untuk apa uang sebanyak itu? Dia beterus terang pada bapak. tanpa rasa penyesalan sedikitpun.

Sungguh kejadian tersebut sangat memukul perasaan. pak Bagyo berusaha tidak sampai memukul karena dia yakin itu hanyalah perbuatan iseng dari seorang anak kecil. yang belum mengerti. Dalam hal ini orang tua, bapak ibu dan simbah, yang lalai sehingga memicu perbuatan tidak baik pada cucu.

Agar pengawasan lebih intensif dan tak terkesan membebani pikiran mbah Putri, maka pak Bagyo mengambil keputusan bahwa bu Bagyo, dan Dhina di pindahkan ke Penyuwangi. Sementara mbah Putri ditinggal di Jatimulyo ditemani mbah Jan.

Baru berjalan dua bulan istri mbah Jan protes pada pak Bagyo. Beliau mengatakan bahwa pak Bagyo tidak bertanggung jawab, orang tua di telantarkan. Bapak stress mendengar tuduhan itu. Tidak banyak bicara, mau tidak mau mbah Putri harus ikut pindah ke Penyuwangi juga.

Kalau tidak bersedia, bapak akan mengundurkan diri menjadi Kepala sekolah di Penyuwangi dan menjadi guru biasa lagi di Jatimulyo. Ibu tidak setuju karena prestasi yang sudah diraih Bapak memerlukan perjuangan berat dan panjang. Kasihan kalau di lepas begitu saja.  Demi ancaman itu maka mbah Putri terpaksa menyetujui.

Di Penyuwangi kecerobohan mbah Putri terulang  kembali. Menaruh uang dibawah bantal. Dhina yang tidur sekamar dengan Mbah Putri tahu peluang itu datang lagi. Dia mencuri lagi untuk mentraktir teman-teman SD nya. Bapak marah kepada Dhina yang ternyata tidak jera. Perbuatannya tidak bisa dianggap sebagai perbuatan anak kecil yang tidak tahu. Bapak memukul Dhina dengan sapu lidi di pantatnya. Dia tidak menangis, hanya diam walau Bapak menyuruh minta maaf, hal itu membuat bapak geram.

Seketika itu Bapak teringat pada pernyataan kerabatnya di desa dahulu. Apakah benar pernyataan kerabatnya itu akan menjadi kenyataan. “Ya Allah ampunilah kekilafan ku yang tak mampu menyandang amanah sebagai kepala rumah tangga.” gumamnya

Bapak mengingatkan pada mbah Putri agar tidak menaruh uang di bawah bantal atau disembarang tempat. Kejahatan itu timbul bukan hanya karena niat pelakunya namun karena adanya suatu kesempatan.

Hanya satu setengah tahun keluarga pak Bagyo tinggal di Penyuwangi. Beliau dipindah tugaskan menjadi kepala sekolah di SMK Negeri Pasuruan. Karena bapak di pindah tugaskan maka, sekeluarga segera pindah ke Pasuruan.

Di SD yang baru, Dhina mengeluh ingin berhenti sekolah saja.  Bapak yang seorang guru juga, menelisik mengapa anaknya menyatakan ingin berhenti sekolah. Usut punya usut ternyata permasalahan Dhina adalah tak mampu mengikuti pelajaran. Tingkat pelajaran di SD Pasuruan lebih tinggi dibanding pelajaran di Penyuwangi, sehingga dia merasa tertekan berat. Karena sudah kelas lima semester dua, maka Pak Bagyo langsung mengambil solusi, memasukkan anaknya, les di lembaga kursus terkemuka di Pasuruan.

Yang kedua, Dhina mengatakan bahwa di sekolah sering di buly, di palak, oleh teman-teman perempuan sekelasnya. Demi putrinya Pak Bagyo menemui Kepala SD dan Wali kelas anaknya, minta tolong agar masalah putri yang dianggap sangat serius ini mendapatkan penanganan dari fihak sekolah. Kepala sekolah dan wali kelas menanggapi dengan enteng-enteng saja.

Pak Bagyo menekan keduanya dengan terpaksa menjelaskan status jabatannya yang sebenarnya. Dia mengancam kalau terjadi apa-apa dengan anaknya maka, hal ini akan dilaporkan pada kepala Dinas Pendidikan dan Kepolisian.  Dengan gertak sambal itu keduanya berjanji akan menangani kasus ini dengan sungguh-sungguh dan minta kerja samanya dengan fihak sekolah. Bapak lega dan bersyukur akhirnya Dhina lulus SD.

Selama di SMP tidak terjadi masalah karena lokasi sekolahnya dekat dengan rumahnya. Jadi kalau ada apa-apa langsung bisa cepat diketahui.

Ada selapis noda yang membuat Bapak kecewa. Sungguh Bapak menjadi gundah gulana apabila memikirkan. Ini suatu cobaan dari-Nya ataukah teguran bagi keluarga mereka yang telah menolak takdir Allah.


 

 

 

EPISODE 4

Semakin Jadi

 

Bapak begitu senang, selama sekolah SMP tiga tahun, tidak ada aksi yang menyakitkan dari Rizkya Rahmadhina. Mudah-mudahan kondisi jiwa negatif Dhina semakin membaik setelah bertubi-tubi menghantam keluarga Pak Bagyo selama di sekolah dasar. Yang Bapak sesali adalah sepertinya Dhina tidak pernah merasa bersalah, bahwa dia telah menyakiti orang lain.

Kini Dhina telah sekolah di SMA Negeri di Pasuruan. Kelas satu menurut pantauan Bapak selama ini baik-baik saja.. Bapak sangat kenal dengan ibu kepala sekolah SMA itu karena sama-sama menjabat sebagai kepala sekolah. Pada suatu kesempatan Bapak menceritakan tingkah laku miring anaknya. Kepada ibu kepala sekolah sekalian menitipkannya untuk  dipantau lebih serius. 

Dhina mengatakan akan mencoba ikut dalam kegiatan ektra kurikuler pecinta alam. Bapak mensuport sekali. berkegiatan seperti itu. Dengan demikian ada kesibukan baginya serta dapat bersosialisasi dengan  banyak teman, agar tidak minder. Suatu saat Dhina ijin pulang terlambat karena ada ekskul Pecinta Alam.

“Dhin, apa alasanmu mengikuti kegiatan itu?” tanya Bapak basa-basi.

“Saya tidak suka kegiatan yang ramai-ramai. Saya suka yang sunyi sepi tidak banyak orang.” Sebenarnya pernyataan dia itu tidak aneh namun apakah benar bahwa dia sebenarnya pemalu dan tidak percaya diri. Lalu kegiatan ekskul pecinta Alam dipakai sebagai pelarian karena tidak ada ekskul yang cocok menurutnya selain itu.

“Teman kamu yang pernah kamu ajak ke rumah itu siapa?” pertanyaan Bapak mengagetkan.

“Itu teman alumni SMA ku, sebagai Pembina ekskul pecinta alam.” jawabnya

“Ada guru pembinanya selain anak itu?”

“Ada. Memang kenapa pak?”

“Sikapnya kurang sopan, pakaiannya, potongan rambautnya, tato di tangan dan kakinya, pokok melihat penampilannya Bapak tidak suka.”

“Apa bapak tidak suka karena dia kelihatan miskin, Bapak materialistis kalau begitu?” protesnya.

“Tidak begitu. Apa teman lain yang lebih sopan terpelajar, sikapnya terpuji, berpenampilan rapi, walau dia itu orang tidak beruntung. Apa tidak ada tah?”

“Memang Dhina itu siapa pak, pilih-pilih teman, cantik tidak, gembrot, tak punya teman, ke sekolah selalu diantar jemput orang tua, Dhina juga miskin uang saku hanya cukup untuk  beli jajan sendirian, walau Dhina anaknya Kepala sekolah.!”

Dhina kelihatan marah, lalu diam seribu bahasa. Tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya.  Bapak mengerti kalau dia marah. Bapak hanya manggut-manggut, namun dalam hati berpikir apakah anaknya ini punya rasa minder yang berlebihan atau trauma masa lalu di masa kecil, sehingga sering memilih  kegiatan yang negatif. Kadang Bapak curiga dan bertanya-tanya, apakah ada temannya yang mempengaruhi sehingga dia berani protes keras seperti itu. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Dhina, dan Bapak tidak tahu.

Setelah kejadian itu Dhina tidak pulang ke rumah sejak pulang sekolah. Bapak dan ibu panik, menanyakan kepada teman sekelasnya yang berasal dari satu SMP dulu. Tidak banyak anak yang diakrabi olehnya, maka Bapak tidak terlalu sulit melacaknya. Akhirnya mendapat petunjuk bahwa dia ikut teman sekelasnya pulang ke desa Rowo bajul. Untung Bapak dapat nomer temannya di rowo bajul itu dan dapat kejelasan dari orang tua temannya. Ternyata bapak temannya, adalah pegawai Dinas Pendidikan kab Pasuruan. Pak Bagyo mengenalnya, maka sekalian minta tolong dinasehati supaya Dhina besok mau pulang ke rumah.

Dhina menikmati kehidupan keluarga temannya yang menurutnya sangat membahagiakan. Bapak ibunya baik terhadap teman yang anak tunggal itu. Dalam hati dia berpikir andai suasana di rumah seperti itu betapa bahagianya. Dhina menyampaikan bahwa di rumah kedua orang tua sangat menyayangi. namun di rumah sepi tidak ada teman, dan tidak bebas. Sudah kami nasehati panjang lebar, begitu informasi dari ayah temannya di Rowo Bajul. Pak Bagyo menyampaikan terima kasih, “hari ini anak saya sudah sampai di rumah diantar Isti temannya itu” Bapak mendapatkan gambaran lebih lengkap tentang perkembangan jiwa putrinya. Dia suka berdebat, kesepian, ingin bebas.

Tahun kedua di SMA, Dhina berulah lagi, perbuatan memalukan telah dilakukan. Ada surat teguran dari sekolah, bahwa Dhina telah menunggak pembayaran SPP selama tiga bulan berturut-turut. Ibu yang biasanya memberi uang SPP rutin setiap tanggal lima terkaget-kaget dibuatnya.

Bu Bagyo ke sekolah menjelaskan kepada kepala sekolah bahwa sebenarnya ulah Dhina sendiri yang tidak membayarkan uang SPP tersebut . Ibu marah, malu, kecewa, dengan terpaksa melunasi seluruh kekurangan pembayaran SPP yang tertunggak. Sambil perjalanan pulang ibu mengomeli anaknya.

“Sampai kapan kamu akan menyiksa orang tua yang menyayangimu nak. Ya Allah teganya kamu Dhin apa kurang, kami membesarkan dengan menyayangimu, memanjakanmu? Sejak kecil kok tidak ada kapok-kapoknya, selalu saja menyusahkan orang tua. Memang ibu ini bukan ibu kandung kamu tetapi ibu sudah membesarkanmu”

Dhina hanya diam tidak mau berdebat dengan ibunya di jalanan “tunggu sampai di rumah kalau ibu masih ngomel terus ...... “ gumamnya dalam diam.  Sikapnya yang diam seperti tidak merasa bersalah itu justru sangat menyakitkan hati Ibu.

Terbawa kegalauan hati, ibu mengendarai sepeda motornya semakin cepat semakin cepat. Jarum spido meter menunjukkan angka delapan puluh sembilan puluh. Di pertigaan sepeda motor juga ngebut dari arah kanan sementara ibu akan belok ke kanan. Kraak.... lampu setopan belakang sepeda motor bu Bagyo terserempet. Motor oling lalu roboh ke tepian jalan beraspal. Untung di tepian itu ditumbuhi rerumputan sehingga tidak menyebabkan luka. 

Sepeda motor yang menyerempet dari arah kanan juga roboh di tepi jalan beraspal tanah berdebu. Lutut dan siku pengendaranya lecet-lecet namun sepedanya tidak mengalami kerusakan. Pemuda itu berdiri berjalan menolong bu Bagyo dan Dhina, namun mereka berdua sudah berdiri.

“Lututnya dan sikunya berdarah tuh.” komentar Ibu

“Iya bu, lecet sedikit. Ibu sendiri dan mbak bagaimana ada luka?” tanyanya.

“Tidak mas hanya sedikit memar dan lampu setopanku pecah.” kata Ibu

“Kamu itu tidak hati-hati mas untung kita selamat” ketus Dhina. Pemuda itu melirik mbaknya yang mengomel.

“Maaf ya mbak, bu, kita sama-sama kencang tadi jadi tidak bisa menghindari, kita sama-sama salah.”jawab pemuda

“Iya maafkan kami juga ya.” jawab Ibu

Ketika dalam perjalanan pulang, dengan insiden itu Dhina ganti mengomel menyalahkan ibunya. Menyalahkan orang lain, berkata menyakitkan, menganggap hanya dirinya yang di sakiti dizolimi, itulah ciri Dhina saat ini.



  EPISODE 5

Ada Yang Berubah.

 

Semenjak kejadian memalukan, Dhina menilep uang SPP di SMA itu, Ibu tidak mempercayai Dhina lagi untuk membayar uang SPP sendiri. Ibu yang membayar sendiri ke  kantor Tata Usaha bagian SPP di sekolah. Bapak yang dilapori bahwa kelakuan putrinya seperti itu, sangat malu kepada kepala sekolah SMA itu. Bapak tak mau lagi mengurus Dhina yang rupanya memang susah diatur. Bapak sengaja membiarkan apa maunya anak itu.

Bu Bagyo yang terpaksa harus mengurus anaknya. Ibu mengorek keterangan untuk apa uang SPP tiga bulan tidak dibayarkan itu.

“Untuk jajan dan membelikan rokok kakak pembina ekskul Pecinta Alam.” Dhina berterus terang. Seperti biasanya kalau punya salah dia selalu terus terang dan merasa tidak pernah bersalah.

“Pembina ekskul yang katanya bapak pernah main ke rumah dan tidak sopan itu, siapa namanya?.”

“Kak Alex, tetapi dia sebenarnya baik dengan Dhina.”

“Apa kamu ada rasa senang, sayang, atau kamu pacaran dengannya?”

“Tidak tahu, tetapi saya senang dan bahagia bila dekat dengannya.”

“Aduh Dhina, apa yang kamu lihat padanya, jangan-jangan kamu kena guna-guna. Bapakmu itu seorang kepala sekolah nak, apa kamu tidak mikir, Bapakmu kan malu nak, bila ketahuan anak buahnya atau teman kepala sekolah yang lain di sekolah, kamu akrab dengan anak seperti itu.”

“Anak seperti bagaimana maksud ibu?”

“Coba perhatikan temanmu itu, penampilannya saat ke rumah, bercelana pendek, kaos oblong bulak, rambut awut-awutan, tangan kaki bertato, kotor seperti tak pernah mandi. Coba bandingkan dengan penampilan putra pak Taufik, putra pak Rasto tetangga kita, beda jauh nak.”

“Kan mereka anak orang kaya, makanya tampil trendy dan bergengsi.” protesnya.

“Apa orang miskin tidak bisa tampil sopan, berwibawa, bisa nak kalau dia memang mau.”

“Coba perhatikan, Ilham, Fadil, mereka orang tuanya tidak kaya, berpakaian sederhana tetapi bisa tampil wibawa, terpelajar, tidak tekesan ugal-ugalan.”

Dhina hanya diam tidak berdebat lagi,“ kenapa setiap yang saya lakukan selalu salah di mata orang tuaku?” gumamnya.

 “Sudah, mulai sekarang kamu berhenti ikut kegiatan ekskul itu dan jangan temui dia. Kamu fokus belajar. Toh kamu sebentar lagi kenaikan kelas tiga.” ceramah ibu panjang lebar.

Hampir satu bulan, Dhina mengikuti saran ibunya. Dia berhenti dari kegiatan ekskul Pecinta Alam.  Namun rupanya Alex tidak mau putus hubungan begitu saja. Dia selalu mencari kesempatan untuk bertemu dengan Dhina. Sampai akhirnya Alex memberanikan diri datang ke rumah menemui Dhina.

Bapak yang menemani Dhina menemui Alex. Dibiarkan putrinya mengatakan sendiri bahwa dia berhenti dari kegiatan ekskul Pecinta Alam, dengan alasan ingin fokus belajar, sebentar lagi kenaikan ke kelas tiga. Dia mohon maaf dan terima kasih telah dibimbing dengan baik dalam kegiatan itu.

Bapak mengatakan bahwa memang Dhina harus berhenti dulu dari ekskul, untuk fokus kepada pelajaran. Nilai rapot semester pertamanya sangat memprihatinkan di semester pertama di kelas dua ini, maka dia harus berjuang keras agar bisa naik kelas.

Alex mohon maaf lalu mengatakan dia hanya ingin tahu kenapa Dhina tidak pernah hadir dalam latihan ekskul Pecinta Alam. Kalau memang demikian maka semuanya sudah clear. Alex bisa mengerti kekawatiran Bapak. Lalu Alex berpamitan kepada pak Bagyo dan Dhina. Dhina mengantar sampai halaman, entah apa yang dibicarakan oleh mereka berdua. “Pernyataannya itu tadi hanya kamuflase atau dari hati terdalam hanya Allah yang tahu.” gumam pak Bagyo.

***

Lepas dari Alex, Dhina kenal dengan Jaka. Pemuda ini sudah bekerja di Kantor PLN Jakarta. Secara ekonomi dia sudah mapan. Tidak mau dipersalahkan oleh bapak dan ibunya Dhina menceritakan perihal kenalnya dengan Jaka. Dia putra seorang sopir pribadi dari Bu Gayatri tetangga kita di depan rumah itu.

“Anak ini penampilannya keren, berwibawa, bersih kulitnya, ganteng. Pasti bapak dan Ibu cocok dengannya.” kata Dhina memujinya.

“Jangan teresa-gesa, jatuh cinta, lihat dulu karakter sebenarnya seperti apa. Apakah dia baik hatinya, apakah dia taat beragamanya?” nasehat ibu

“Dengar tuh nasehatnya. Ibumu itu dulu waktu sekolah banyak pacarnya, kalau Bapak tuh orangnya setia kalau sudah satu ya itu saja.” goda Bapak

“Ya nggak gitu, yang penting harus hati-hati dengan para lelaki, jangan sampai salah pilih seperti kemarin, jalani saja dulu sambil jaga jarak.”

Jaka secara kasat mata memang baik, namun seperti kata Ibu, siapa tahu isi hati orang. Hubungan selama dua bulan ini melalui darat maupun melalui telephon berjalan manis-manis saja. Sampai suatu saat dia mengajak jalan-jalan ke suatu tempat menuju ketempat wisata di Pasuruhan. Ditepi jalan itu banyak gubuk-gubuk kecil yang biasanya dimanfaatkan untuk berjualan dan sekaligus tempat anak-anak pacaran. Disitulah Jaka mengajak berbuat tidak senonoh dan ditolak oleh Dhina. Dia semakin nekat dengan mengatakan,

“Mana ada sih jaman sekarang, cewek yang masih benar-benar virgin. Kalau kita melakukan, itu untuk membuktikan bahwa kamu pantas menjadi istri saya atau tidak.” kata Jaka kasar

“Enak di kamu susah di Saya. Bagaimana kamu mau cari istri dengan syarat dicicipi dulu. Beli tape saja gak boleh dicicipi, karena tapenya sudah dikemas dengan bagus.” balas Dhina.

Tanpa pamit, Dhina terus cepat-cepat keluar dari gubuk-gubuk itu ke tepi jalan ingin numpang mobil yang kebetulan lewat. Dhina berpikir kalau bertahan diluar gubuk, maka Jaka tidak akan berani macam-macam.

Ternyata lelaki itu sama saja, yang berpenampilan brandalan ugal-ugalan maupun yang berpenampilan sopan berwibawa, ternyata sama brengseknya. Dhina marah dan menyalahkan dirinya sendiri atas ketidak mampuannya menilai orang. Selama ini memang dia sangat tergantung kepada orang tuanya, yang selalu membela dalam segala kesulitan apapun. Kasih sayang yang diberikan orang tua berubah menjadi kemanjaan dan ketergantungan.

  Dhina segera sadar akan kondisinya sekarang yang merasa terancam, mencoba menilpon bapak ibunya untuk menjemput. Dia share lokasi via hand phone. Sambil menelpon dia melambaikan tangannya bila ada mobil lewat dengan harapan ada yang mau menolongnya. Dia kurang waspada juga bahwa kemungkinan bahaya bisa juga datang dari si pengendara mobil yang ingin ditumpangi.

Jaka merasa kawatir bahwa dirinya juga akan terkena masalah bila orang yang ditelepon Dhina benar-benar datang atau dia mendapat tumpangan mobil yang sedang lewat.

Sebuah mobil berhenti di depan Dhina. Sopir menanyakan sesuatu kepadanya. Dhina menyempatkan melongok ke dalam mobil, penumpangnya ada ibu-ibu ada dua orang anak kecil laki dan perempuan sedang bermain. Ibu itu mendengar percakapan antara suami dengan gadis yang minta tolong, maka dia menawarkan. Tanpa memperhatikan Jaka lagi Dhina naik ke mobil itu.

Jaka memohon maaf pada Dhina dan minta sopir itu menurunkan Dhina, namun ibu-ibu yang di dalam mobil tidak membolehkan. Mobilpun segera berjalan menuju kota. Keluarga tersebut berbaik hati mengantar Dhina sampai di rumah dengan selamat. Dhina mengucapkan terima kasih dan mempersilahkan keluarga itu singgah di rumah.

Jaka mengikuti dari belakang mobil itu, dan berhenti di depan rumah Dhina, setelah mobil yang ditumpangi berlalu meninggalkan rumahnya. Jaka bermaksud ingin mengikuti Dhina masuk ke rumahnya, namun keburu pintu ditutup olehnya. Jaka mengurungkan niatnya untuk masuk dan hatinya kecewa. Sebenarnya dia hanya ingin mengetes seberapa cinta Dhina kepadanya dan ingin minta maaf atas kejadian yang tidak di inginkan itu dianggap serius oleh Dhina.

 



EPISODE 6

Tak Merasa Bersalah

 

Setelah tiga tahun, Bapak dimutasi ke Jember, sehingga keluarga harus pindah semua ke Jember.

Selepas dari SMA, Dhina ditanya akan melanjutkan kuliah di mana, jurusan apa. Dia tidak menjawab karena memang tidak tahu apa sebenarnya cita-citanya.

Bapak memberi pandangan. “Apa ingin jadi guru, apa ingin kuliah di teknik, atau kuliah di bidang dakwah agama atau di bidang kesehatan atau apa?” Dhina tetap tidak bisa mengatakan. Bapak menjelaskan lebih detail lagi.

“Kalau bidang Teknik, ada teknik komputer, teknik mesin, teknik bangunan, teknik elektro. Kalau di Poltek ada jurusan pertanian, peternakan, perikanan, Budi daya tanaman pangan. Di Fakultas ekonomi, ada ekonomi pembangunan, bisnis manajemen, akuntansi. Kalau di Bidang keguruan menjurusnya nanti menjadi guru. Disitu ada jurusan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Matematika, Biologi, teknik komputer, mesin, bangunan, ada jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Pokoknya banyaklah tinggal kamu kira-kira pilih mana?”

Setelah diberi pencerahan oleh bapak barulah dia berani bertanya “Kalau di Jurusan Komputer, pak?” tanya Dhina.

Di Poltek ada Diploma 4 (D4) Komputer, D4 itu setara S-1. Atau teknik komputer, Pemograman, Perakitan. Di Unej ada jurusan komputer pemrograman.

“Kalau di Poltek saja pak?”

“Kamu serius ambil jurusan itu di Poltek.”

“Iya pak, disitu saja dah.”

“Okey, ini kemauanmu loh, jadi harus konsekwen.”

“Iya pak.”

Alhamdulillah akhirnya dia dapat diterima di D-4 Komputer Poltek Jember. Singkat cerita Perkuliahan di Poltek sudah dijalani selama satu semester. Setelah ujian berakhir kalau ditanya bapak. Dia mengatakan tidak masalah. Selama liburan semester bapak diam, tidak menanyakan tentang Daftar Nilai semester. Dhina juga diam tidak ada inisiatif menunjukkan DNS kepada bapaknya..

Sampai suatu saat bapak menanyakan tentang Nilai semester. Dengan rasa berat Dia memberikan selembar daftar. Bapak heran membaca DNS itu. Semua mata kuliah nilainya E tidak ada yang lain. Bapak marah.

“Dhin apa-apaan ini. Kamu ikut ujian apa tidak?” bentak ayahnya, Dhina tidak bisa menjawab.

“Jawab, jangan hanya diam.” bapak membentak dengan nada tinggi dan keras. Dhina terkejut matanya berkaca-kaca.

“Sampai kapan kau akan menyiksa bapak, sampai kapan, hayo pandang mata Bapak?”  matanya melotot menahan amarah. Mendengar suara suaminya Bu Bagyo yang sedang di dapur bergegas ke ruang keluarga

“Pak Sabar, sabar.” bu Bagyo mengelus pundak dan punggung suaminya.

“Sabar bagaimana, lihat tuh nilainya, semua E, berarti tidak dikerjakan sama sekali?” diberikan selembar kertas daftar nilai pada istrinya.

“Dhin, masa bahasa Indonesia, Agama, Pendidikan kewarga negaraan juga nilainya E, kalau pelajaran matematika, bahasa Inggris, teknik komputer itu bisa dimaklumi. Bagaimana toh ini?” bu bagyo juga heran

“Ibu, saya tidak mampu kuliah di sana, tidak ada satupun teman yang kukenal di sana, saya asing rasanya.”

“Kan memang masih baru, jadi belum kenal dengan temannya, itu kan wajar. Ya kamu harus aktif cari kenalan. ” jawab Bapak.

“Saya malu pak, Saya tidak punya keberanian untuk berkenalan dengan orang lain.” jawabnya

“Sudah pokoknya saya mau berhenti kuliah titik. Saya tidak sanggup menerima sorot mata yang tidak bersahabat dari mereka.” lanjutnya.

“Kamu itu bagaimana to Dhin, masuk perguruan tinggi itu biayanya banyak lo, mau berhenti begitu saja?” ibu mengomel

“Terus kamu maunya apa sekarang.?” tegas pak Bagyo

“Saya kerja saja, di pabrik cerutu di Bobin atau pabrik elektronik pasuruan atau di toko swalayan Roxi.” jawabnya

 “Tidak. Bapak tidak ijinkan, kamu harus kuliah paling tidak D2, agar punya ketrampilan bekerja. Tunggu tahun depan kamu kuliah D2 di Magistra saja. Komputer atau Bisnis.”

Semua diam, ibu kembali ke dapur, bapak istirahat di kamar. Dhina masuk ke kamarnya juga.

***

Setelah menganggur selama setengah tahun mungkin Dhina merasa capek. Mau kerja di dapur selalu diomeli oleh ibu, karena kerja tidak sesuai yang dicontohkan dan di perintahkan. Mau nonton TV lama-lama bosan juga. Mau main ke rumah teman semua temannya sibuk kuliah, sibuk bekerja akhirnya jalan saja melihat suasana kota. Sampai akhirnya Dhina lewat di depan kampus Magistra. Di situ bertemu dengan beberapa teman SMA nya yang sudah kuliah di sana maupun yang masih akan mendaftar.

Dhina mendapat beberapa informasi tentang kuliah di Magistra itu. Ada ketertarikan untuk ikutan kuliah di sana, karena ada teman yang dikenalnya. Kata teman yang sudah kuliah, belajar di sana sangat menyenangkan. Prakteknya banyak teorinya hanya sedikit itupun yang berkenaan langsung dengan apa yang akan dipraktekkan jadi tidak sulit.

Mantap hatinya akan kuliah D2 Design Komputer. Bapak memperhatikan anaknya yang akhirnya kuliah di Magistra kelihatannya enjoy, dan bersemangat, senang hatinya. Gumamnya “Nanti kalau sudah tamat D2 akan diarahkan kuliah untuk mendapatkan gelar sarjananya di IKIP saja.”

“Bu kelihatannya anakmu senang dan kerasan kuliah di Magistra.” kata pak Bagyo

“Iya pak tidak terasa satu tahun sudah di lewati dengan nilai baik, sebentar lagi selesai kuliahnya di Magistra. Terus maunya Bapak nanti dia kerja atau apa?” komen bu Bagyo

“Bapak ingin paling tidak dia menyandang gelar  Sarjana. Kalau cuma lulus D2 bagaimana pandangan orang-orang nanti? Sehingga harapannya lebih mudah mencari pekerjaan. ”

“Ya kalau tidak mau jangan dipaksa pak, nanti berhenti lagi seperti di Poltek dulu, buang-buang biaya to pak?”

“Insya Allah mau bu, sekarang dia fokus belajar rupanya. Dia tidak kelihatan dekat dengan teman laki-laki manapun?”

“Memang kalau dekat dengan laki-laki kenapa? Kan baik bisa tambah semangat.”

“Iya kalau lakinya bener dan dewasa bisa membimbing, kalau seperti Alex dan Jaka itu?”

“Ya sudahlah jangan dibahas lagi anggap itu takdir yang harus dijalani tidak hanya oleh dia namun juga takdir untuk kita orang tuanya.” Dhina begitu bahagia ketika memberikan undangan wisuda di Gedung Pertemuan Hotel Bandung Permai.

Sejak pagi dia sudah pergi ke salon kecantikan diantar oleh ibu. Bapak begitu takjub melihat putrinya kini sudah kelihatan dewasa dan cantik dengan pakaian nasional, berkebaya dan kain panjang yang diwiru-wiru. Rambut digelung konde. memakai sandal jinjit, mengingatkan penampilan priyayi putri jawa jaman dulu.

Dari kursi para tamu orang tua, Bapak duduk di samping ibu, kelihatan bangga menyaksikan Dhina ikut dalam barisan wisudawan-wisudawati yang memakai toga kuning berselempang dan topi sarjana dalam kelompok jurusan komputer. Satu persatu dipanggil masuk ruangan dan menempati kursi yang sudah dipersiapkan. Pak Bagyo sejenak melamun

“Andaikan moment ini adalah wisuda Sarjana, betapa sangat bangganya bapak”

  



EPISODE 7

Bencana

 

Setelah lulus D-2 Magistra, Bapak menginginkan Riskya Rahmadhina kuliah di IKIP PGRI untuk memperoleh gelar S-1 nya. Menurut pemikiran Bapak setidak-tidaknya punya gelar Sarjana Pendidikan dan nanti bisa menjadi guru  SMP atau SMK.

Pak Bagyo gelar pendidikannya S-2. Kalau anaknya hanya lulusan D-2 apa kata orang-orang, terutama teman guru di sekolah dia bekerja. Putra putri mereka kebanyakan pendidikan minimal S-1 Selain itu harapannya nanti bila bekerja bisa mendapatkan tempat atau jabatan lebih tinggi dibanding hanya lulusan D-2.

Keinginan berjuang seperti ini seharusnya timbul dari kemauan putrinya sendiri. Selama ini Dhina hanya ikut saja kata Bapaknya. Tidak punya keinginan untuk memperjuangkan dirinya menjadi lebih baik. Entah mengapa demikian. Apakah karena dimanjakan sejak kecil, sehingga semuanya telah tersedia, lalu berpikir untuk apa dia harus bersusah payah. Karena itulah Bapaknya yang kemudian dominan mengambil inisiatif untuknya.

 “Bagaimana menurut pendapatmu, kalau kamu kuliah di IKIP PGRI” tanya bapak.

“Ya terserah bapak sajalah.”

“Lho jangan terserah Bapak, kamu sendiri sanggup apa tidak kuliah lagi selama empat tahun?”

“Ya terserah, kan Bapak yang membiayai.”

“Senyampang kamu masih muda dan Bapak masih belum Pensiun, jadi kuat membiayai. Bersedia ya?”

Akhirnya Dhina mau menjalani kuliah di IKIP swasta itu mengambil jurusan Biologi. Dia menikmati  dan enjoy, teman yang dia kenal banyak. Rupanya tempaan mental selama kuliah di Magistra ada pengaruhnya. Kepercayaan dirinya lumayan  meningkat jauh lebih baik.

Apa lagi setelah kenal dengan kakak kelas yang usil bernama Yahya. Kakak kelas ini tubuhnya kecil pendek, namun sangat cerdas dan dewasa. Dari hari kehari Yahya semakin akrab dan membantu bila Dhina ada kesulitan tentang Materi perkuliahan. Kedekatan mereka tidak hanya di kampus namun sering juga Yahya main ke rumah. Bapak dan ibu kelihatan well come dengannya. Hubungan mereka hanya sebatas pertemanan tidak lebih. Begitulah paling tidak Dhina menganggapnya. Entahlah perasaan Yahya bagaimana. Kalau seandainya Bapak dan ibu ditanya, jujur kurang sreg seandainya Yahya berpacaran dengan Dhina. Segalanya memenuhi syarat menurut pak Bagyo, namun tinggi badannya yang lebih pendek dibanding putrinya maka kelihatan kurang serasi. Kasihan Dhina menjadi bahan ejekan oleh teman kampusnya kalau pacarnya kurang serasi. Namun kalau memang Dhina senang dan takdir jadi jodohnya apa boleh buat.

Karena keakraban keduanya itulah kemudian kakak kelas ini iseng ingin mengetahui apakah Dhina putri kandung pak Bagyo dengan bu Bagyo atau bukan. Disinilah Dhina mulai penasaran ingin menanyakan kejelasan asal usul dirinya yang sebenarnya.

Kelancangan Yahya yang di luar batas inilah menjadi pemicu terbukanya pikiran pak Bagyo untuk menceritakan suatu kebenaran yang selama ini dipendam rapat-rapat.  Mungkin ini sudah waktunya untuk di sampaikan.

Selain Yahya teman akrab Dhina adalah Sabrina anak dari Situbondo. Dia mengatakan jati dirinya kepada Dhina, bahwa sebenarnya orang tua kandungnya asli orang Banyuwangi berdomisili di Banyuwangi.

“Yang di Situbondo itu siapa?” tanya Dhina

“Dia adalah orang tua angkat saya.” kata Fitri

“Jadi orang tuamu dua kalau begitu.”

“Iya, ke empat orang tua saya semuanya sayang dan memanjakan saya. Keuntungan bagi saya adalah bisa memanfaat mereka untuk minta uang yang cukup banyak dari mereka.”

Diam-diam cerita miring Sabrina itu dapat menginspirasi kejahilan Dhina suatu saatnya nanti.

***

Dhina menikmati betul kuliah di IKIP ini. temannya banyak dan sopan serta sayang kepadanya tidak seperti ketika kuliah di Poltek dulu. Mungkin karena di sini tidak ada yang sangat menonjol kecantikannya, tidak ada yang menonjol kekayaannya jadi hubungan mereka sangat baik menurutnya.

Selain itu banyak Dosen yang sabar, membimbing, memotivasi terhadap mahasiswanya. Dan ternyata beberapa dosen kenal baik dengan Bapak karena Sekolah Bapak menjadi salah satu lembaga sekolah yang dipakai sebagai tempat praktek Mahasiswa terutama yang jurusan Bahasa Indonesia, Matematika, Bisnis Manajemen, dan Akuntasi.

Karena asyik sampai tidak terasa Dhina sudah waktunya mengikuti kegiatan Praktek Mengajar. Dhina di tempatkan di SMP Negeri pinggiran kota Jember. Kegiatan ini dapat dijalani dengan baik walau dia suka mengeluh murid di sekolah itu banyak yang bandel dan malas belajar. Dengan ketekunan dan kesabaran akhirnya kegiatan praktek mengajar dapat terselesaikan dengan sukses, mendapat pujian para siswanya.

Kegiatan selanjutnya adalah Praktek kerja berupa pengabdian Masarakat, dilaksanakan di desa pnggiran pula. Dalam kegiatan pengabdian masyarakat ini lebih banyak terjun ke desa ikut kegiatan misalnya mengajar anggota masyarakat yang buta huruf, kegiatan karang taruna, kegiatan PKK dan lain-lain.

Seusai Praktek langsung masuk kegiatan menyusun skripsi. Awalnya tidak masalah karena di bantu oleh  Yahya si kakak kelas itu. Namun ditengah perjalanan Mas Yahya sudah lulus Sarjananya dan mendapatkan pekerjaan di luar kota yang jauh. Sehingga Dhina tidak ada lagi yang membantu. Untung konsep skripsinya sudah selesai, tinggal berkonsultasi dengan Dosen Pembimbing.  

Hasil konsultasi pertama begitu banyak yang harus direvisi. Dhina mulai kehilangan fokus karena tidak ada yang diandalkan untuk membantu. Kalau bertanya kepada Bapak paling hanya diberi tahu begini-begini terus disuruh membetulkan sendiri. Tidak seperti mas Yahya langsung dia yang membuatkan, makanya Dhina tidak senang bertanya kepada bapaknya.

Pakdenya yang dosen Unej juga mendorong ingin membantu namun sifatnya konsultasi, Dhina tidak mau. Yang diinginkan adalah seorang yang mau mengerjakan langsung jadi tanpa dia yang berpikir ini itu. Bapak sangat tidak setuju itu maka Dhina mogok konsultasi dengan dosen pembimbing karena revisi belum dikerjakan.

Dia tanpa sengaja dikenalkan oleh Pembina Pecinta Alam sekaligus sopir  di sekolah Bapak dengan anak UNEJ. Anak itu bernama Imam, masih kuliah di jurusan Biologi juga. Selain itu mas Imam adalah ketua Mapala UNEJ jurusan Matematika dan Biologi. Dhina merasa senang kalau diajak ngobrol tentang petualangan di alam pegunungan.

Hubungan mereka semakin akrab hanya saja tidak diberitahukan kepada kedua orang tua di rumah. Karena penampilan mas Imam itu 11 : 12 hampir seperti Alex dulu. Bedanya kalau dia potongan rambutnya gundul plontos, tidak bertato, agamis suka ceramah dan ndalil, lainnya sama dengan alex. Kemana-mana pakai celana pendek, kaos oblong bulak, bau badannya menyengat. Namun entah apa yang dilihat sehingga Dhina sangat menyukainya.

Bersamanya sudah lupa sama sekali urusan skripsi yang terbengkalai, karena rupanya Imampun juga terancam droup out keasyikan mengurus organisasi.

Pengawasan oleh kedua orang tua Dhina semakin mengendor karena, mereka berpikir putrinya sudah hampir selesai kuliahnya berarti sudah cukup dewasa untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Ternyata perkiraan itu salah besar.

Imam tidak sebaik seperti Yahya kakak kelasnya yang bertanggung jawab dan dewasa dalam bertindak. Entah kapan dia berhubungan serius dengan Imam. Tahu-tahu suatu sore bakdha Asahar Imam datang ke rumah secara terus terang mengatakan dia melamar ingin menikah dengan Dhina.

 “Apa maksudmu mas, datang sendiri ke rumahku mengatakan ingin menikah. Anakku masih belum lulus kuliahnya?” kata Bapak dengan nada tak sabar.

“Iya pak saya ingin bertanggung jawab?”

“Bertanggung jawab apa?”

“Kami berdua telah kilaf dan berbuat dosa, telah melakukan hubungan di luar batas, dan kini Dhina telah mengandung anak kami berdua?” telinga ayah bagai tersengat bara api memerah membakar sampai ke jantung dan dadanya demi mendengar keterus terangan pemuda itu.

“Apa benar kamu telah melakukan semua itu Dhin?” tanya bapak sangat marah.

“Iya pak.” jawab Dhina dengan gemetar ketakutan.

Kalau ada pukulan godam maka inilah pukulan godam terberat yang diterima oleh pak Bagyo dan bu Bagyo. Lalu beliau mengatakan.

“Kalau mau melamar anak saya datanglah besok dengan kedua orang tuamu, saya tunggu di rumah, sekarang pulanglah.” Imam dengan rasa berat segera berpamitan. Sepulang Imam, Dhina dicecar berbagai pertanyaan oleh Bapak ibunya.

“Siapa anak itu Dhin, benar-benar lengkap sudah derita yang kau hunjamkan ke ulu hati bapakmu.” tanya Bapak sambil marah, mata berkaca-kaca dan telinganya merah.

“Dia keponakan dari guru di sekolahnya Bapak. Bu Kirana itu buliknya dan pak Rahmad itu pakdenya.” jelas Dhina.

“Pak Rahmad itu orang yang ugal-ugalan, arogan. Dia pernah mengancam akan membunuh Bapakmu.” kata Ibu.

“Kenapa sih nak kamu selalu saja ingin mempermalukan bapak dan ibu. Apa salah Bapak Ibu padamu?” Dhina hanya diam menangis

“Kami telah merawatmu sejak bayi merah sampai dewasa sekarang ini, sudah berapa kali kau menyiksa kami. Hampir-hampir kau tak sekalipun membuat orang tua ini bangga dan senang. Apa sengaja kau ingin membalas dendam karena Bapak dan Ibu telah mengangkat kamu sebagai anak angkat. Yaa Allah kalau ada kesalahan inilah kesalahan terbesar kami telah merawatmu.”

“Apa kalian berdua memang sengaja hamil duluan biar dinikahkan. gitu ya?”

Sebenarnya menurut agama orang hamil di luar nikah itu tidak boleh dinikahkan. Seharusnya dihukum rajam sampai mati atau dicambuk seratus kali. Kalian telah melakukan dosa besar. Tidak hanya kalian Bapak dan Ibupun kena dampaknya ikut berdosa karena kurang benar dalam mengawasimu.” lanjut Bapak. Dhina tidak menanggapi kata-kata bapak dan ibunya.

“Sudah sekarang menyingkirlah kau dari hadapan Bapak.”

 “Dhin masuk kamarmu.” perintah bu Bagyo memperhalus kata-kata Bapak. Kawatir Dhina akan minggat lagi dari rumah seperti yang pernah dilakukannya. Pak dan Bu Bagyo segera masuk ke kamar berunding besok akan kedatangan orang tua Imam.

Sesuai yang diharapkan oleh pak Bagyo, bakdha maghrib Imam Gozali datang bersama Bapak dan kakaknya, Ibunya tidak ikut datang. Dalam menerima mereka, Pak Bagyo kelihatan sekali sangat tidak ramahnya, karena terbawa rasa kecewa yang dalam atas perbuatan mereka berdua.

Setelah dipersilahkan duduk, pak Bagyo tidak bisa berkata-kata. Ayah Imam Gazali yang membuka pembicaraan.

“Kedatangan kami ke sini pertama mengenalkan diri, saya Anshori ayahnya Imam Gazali. Jauh-jauh dari desa Kuniran, ingin menyambung silaturahim dengan keluarga Bapak di sini. Kedua ingin mohon maaf yang sebesar-besarnya karena anak saya sudah berbuat salah. Namun sebenarnya dalam hal ini insya Allah bukan anak saya saja yang bersalah. Putri Bapak juga  bersalah. Karena itu anak saya ingin bertanggung jawab dengan melamar Dhina putri Bapak untuk anak saya.” kata-kata pak Anshori lembut namun sangat-sangat menyakitkan. 

Sebelum Pak Bagyo menjawab permohonan pak Anshori, dia perlu menanyakan langsung kepada Imam Gazali dan Dhina.

“Apakah kamu yakin bahwa kamulah yang pertama dan satu-satunya yang menggauli anak saya sampai dia hamil begini?” tanyanya kepada Imam Gazali.

“Insyaa Allah yakin Pak.” jawab Gazali

“Apa alasannya, sehingga kau yakin?”

“Ketika pertama kami berhubungan dia masih virgin, Jadi saya yakin anak dikandungan Dhina adalah anak kandung kami berdua.” Gazali tegas. Bu Bagyo, Jamila kakak perempuan Gazali serta pak Anshori terkesima demi mendengar pengakuan Gazali.

“Dimana kau melakukan itu dan berapa kali?”

“Di Hotel Himalaya pak, lebih dari tiga kali.”

Gazali menunduk merasa malu namun berusaha berkata jujur.

“Kau perkosa dia atau suka sama suka?”

“Suka sama suka pak.”

“Kelihatannya kau orang khusuk beragama, keningnya  ada capnya hitam kata orang menandakan bekas sujud, rajin sholat, lalu bagaimana sampai terjadi seperti ini?”

“Mohon maaf pak kami benar-benar kilaf.”

“Kalau satu kali itu namanya kilaf, kalau beberapa kali namanya sengaja.”

Mendengar wawancara Pak Bagyo, Pak Anshori dan Jamila menunduk karena sangat malu, merekapun sebenarnya juga tidak tahu kalau Gazali tega sampai berbuat seperti itu. Bu Bagyo mulutnya bungkam menahan amarah.

“Katamu dan kata ayahmu tadi kau ingin melamar atau menikahi anak saya?”

“Dua-duanya pak.”

“Jadi kamu sudah siap menikahi anak saya.?”

“Insyaa Allah siap.”

“Apa kamu sudah kerja atau punya penghasilan untuk menafkahi anak orang ?”

“Belum pak, insyaa Allah orang tua saya siap membantu?”

“Lalu setelah menikah kau akan beri makan apa anak saya, belum kalau anak kalian lahir, makan batu atau makan ikut orang tua begitu maksudmu. Kamu sendiri kuliah belum selesai minta biaya kepada orang tua gitu kok.”

“Saya janji demi Allah akan segera mencari pekerjaan pak.”

“Dhina apakah kau yakin bahwa lelaki ini akan menjadi Imammu?” tanya Bapak pada anaknya.

“Yakin pak, kalau tidak yakin ngapain sampai berbuat sejauh ini.” jawab Dhina tegas.

“Berkeluarga itu beda dengan pacaran nak. Banyak kebutuhan, banyak hal-hal yang tidak kau perkirakan, tidak kau ketahui bisa terjadi. Misalnya sudah tahukah bagaimana karakter asli calon suamimu itu, sabarkah, pengertiankah. Tentang pekerjaan kalau suamimu tidak kerja tidak punya penghasilan cukup, apakah kamu sanggup hidup sabar di tengah kekurangan?”

“In syaa Allah kami siap pak.”

“Jangan asal jawab. Bagaimana kalian akan makan?. Kalau anak kalian lahiran butuh biaya rumah sakit, biaya susu untuk anakmu, kalau anakmu sakit. Masalah ekonomi biasanya sangat peka memancing emosi untuk perselisihan dan pertengkaran dalam keluarga. Apa semua itu kamu sudah pertimbangkan Nak?”

“Kalau kami bersama insyaa Allah siap.” Dhina meyakinkan.

Pak Bagyo merasa cukup menggali informasi, dan memberi wawasan kepada mereka. Toh apapun kondisinya siap atau tidak siap harus siap. Nasi sudah menjadi bubur. Kemudian memutuskan. “Dengan sangat terpaksa lamaranmu, saya terima dan kamu harus menikah dua bulan lagi, secara sederhana yang penting syah secara agama dan hukum negara. Siapkan kelengkapan surat dokumen pernikahan dalam waktu satu minggu ini.”

 “Pak kalau wanita sedang hamil, tidak boleh menikah, tunggu kalau sudah melahirkan baru boleh.” celetuk Jamila kakaknya.

“Kata-katamu benar mbak, namun dalam hal ini sifatnya sangat darurat. Tadi adikmu sudah mengakui bahwa dia sendiri secara yakin yang sudah menghamilinya dan dia mengaku janin itu anaknya.

Enak di kalian tidak enak di kami, siapa yang akan menanggung malunya? Adikmu bebas karena laki-laki, Kami tidak punya muka bila anak saya mengandung tidak punya suami. Kalau nunggu setelah lahiran selama sembilan bulan, lalu adikmu ingkar janji bagaimana siapa yang jamin. Toh tadi adikmu sudah yakin mengakui bahwa anak dalam kandungannya adalah anaknya.” jawab Pak Bagyo.

“Saya bisa memaklumi pemikiran Bapak, kami setuju mereka dinikahkan dua bulan lagi. Kami akan menyiapkan berkas-berkas untuk KUA.” tukas pak Anshori agar kakaknya tidak berdebat lagi.

 





EPISODE 8

Menguak Jati Diri

 

Telah diceritakan sebelumnya bahwa Riskya Rahmadhina melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi swasta jurusan Biologi di kota Jember. Ketika mengikuti mata kuliah biologi kakak kelasnya mengajari tentang asal usul seseorang dilihat dari golongan darah. Dia hanya iseng meminta Dhina tes golongan darah.

Kemudian dia meminta Dhina melihat golongan darah Bapak atau ibu di kartu SIM nya. Setelah dianalisa dari golongan darah bapak menurut kakak kelasnya, ada kejanggalan. Untuk meyakinkan, kakak kelas minta dilihatkan kartu sim milik ibu, ternyata juga tidak cocok. Kesimpulannya menurut teori biologi, ada suatu kejanggalan.

Karena penasaran kakak kelas yang iseng itu, menyuruh menanyakan kepada Bapak siapa jati diri Dhina yang sebenarnya. Anak kandung pak Bagyo dengan bu Bagyo atau bukan. Rizkya Rachmadina menjadi penasaran, mendengar penjelasan panjang lebar dari kakak kelasnya itu. Dia mencari kesempatan yang tepat untuk menanyakan pada Bapaknya. Dia memang lebih pas bila bertanya kepada bapak dari pada ibu, Bapak lebih bijak dalam hal ini dibanding ibu.

Setelah sholat maghrib Bapak duduk di sofa ruang tamu sendirian sambil membaca buku. Di ruang tamu yang hanya berukuran 5x4 meter itu, beberapa lukisan tergantung di tembok kiri kanan dan jam dinding pemanis mata memandang.   Sinar lampu lima belas waat cukup benderang, namun suasana sepi seandainya tak ada suara TV di ruang keluarga.

Dhina mendekati Bapaknya kemudian duduk berjejer, berbasa-basi menanyakan sesuatu.

“Pak Nama saya Rizkya Rahmadhina itu apa artinya pak?” tanyanya sambil menunggu keberaniannya untuk menanyakan hal  yang sangat penting kepada Bapaknya. Bapak menoleh pada putrinya penuh tanda tanya.

“Untuk apa menanyakan itu?” tanya Bapak sambil tetap memandangi Dhina.

“Ya ingin tahu saja.” jawabnya sekenanya

“Rizkya itu artinya Rizki dari Allah SWT, Rahmadhina artinya yang dirahmati. Jadi Rizkya Rachmadhina artinya Rizki yang dirahmati Allah SWT.

Dhina manggut-manggut mengalihkan dari pandangan tajam bapak sambil berpikir. Sebenarnya kalau mengingat selama ini kedua orang tuan, begitu tulus mencintaiku, rasanya tak sanggup menanyakan hal ini. Kawatir nanti mengakibatkan mereka sedih. Namun bagaimana, rasa penasaran di hati ini tak terbendung lagi, gejolak hati Dhina.

“Pak, boleh Dhina bertanya lagi, tapi janji Bapak jangan marah atau sedih.” katanya memberanikan diri. Bapak yang dari pertanyaan sebelumnya sudah curiga, dengan pertanyaan kedua ini semakin curiga. Namun dia tetap sabar.

“Mau tanya apa, katakan saja.?” jawab Bapak sedikit meninggi.

“Berdasarkan teori biologi maka analisa golongan darah saya dengan bapak dan dengan ibu harusnya cocok. Kalau tidak cocok berarti ada kejanggalan bahkan kemungkinan......” Dhina tidak meneruskan kata-katanya, kemudian menundukkan kepalanya.

“Kemungkinan apa, kejanggalan apa?” tanya Bapak.

 “Saya hanya penasaran saja pak. Saya ingin tahu sebenarnya siapa diri saya ini?” Dhina masih sambil menunduk. Deg,.... dada Pak Subagyo tiba-tiba berdetak kencang, mukanya pucat demi mendengar pertanyaan putri kesayangannya. Pak Subagyo yang mengerti soal agama tidak mau mengelak, memang Dhina wajib tahu tentang siapa dirinya. Tidak boleh seseorangpun menghapus nazab orang lain.

Setelah menarik nafas panjang seakan ingin memenuhi paru-parunya dengan oksigen agar perasaan sedih di hati bisa ditekan sehingga kuat menyampaikan segala sesuatunya dengan tatag dan tabah. Lalu beliau berucap.

“Sebenarnya Dhina memang bukan anak kandung Bapak dan Ibu.” Pak Bagyo membuka ceritanya. Kini giliran Dhina dadanya berdentang keras mendengar penjelasan Bapaknya. Sebenarnya Dhina berharap bahwa Bapak dan Ibu adalah kedua orang tua kandungnya.

“Kenapa Bapak baru menjelaskan saat ini, pada saat Dhina menanyakannya?” Dhina mendongakkan kepalanya, mata menatap lekat pada Bapaknya. Bapak mengambil nafas dalam baru menjawab

“Kalau selama ini Bapak tidak pernah menyampaikan kebenaran ini, Bapak minta maaf. Bukan dengan sengaja ingin menyembunyikan untuk selamanya. Bapak menunggu waktu yang tepat ketika kamu dewasa sehingga bisa mengerti dan berpikir jernih menerima penjelasan ini. Kiranya Allah menhendaki saat inilah waktu yang tepat itu.”

Dhina hanya diam dengan perasaan tak menentu menunggu cerita lebih lanjut dari Bapaknya serasa waktu melambat lama sekali.

“Yang jelas Bapak dan ibu sangat sayang kepada Dhina. Sejak Bayi umur satu bulan kamu menjadi anak Bapak dan Ibu. Sampai kini kamu sudah sebesar dan sedewasa ini, kami sangat menyayangimu. Nah sekarang setelah mengetahui kebenaran ini, terserah kamu. Tetap menyayangi kami atau kamu ingin kembali kepada kedua orang tua kandungmu, kami tidak masalah.”

“Berdasarkan unggahan seseorang di FB ku, orang itu mengatakan bahwa orang tuaku masih hidup dan Saudara-saudara kandungku ada sembilan orang. Kini mereka berada di Sumatra apa itu benar pak?” tanya Dhina ingin tahu.

“Itu benar. Namun disana hanya karena ada proyek pekerjaan, Kalau proyek selesai mereka pulang ke kampung halaman.  Kakak-kakakmu sudah menikah tinggal di kecamatan Bandung Tulungagung, bersama kakek nenekmu.” jelas Bapak.

“Apa boleh suatu saat bersilaturahmi ke rumah orang tua kandung Dhina?”

“Tentu saja sangat boleh dan harus. Memang kamu wajib menyayangi mereka dan mencintai selain orang yang merawat dan membesarkanmu, orang tua kandungmu dan saudara-saudaramu itu. Insyaa Allah pada Hari Raya Idul Fitri kita bersama bersilaturahmi kesana, sambil bapak ibu pulang kampung ke nenek kakek orang tua bapak.”

“Terima kasih Pak, Dhina tetap Putrinya Bapak dan ibu Subagyo, sampai kapanpun.” Dhina merangkul Bapak dengan erat, dan Ibu Subagyo yang baru selesai menyiapkan makan malam segera bergabung dan merangkul mereka berdua, sesenggukan mereka bertiga menangis.

“Terima kasih ya Allah, atas segala nikmat yang telah Kau berikan pada keluarga ini.”

Lega hati Dhina sudah mendapat keterangan yang selama ini menjadi ganjalan. Bapak juga merasa plong telah mengungkapkan suatu kebenaran kepada Putrinya. Mereka kemudian makan bersama di ruang makan, dengan perasaan bahagia.

“Kamu sekarang kan sudah dewasa, besok kalau kamu nikah maka bukan bapak yang menjadi wali nikahmu, tetapi orang tua atau saudara kandungmu yang laki-laki.”

“Kok begitu pak?” tanya Dhina

“Iya karena bapak dan ibu, bukan orang tua biologismu, secara agama islam kami tidak berhak menjadi wali yang menikahkanmu.”

“Iya, makanya kamu harus tetap menghormati dan menyayangi orang tua kandungmu selain menyayangi kami kedua orang tua angkatmu.” Dhina, bapak dan ibu terdiam menelan nasi. Rasanya menjadi sesak di tenggorokan, susah menelan walau hanya seteguk air sekalipun demi merasakan makna kata-kata yang baru disampaikan oleh bapak. Terutama ibu merasa sangat sedih bila mengingat bahwa keluarganya tidak beruntung dalam hidupnya erasa tidak sempurna sebagai wanita.

 



EPISODE 9

Konflik Keluarga

 

Setelah menikah Dhina dan Gazali tinggal di rumah pondok orang tua indah. Rumah bergaya minimalis di komplek perumahan berkapling lebar, berpagar transparan tembus pandang. Di halaman depan, samping kiri dan belakang  berhias tanaman hijau dan bunga-bunga, menjadikan rumah orang tuanya asri, sejuk dan menyenangkan.

Dengan para tetangga hidup rukun, saling ramah bertegur sapa, saling bergotong royong. Kebetulan di rumah itu kamarnya tiga, satu untuk bapak dan ibu, satu untuk Dhina sejak dia masih SMP, satu lagi kamar tamu kosong, Dhina dan Gazali menempati kamar yang dulu biasanya ditempati ketika belum menikah. Mereka tinggal di sana sampai anak kedua lahir.

Gazali menepati janji setelah menikah akan bekerja. Kini dia bekerja sebagai sales di suatu Perusahaan  dengan gaji lumayan, UMR plus. Ibu melarang kami masak sendiri, sementara masak jadi satu saja untuk satu keluarga, agar tidak boros.  Ibu menyarankan agar gaji suaminya untuk beli susu dan keperluan anak.

Karakter Dhina dan suaminya itu sebelas dua belas, hampir sama tidak sabarnya, sama kerasnya. Hal-hal kecil sering menjadi pemicu pertengkaran. Ketika mereka belum punya anak tiada hari tanpa pertengkaran. Mereka masing-masing saling mempertahankan ego, dan tidak ada yang mau mengalah. Kalau tidak karena sungkan kepada Bapak, tidak berhenti bila mereka bertengkar, terkadang Gazali menyakiti istrinya secara fisik.

Tujuh bulan kemudian anak pertama mereka lahir laki-laki secara caesar. Kulitnya putih bersih, lucu ganteng dan menggemaskan. Kami sekeluarga sangat menyayangi Satriya Nanda Gazali, nama anak lelaki mereka.

Sejak punya Satriya, Gazali sedikit menurun egonya. Sehingga sering mengalah bila bertengkar. Sebaliknya Dhina justru sering marah sering menyalahkan orang lain. Gazali menjadi sasarannya omelan, kemarahan, karena berbagai hal kecil terutama masalah ekonomi.

Seiring semakin bertumbuhnya fisik dan jiwanya, Satriya semakin serba mengkawatirkan. Mencoba berdiri berpegangan kaki meja, kemudian terjatuh, memakan apa saja yang ditemui dilantai, pokok semakin membuat capek ibunya. Seperti biasa ada saja yang membuat Dhina harus berteriak dan cerewet menegur dengan suara keras kepada anak dan suaminya.

Satriya telah tumbuh menjadi anak yang sehat, gemuk cerdas dan tak mau diam. Akung  Bagyo dan Uti sangat menyayangi dan cenderung memanjakan. Hal demikian sering memicu pertengkaran dengan Utinya. Dhina tidak ingin Uti terlalu ikut campur urusan mengasuh anaknya, Kadang kata-kata menyakitkan yang meletup dari Mulut Dhina menjadikan sedih hati Uti.

Ketika Satriya berumur tiga tahun bapak dan ibu Bagyo menunaikan ibadah Haji. Tanpa sepengetahuan bapak dan ibunya Dhina mengandung lagi. Sayang usia kandungan baru berumur dua bulan terjadi pendarahan dan kemudian keguguran. Mungkin karena tidak ada yang mengingatkan maka saya kecapekan atau karena terlalu sering bepergian bersepeda motor.

Para tetangga yang diserahi untuk mengawasi mereka tidak tahu kalau sebenarnya Dhina sedang hamil. Tanpa sengaja ketika tetangga dekat memperhatikan secara seksama, baru tahu kalau sebenarnya saya baru saja keguguran itupun karena info perawat yang kebetulan kenalan tetangga itu.

Dhina dan Gazali dimarahi oleh tetangga yang diberi amanah oleh ibu selama pergi haji. Merka berdua hanya bisa diam dan minta maaf. Setelah Dhina mengabari Ibu dan Bapak yang sedang di tanah suci, beliau berdua  berdo’a sambil menangis mohon agar Dhina  diberikan kekuatan dan kesehatan. Semoga putrinya segera diberi kesempatan sekali lagi untuk bisa mengandung dan mempunyai seorang putri yang cantik.

Alhamdulillah setahun setelah pulang dari tanah suci, ketika Satriya berumur empat tahun. Allah mengabulkan permohonan pak dan bu Bagyo, Dhina mengandung lagi. Pak dan Bu Bagyo mengawasi dengan ketat agar Gazali dan Dhina sama-sama menjaga bayi dalam kandungnnya. Beliau berdua wanti-wanti tidak boleh stress, tidak boleh banyak bepergian naik sepeda motor, tidak boleh kecapekan. Semua itu dilakukan agar bayi dan ibunya selamat, sehat, kuat sampai saatnya lahiran.

***

Cobaan datang ketika Dhina mengandung adiknya Satriya. Perusahaan tempat Gazali bekerja tutup, karena alas an target penjualan tak memuaskan., maka  kantornya dipindah ke Malang. Semua pegawai yang di Jember diberhentikan dengan pesangon dua bulan gaji. Hal demikian memancing emosi Dhina naik dan terkadang tidak terkendali.

“Sejak awal pernikahan kami itu memang sudah tidak benar, maka beginilah jadinya. Ada saja penderitaan yang datang menjadikan kekecewaan. Rasa malu dengan cemoohan orang karena kelahiran anak pertama, ekonomi yang pas-pasan, dipecat dari pekerjaan, keguguran, mengandung lagi anak kedua yang membutuhkan biaya besar lagi, karena lahirnya harus Caesar karena anak pertama sudah Caesar,” omelan Dhina panjang kali lebar kepada suaminya.

Kalau tidak ingat peringatan mertuanya agar menjaga jangan sampai istrinya yang lagi mengandung itu menjadi stress maka Gazali hanya diam namun mengeluh pada ibunya di desa.

Gazali sangat tersinggung karena omelan istrinya ”Okey kalau memang kamu menyesal dengan perkawinan kita, maka kitaucerai saat ini.” ucapan Gazali sangat terdengar oleh bapak dan ibu mertuanya.

“Jangan berkata sembarangan. Bila suami mengatakan CERAI maka seketika itu hubungan suami istri telah putus. Maka sementara Gazali silahkan pulang ke rumah orang tuamu, saya akan mengkonsultasikan dengan KUA. Saya beri waktu tiga bulan kamu tidak boleh datang kesini sebelum ada surat keputus cerai dari Pengadilan Agama.” tegas pak Bagyo kepada menantunya.

Entah karena patuh atau karena marah, Gazali pulang ke orang tuanya di desa. Bapakdan ibunya di desa bertanya-tanya ingin tahu ada permasalahan apa dengan anak lelakinya.

Pak Bagyo segera berkonsultasi dengan KUA tentang suami yang mengatakan CERAI di depan istrinya dikala marah apakah otomatis benar-benar sudah putus hubungan suami istri. Untuk resmi cerai maka suami istri harus melalui sidang dan kemudian diputuskan cerai atau tidak dengan memberikan surat keterangan cerai atau tidak dari Pengadilan Agama. Jadi tidak hanya sekedar lisan begitu, begitu keterangan dari KUA.  

Baru satu minggu Gazali pulang ke desa, dia sudah dating lagi ingin minta maaf dan bertemu istri dan anak-anaknya. Pak Bagyo memperbolehkan asal istrinya dan anaknya mau. Ternyata hanya Satriya yang menemuinya ditemani Pak Bagyo. Mata Gazali berkaca-kaca melihat anak kesayangannya, dipeluk dan dielus-elus kepalanya. anaknya hanya diam saja.

“Pak saya mohon maaf, ijinkan saya bertemu istriku sebentar saja.” pintanya sambil menangis memelas.

“Bukan saya tidak mengijinkan kamu. Tahukan sikap istrimu kalau lagi marah seperti bagaimana? Ya bersabarlah, besok minggu kamu datang ke sini lagi. Biarlah bapak memberi nasehat agar istrimu mau memaafkan dan mau menemuimu.” kata pak Bagyo, yang kemudian meninggalkan Gazali menemui dan membujuk Dhina agar mau menemui. Denga nagak malas Dhina keluar dari kamar menemui suaminya. Gazali berdiri ingin memeluk istrinya namun istrinya menolak.

“Jangan pernah datang sebelum dia dapat pekerjaan di perusahaan lain dan memperbaiki ucapannya yang akan menceraikan saya.” berkata Dhina pada suaminya, lalu ditinggalkan begitu saja.

“Sudah sekarang sebaiknya Gazali pulang dulu, seminggu lagi silahkan datang mungkin sudah mereda amarahnya.” kata pak Bagyo

Seminggu kemudian Gazali datang lagi hasilnya nihil, istri dan anaknya tidak mau menemui. Istrimu mengatakan “Jangan pernah datang sebelum .dapat pekerjaan di perusahaan lain” kata istrinya lewat mertuanya.

“Baiklah pak saya permisi dan akan datang lagi ketika sudah mendapat pekerjaan.” Dia mencium punggung tangan mertuanya lalu pulang kerumah orang tuanya di desa.

Gazali langsung menghubungi teman-temannya kalau-kalau ada lowongan pekerjaan untuknya. Beruntung Allah memberi jalan, teman yang menjadi supervisor di perusahaan lain menghubungi. Gazali diminta segera mengajukan lamaran untuk mengisi kekurangan karyawan bagian sales. Dia langsung melamar direkomendasikan oleh temannya itu dan berhasil diterima

 Sebulan kemudian dia datang sambil membawa kabar bahwa dia sudah dapat pekerjaan sales di perusahaan lain. Dia menunjukkan surat diterima sebagai sales di perusahaan lain. Surat itu ditunjukkan kepada pak Bagyo. Beliau lalu menemui Dhina. “Suamimu sudah dapat pekerjaan.” Dia mau menemui suaminya. Sementara itu Satriya bermain dengan Uti di dapur dan pak Bagyo meninggalkan mereka berdua menyelesaikan masalahnya.

“Bagaimana kamu langsung dapat pekerjaan?” tanya Dhina sinis.

“Sebenarnya saya tidak diam, saya juga berusaha mencari, namun kalau belum dapat mau bagaimana saya,” jawab Gazali

“Mana buktinya kalau kamu diterima kerja?”

“Ini suratnya.” Gazali memberikan surat dalam amplop coklat muda dari tas kecilnya.

“Alhamdulillah, ini rejekimu nduk.” kata Dhina, surat itu diusapkan ke perut gendutnya.

“Nah sekarang bagaimana masalah ucapanmu yang akan menceraikan saya itu. Kalau kamu serius saya siap,” tegas Dhina

“Maafkan saya, jangan ulangi kata itu lagi saya tak akan sanggup berpisah dengan kalian.” Gazali memohon sambil menangis. Pada dasarnya Dhina juga berat bila berpisah kasihan Satriya dan anak yang masih dalam kandungannya.

Dhina memanggil Satriya, kemudian disuruh dia mencium punggung tang bapaknya, mereka bertiga berangkulan sesenggukan menangis bersama.

Lega sudah hati mereka masalah bisa diselesaikan Bersama dengan happy ending, Pak Bagyo yang mengintip dari dapur segera ke ruang tamu menemui mereka.

“Pak terima kasih saya senang bertemu mereka sekarang saya ijin pulang”

“Masih ingin melanjutkan cerai? Kalau iya urus surat cerai ke Pengadilan Agama.”

“Tidak pak, saya masih sayang dengan mereka.”

“Kamu sudah boleh kembali ke rumah ini bersama istri dan anakmu Iagi. jangan sembarangan bilang CERAI di depan istrimu. Ingat istrimu hamil tua sebentar lagi lahiran. Hati-hati kalau bertindak. Bagi kamu Dhin kalau ngomong juga diatur, pilih kata-kata yang menenangkan jangan sukur ngomong saja. Orang lain itu punya hati yang isa juga sakit karena perkataanmu itu.”

 

***

Suatu siang Satriya habis main sepeda di jalanan gang. Satriya ke dapur minta minum es cream buatan nenek sendiri. Ibunya yang baru bangun tidur menidurkan adik bayi, langsung nerocos.

“Satriya makan apa kamu?”

“Es cream buatan Uti.” jawabnya sambil ketakutan

“Awas kalau nanti sampai batuk”

Mendengar tegoran itu Uti kecewa berat, karena cucunya yang tadinya kelihatan senang menjadi takut. Es cream yang belum habis disuruh buang oleh ibunya. Satriya minta Roti tawar di tuangi milk. Mama komentar lagi

“Nanti kalau sampai batuk, awas mama tak punya uang untuk berobat ke dokter. Sudah makan es cream masih makan yang manis-manis, dasar gragas seperti tidak pernah makan.”

Akung dan Uti sangat tersinggung dengan cara menegur cucunya dengan kata kasar seperti itu. Namun tetap diam menahan perasaan tidak sukanya pada Dhina. Mereka sangat menjaga agar tidak marah dan menegur waktu itu. Sikap orang berperilaku Playing Victim itu bisa kambuh.

Kalau kambuh tidak mau disalahkan, tidak mau menerima masukan, marah-marah, mengajak berdebat habis-habisan dan menyalahkan orang lain sambil menyampaikan kalimat bernada terdzolimi “Kenapa mesti saya yang selalu disalahkan, apa tidak boleh melindungi anakku agar tidak sakit.?”

Saat tidur dimalam hari Satriya batuk-batuk dan badannya panas. Malam-malam itu juga Satriya diomeli habis-habisan dengan kata-kata kotor, .dengan kasar di usap tubuhnya, dadanya lehernya dengan vicks, lalu disuruh minum obat batuk yang selalu disediakan setiap saat  Karena memang Satriya anaknya rentan sakit. kalau sudah minum air putih dan kemudian minum obat dia in syaa Allah sembuh.

Pagi-pagi sekali Dhina sudah menulis di WA group keluarga Bagyo panjang lebar, yang intinya menyalahkan ibunya yang telah memberi makanan yang seharusnya tidak boleh dimakan oleh anaknya. Padahal kenyataannya kemarin minggu siang anak hanya diberi es cream,  roti tawar di lumuri milk sedikit. Bapak melarang bu Bagyo membalas, atau mengklarifikasi agar tidak dimusuhi anaknya.

Pak Bagyo yang telah membaca celotehan amarah Dhina hanya membalas tidak lewat media sosial, dikatakan langsung Kepada Dhina.

“Jangan dibiasakan menyalahkan orang lain.”

“Kemarin memang Ibu telah ngasih cucunya es cream, dan Roti tawar pakai milk kental manis.”

“Pada dasarnya sakit itu karena kehendak Allah, kalau tidak dikehendaki sakit oleh Allah makan seperti itu ya tidak akan sakit.” jawab pak Bagyo

“Iya namun manusia di wajibkan ihtiar. Dengan tidak makan sembarangan supaya tidak sakit.” Jawab Dhina

“Kamu benar, intinya jangan selalu menyalahkan orang lain. Coba kamu ingat, pada malam minggunya Satriya kalian ajak keluar lalu kau belikan makan apa? atau mereka masuk angin dan kebetulan minggu paginya diberi makan itu oleh Utinya, kamu langsung menyalankan ibumu.”

“Bapak selalu membela ibu, selalu menyalahkan saya. Kan memang ibu yang bersalah.”

”Bapak sudah menasehati Ibumu juga, agar berhati-hati memberi sesuatu pada cucunya. Mungkin kamu benar, namun sebagai anak tidak pantas membuat hati orang tua sedih, dengan ucapan dan perilaku kasar dan bernada keras seperti itu.”

“Ibu selalu ngeyel dan membuat alasan kalau ditegur dengan baik-baik.”

“Sikapmu yang demikian itu coba dirubah lebih santun kepada orang tua atau kepada siapa saja.”

“Kalau orang lain menyakiti saya apa tidak boleh saya membalasnya? kalau seperti itu dunia tidak adil.”

“Kalau tidak mau dinasehati ya sudah terserah kamu saja.” Bapak menutup debatnya.

Satu hari berikutnya bu Bagyo yang sedang sibuk memasak di dapur kaget karena tiba-tiba Dhina sudah nerocos menumpahkan kekesalannya yang kemarin melalui WA dirasa belum tuntas, karena Ibunya tidak  koment sama sekali.

“Buk, Ibu mengaku salah apa tidak bahwa kemarin telah memberikan makan dan miniman kepada anakku.” kata-katanya bernada keras karena marah. Bu Bagyo masih diam, ingat pesan pak Bagyo suaminya. Namun Dhina semakin marah

“Buk ibuk, jangan diam saja, biar Bapak tahu kalau bukan saya yang salah, tetapi ibuk yang sebenarnya selalu salah faham dan pandai mencari alasan kalau saya beri tau “anallu jangan diberi makan minum yang bisa 

menyebabkan sakit.”

“Iya kalau menurutmu Ibu salah, baiklah sejak sekarang jagalah anakmu jangan sampai mendekati ibu, agar tidak kena sakit.” jawab ibunya dengan kalimat bergetar karena sambil marah dan menangis  

Mendengar ramai-ramai orang bertengkar di rumah, pak Bagyo yang datang dari tetangga, langsung menjuju dapur menghampiri di tempat mereka sedang bertengkar.

“Diam” bentak Bapak sangat keras, sehingga yang bertengkar berhenti seketika. Mata Dhina melotot marah, anaknya diam di kamar dengan ketakutan.

“Kalau kamu sudah mandiri tanpa bantuan bapak dan ibu, kamu boleh ngomong begitu. Namun bila selama ini dalam banyak hal kamu masih harus bergantung kepada bapak ibu jangan pernah sombong di depan bapak dan ibumu.”

Dilain kesempatan bapak berpesan pada ibu “Ingat jangan terlalu memberi perhatian padanya. Agar dia tidak besar kepala. agar dia merasa bersalah kepada orang tua dan mau merubah perilakunya” Bapak cenderung diam, hanya bicara dengan Gazali itupun seperlunya. Kepada Dhina bapak sengaja membiarkan dan diam sampai dia berubah.

Sebenarnya tiba-tiba menyakiti hati, marah dan bertengkar dengan ibunya itu sudah sering kali dilakukan. Bapaknya pun sudah sering menegur langsung namun orang tua cenderung mengalah, tidak mau ramai, malu terhadap para tetangga.

Waktu berjalan dengan kondisi yang masih sama seperti itu. Dina tidak hanya kepada ibu, kepada suami kepada Satriya kepada Natasya anak keduanya juga seperti itu, bahkan kepada mertuanya juga berani berdebat bila hatinya tersinggung.

Bapak dan ibu memang selalu melindungi terutama kepada cucu-cucunya bila didzolimi oleh Dhina dan ayahnya. Hal demikian dilakukan karena Bapak tidak ingin cucu-cucunya mengalami gangguan mental setelah dewasa nanti.

Bila keterlaluan Bapak tidak segan bertindak mengingatkan kalau bisa dengan mulut, kalau tidak dengan tangan sekalipun pernah dilakukan.

 



EPISODE 10

Perenungan Dhina

 

Sejak masa anak-anak hingga masa dewasa, banyak hal buruk yang dia lakukan. Herannya pada waktu itu tidak pernah merasa menyesal sedikitpun terhadap apa yang dia lakukan.

Setelah dilamar oleh Imam Gazali, Rizkya Rahmadhina sempat merenung tentang apa yang selama ini telah dilakukannya. Orang tua angkat yang begitu baik dan perhatian kuanggap sebagai musuh dan sebagai sasaran balas dendam dan kebencian. Terutama Ibu angkatku. Entah apa sebabnya sayapun tidak menyadarinya dan kalau ditanya mengapa, sayapun tidak bisa menjawab.

Sejak hari lamaran yang spontanitas tanpa upacara tanpa cincin pertunangan tanpa kehadiran saudara kecuali hanya Bapak dan Ibu angkatku, hanya ucapan kata-kata saja yang disampaikan oleh Ayah Gozali dan kata-kata dari mulut Gozali sendiri.

Meresapi pembicaraan Bapak dengan keluarga Gazali, Dhina merasa sesak dadanya dan ciut hatinya akan menjalani masa depan, bila terjadi seperti apa yang diuraikan panjang lebar oleh Bapak. Mengingat itu semua rasanya ingin lari saja dari rumah sejauh-jauhnya, kembali kepada orang tua kandungnya.

Suatu saat bakdha Ashar Dhina minta diantar Ibu angkatnya ke terminal. Katanya dia ingin rekreasi bersama teman-temannya. Bu Bagyo tidak menaruh curiga sama sekali, ketika Dhina menyuruh Ibu meninggalkan dirinya sendirian di terminal. Bu Bagyo pesan hati-hati jangan kecapekan ingat kamu sedang mengandung.

Lama di terminal, Dhina melamun entah apa yang dilamunkan. Dia terkejut ketika kenek bus menawarkan bahwa bus ke Surabaya segera berangkat. Dhina mencangklong tasnya dipundak segera naik bus ke Surabaya dengan pikiran kalut tak menentu. Namun dia turun lagi karena perutnya terasa sangat sakit.

Kira-kira setelah adzan maghrib, Gazali dapat telephon dari Dhina, supaya dia di jemput. Dia sekarang ada di terminal Probolinggo, perutnya merasa sakit dan muntah-muntah. Gazali segera memberi tahu Pak Bagyo tentang hal ini. Kebetulan beliau sedang rapat di Malang sehingga tak bisa menjemput anaknya.

Pak Bagyo menelphon istrinya di rumah, agar minta tolong pada Gazali. Bu Bagyo dengan rasa kawatir, minta bantuan kepada Gazali untuk menjemput Dhina yang kondisinya lagi sakit tersebut.

Pukul sebelas malam mereka berdua datang. Gazali memapah Dhina yang menunjukkan wajah meringis-meringis kesakitan, masuk dan dibaringkan di tempat tidur kamar Dhina. Bu Bagyo segera mengambil obat gosok cap beruwang digosokkan pada perut dan hidungnya. Bu Bagyo sangat kawatir, maka Dhina dinasehati dan diberondong berbagai pertanyaan tentang mengapa dan mau kemana tujuan perginya. Dan telah berbohong bahwa dia akan rekreasi dengan teman-teman.

“Aku sedang banyak pikiran, ibu. Pikiranku sedang kacau mengenai masa depan yang akan kujalani. Aku sadar itu semua karena salahku. Ibu, Maafkan aku.” Dhina menangis di pelukan Ibu.

Bu Bagyo bertanya-tanya dalam hati tuluskah dia dengan segala ucapannya itu?. Menyesalkah dia dan akan merubah segala sikap dan perilakunya menjadi lebih baik, setelah nantinya berkeluarga? Semuanya menjadi tanda tanya besar,  mengingat beratnya masalah yang akan dihadapi dimasa depan bersama Gazali yang sebenarnya masih belum siap untuk berrumah-tangga. Hanya karena keadaan yang kemudian mereka memberanikan diri memproklamirkan mengarungi samodra raya mengayuh bahtera keluarga.

 


EPISODE 11

Victim Mentality.

 

Sebuah teori kesehatan mengajarkan tentang gangguan jiwa yang disebut Playing Victim atau Victim Mentality. Flaying victim adalah sifat manusia, yang dilakukan di sekitar rumah atau tempat kerja. Ini adalah tindakan pembuat masalah yang berlagak jadi korban dan merasa sebagai orang paling menderita. Orang ini biasanya merasa seolah-olah dia yang paling tersakiti atau paling menderita. Meskipun sebenarnya merekalah  yang memancing-mancing permasalahan terlebih dahulu terhadap orang lain.

Sebenarnya seseorang tersebut berbuat kesalahan karena ingin menghindari kesalahannya sendiri, dengan melimpahkannya pada orang lain. Dan dia memposisikan dirinya sebagai korban. Kondisi tersebut tentu akan merugikan orang lain di sekitarnya. Namun orang yang melakukan tindakan Victim Mentality tidak menyadari dan tidak peduli bahwa tindakan yang dilakukannya telah merugikan orang lain.

Rizkya Rahmadhina putri pak Bagyo, menunjukkan gejala seperti itu. Sulit mengatasi masalah hidup dan merasa tidak mampu mengatasinya. Dia merasa terjebak dalam kesulitan hidup,  dan melihat segala sesuatu dengan sifat negatif.  

Bagi orang yang mengalami mentality victim memang sengaja membiarkan pikiran negatif itu mengusai alam pikirannya. Sesungguhnya kalau mereka mau berpikir positif, bahwa manusia hidup itu tidak akan pernah lepas dari yang namanya masalah. 

Mana ada manusia yang tidak punya masalah. Satu masalah selesai, segera menyusul masalah yang lain lagi. Justru  itulah tandanya manusia masih hidup. Kalau sudah matipun manusia masih akan mengalami masalah di alam yang berbeda. Namun sudah tidak bisa berupaya keluar dari masalahnya itu.

Orang yang Mentality victim merasa diserang kalau ada yang memberikan masukan atau saran yang membangun. Ada semacam mental blok dalam otaknya yang memerintahkan dirinya untuk menolak segala macam masukan. Sehingga sulit membuat perubahan dalam dirinya sendiri.

Celakanya Dhina justru bergaul dengan orang yang suka mengeluh dan suka menyalahkan orang lain. Coba dia mau bergaul dan menerima pembelajaran dari orang yang berpikir positif Insyaa Allah hasilnya akan berbeda. Kata orang yang ahli hypno terapy tidak gampang membuka mental blok itu. Namun demikian bukan berarti tidak bisa.

Dhina selalu merasa tidak mendapat dukungan orang lain. Ya masalahnya mereka tidak atau kurang mau empati terhadap masalah yang dihadapi orang lain. Dia hanya sibuk mengasihani dirinya sendiri.

Harga dirinya yang rendah, sehingga tidak mampu menguatkan tekatnya untuk meraih kehidupan yang lebih baik.  Sering merenungkan beragam situasi yang serba negatif dan selalu berpikir dunia tidak adil. Dia beranggapan bahwa kegagalan adalah segala sesuatu yang sifatnya permanen. Padahal kenyatannya di dunia ini tidak ada yang sifatnya permanen.

Apa sih di dunia ini yang tidak bisa berubah, asal mau berusaha untuk merubah diri. Mempunyai perasaan tidak berdaya inilah salah satu penyebab Dhina tidak mampu memperjuangkan dirinya menjadi lebih baik. Cenderung melakukan hal-hal yang berbahaya untuk menarik simpati orang lain kepadanya. Dhina selalu iri dan merasa orang lain memiliki hidup lebih baik dibanding dirinya. Namun dia tidak mau mencoba mencari solusi akar masalahnya. Justru hanya fokus pada masalahnya, menyesali mengapa hanya dia yang diakrabi oleh berbagai masalah.  Dia pesimis akan berhasil dalam memecahkan masalahnya.

Bersikap argumentatif dari sudut pandang dirinya sendiri untuk melawan frustasi yang dialaminya.

Lalu menyalahkan orang lain saat terjadi sesuatu yang tidak baik. Dia selalu beranggapan bahwa orang lain lebih mudah sukses dibanding dirinya.  Dhina sangat meyakini bahwa dirinya sebagai target kesalahan saat terjadi hal buruk. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Makanya bila kondisi marah dia menyampaikan argumennya yang terkadang  masuk akal dan terkadang tidak. Dalam mengakiri argumennya dia selalu mengatakan “kok aku saja yang selalu disalahkan.”

Pak Bagyo ayah Dhina merasa sangat sedih dan kasihan melihat putrinya yang mengalami kondisi seperti itu. Beliau berpikir sebenarnya apa yang telah menyebabkan Putri yang dimasa kecilnya selalu disayang dan dimanjakannya berubah menjadi seperti itu.

Apakah barang kali  hal demikian sudah menjadi watak atau karakter bawaan sejak lahir. Kalau memang demikian beliau yakin Allah mencipta sesuatu itu memang ada kelebihan dan kekurangannya. Pastilah ada hikmah dibalik semua itu. Bisa juga karena pembelajaran atau pengalaman yang pernah dilihat, dirasakan atau dialami dimasa lalu.

Pengalaman dan ilmu yang pernah dibaca, sebagai mantan Kepala sekolah menurut pak Bagyo antara lain seseorang yang mengalami Flaying Victim itu karena beberapa hal. Pertama karena Trauma, terhadap suatu peristiwa yang kurang menyenangkan dimasa lalu. Pak Bagyo mencoba mengingat kiranya trauma apakah yang telah dialami putri tersayangnya itu. Ketika masih SD dia dibuli, dipalak oleh teman sekelasnya. Pernah juga dipukul dengan besi oleh tetangganya seumuran waktu dia bermain bersama. Pak Bagyo sendiri pernah memarahi terlalu keras ketika suatu saat dia bersalah. Biasanya di waktu kecil Dhina kalau bapaknya marah, dia memang sangat ketakutan.

Satu kali pernah Pak Bagyo menampar pipi putrinya dan memukul pakai sapu lidi dimasa remajanya, karena dinasehati selalu menjawab dan menantang. “Ya Allah maaf kan hambamu yang tidak mampu berbuat sabar terhadap putri sendiri.” berkaca-kaca mata pak Bagyo sedih dalam penyesalan.  

Pernah menjadi korban seseorang yang pernah menjadi korban pengkianatan terlebih jika hal tersebut terjadi berulang kali, akibatnya seseorang selalu merasa jadi korban dan kehilangan rasa percaya kepada orang lain.

Apakah mungkin Dhina mengalami seperti tersebut diatas? Kalau menurut Pengakuan Imam Gazali pacarnya dan Dhina sendiri mengaku bahwa hubungan diluar nikah itu terjadi akhir-akhir ini diusia dewasa, berdasarkan perbuatan suka sama suka. Sepertinya faktor ini bukan penyebab baginya.

Sebagai bentuk manipulasi. Bisa juga sebagai bentuk kesengajaan untuk memanipulasi orang lain. Misalnya membuat orang lain merasa bersalah, menarik simpati atau hal lain sesuai keinginannya. Masalah ini mungkin saja terjadi karena Dhina ingin membalas dendam pada kami kedua orang tuanya karena pernah memarahi dan bahkan menghukum dia ketika dia melakukan kesalahan berat.

Mencari Keuntungan. Mungkin saja bisa terjadi saat seseorang merasa nyaman mendapat keuntungan yang diperoleh saat menjadi korban. Maka dari itu orang tersebut merasa ketagihan untuk selalu diposisi sebagai korban. Beberapa keuntungan yang didapat saat menjadi korban antara lain : dapat memainkan drama, terhindar dari amarah orang lain, banyak orang yang akhirnya memberi bantuan,  tidak perlu tanggung jawab atas kesalahannya sendiri.

Apapun penyebabnya Pak Bagyo merasa sangat bersalah telah kurang memperhatikan perkembangan jiwa Putrinya sejak dini. 





EPISODE 12

Berbagai Solusi

 

Pak Bagyo menyesali segala perbuatannya. Merasa sangat bersalah terhadap Dhina Rahmadhina Putri kesangannya. Walau sebenarnya  beliau sesekali merasa merasa jengkel bila putrinya bertengkar dan sering membuat Ibunya menangis karena hunjaman kata-kata yang menyakitkan. Pak Bagyo dengan sabar memberi pengertian pada istrinya tentang apa yang harus dilakukan oleh anaknya yang seperti itu.

“Kami tidak kurang-kurang mengasihi anak kami, namun sebagai manusia beragama bila merasa sudah tak mampu menangani, maka kita serahkan semua masalah kita ini kepada Allah SWT.  Nabi Adam AS, Nabi Nuh AS, Nabi Yakub AS saja orang pilihan Allah tidak luput dari ujian melalui anaknya apa lagi kita manusia biasa.” pak Bagyo menenangkan pada istrinya.

Kemudian Pak Bagyo mengajak istrinya untuk mencoba beberapa cara menyikapi Dhina anak kita yang nota bene berperilaku menyimpang (Flaying Victim). Menurut literatur yang saya baca di media social  www.alodokter.com dan www.gramedia.com adalah sebagi berikut :

Cara pertama kita harus menjalin komunikasi dengan baik sambil mencari tahu alasan ia melakukan hal tersebut. Dengan memahami alasannya, kita bisa mengerti kondisinya dan dapat membantu dengan tepat. Bisa saja dia melakukan tindakan tersebut karena kurang percaya diri, rendah diri, hingga depresi.

Jika sudah mengetahui alasannya, berikanlah dukungan dan bantuan agar anak kita bisa menghilangkan kebiasaan buruknya itu. Ketika memulai percakapan dengan dia, berikanlah kesempatan kepadanya untuk mengutarakan perasaannya. Kemudain ajak agar bisa mengekspresikan keinginannya.

Tak hanya itu, jaga komunikasi dengannya, agar tidak menyebutnya sebagai orang yang selalu membuat masalah. Bagi sebagian orang, berinteraksi dengan seseorang yang begini ini tidak mudah. Namun kita juga harus menyadari bahwa anak kita mungkin pernah melalui peristiwa yang menyulitkan dirinya. Sehingga sebagai orang tua alangkah baiknya jika kita tidak mengucilkannya. Ingat tidak mudah untuk melakukan itu semua.

Cara kedua memberikan batas, jangan terlalu Perhatian.  Setelah cara pertama diatas dilakukan diharapkan berhasil  mengubah dirinya yang biasa berpikir negatif menjadi berpikir positif. Jangan terlalu menaruh perhatian kepadanya.

Biarlah dia yang mencoba menaruh perhatian kepada kita. Sebab dengan  terlalu perhatian kepadanya, akan membuat dia semakin besar kepala dan tidak menyadari kesalahannya. Awas hindari perdebatan, karena hanya akan memperkeruh suasana. Apa lagi menghadapi seorang yang pernah mengalami trauma dan bermental tidak sehat. Membiarkan dia memikul tanggung jawab sendiri, agar menyadari bahwa hal yang dilakukannya bisa merugikan orang lain.

 Cara ketiga memberikan bantuan berupa solusi  yaitu bisa dengan mencoba menawarkan bantuan. Kita harus mengakui kepercayaannya pada kita. Bahwa ia tidak dapat berbuat sesuatu terhadap situasi dan kondisi yang sedang dihadapinya. jangan disangkal. Kita harus bertanya apa yang akan dilakukannya apabila mempunyai kekuatan untuk melakukan sesuatu. Lalu kita ajak berdiskusi untuk membantunya mencapai tujuan yang diinginkan.

Cara yang ke empat, langsung memberi tahu terkait sikapnya yang menganggu. Jangan hanya memberi tahu bahwa dirinya mengidap penyakit victim mentality, dia akan mudah mengelak. Perlu sedikit tegas dengan memberikan penekanan bahwa sikapnya telah menganggu banyak orang lainnya hingga dia tidak dapat bersandiwara dan mencari simpati orang lain lagi. Hati-hati bila menegor, karena dia pasti akan mengajak debat dengan tidak ketinggalan dia mengatakan “Kok saya tok yang disalahkan, orang lain selalu benar.” dikatakan sambil marah.

“Aduh pak terlalu panjang dan teoritis begitu, bagaimana melaksanakannya.?” kata Bu Bagyo sambil bersungut-sungut.

“Yah ambil point-point yang kamu ingat saja namun intinya lihatlah situasinya, ajaklah bicara seperlunya, jangan berdebat, tetaplah ajak berkomunikasi, gitu lo istriku tersayang.” goda pak Bagyo

“Halah rayuan gombal.” Bu Bagyo merajuk

“Lho itu bukan gombal, tugas kita bersama, kalau hanya saya yang mengerti dan ibu tidak mengerti, ya yang sering menjadi sasaran kemarahan Dhina itu kan Ibu. Biar ibu bisa menyikapi dengan tepat. Are you okey Mom?” lagi-lagi pak Bagyo menggoda istrinya.

“iya... iya kita coba bersama-sama. Bismillah semoga berhasil.”

“Aamiin Yaa Robbal Alamin.”

Selain berusaha secara langsung oleh kedua orang tuanya, melalui fihak lain juga bagus, Misalnya minta tolong dengan psikiater ahli terapy mental, Hypno terapy, terutama oleh orang yang Dhina belum pernah mengenal mereka. Kalau sudah mengenal, dia biasanya menolak atau kurang yakin. Sesuatu yang dikerjakan dengan tidak ada keyakinan biasanya akan gagal.

Pak Bagyo sudah mencoba hampir seluruh yang diceritakan diatas sehingga Dhina segan kepada bapaknya untuk marah, membentak dan mengajak bertengkar. Namun kalau kepada Bu Bagyo karena berbagai hal tidak tega, hatinya juga keras maka menjadi sasaran empuk bagi Dhina untuk melampiaskan kemarahan sekecil apapun masalahnya. Misalnya bu Bagyo membiarkan cucu makan es krim, itu saja bisa menyebabkan Dhina marah sambal menyemburkan kata-kata pedas.

“Tidak mempunyai anak itu ujian, mengangkat anak itu juga ujian, mempunyai anak kandung itu juga ujian. Sebagai orang mukmin hanya dua pilihannya. bersabar dan bersyukur. Bersabar bila mengalami musibah atau ujian, bersyukur bila mendapatkan rezeki atau lepas dari musibah.” Gumam pak Bagyo

Allah tidak akan menguji diluar kemampuan hambanya.  Sesungguhnya hamba wajibnya hanya berusaha semaksimal mungkin, selebihnya Dia yang Maha menentukan, 




EPISODE 13

Membuat Prestasi

 

Pada Episode sebelumnya diceritakan bahwa setelah menikah delapan bulan, anak pertama lahir laki-laki diberi nama Satriya Nanda Gazali. Empat tahun kemudian Lahir anak kedua secara Caesar wanita cantik kulitnya kuning langsat gemol lucu menggemaskan. seperti ibu dan kakaknya yang tubuhnya subur segar. Putri tersebut diberi nama Natasya Salsabila Gazali. Umur lima tahun Satriya Nanda Gazali. sudah sekolah di TK Kusuma Bangsa.

Nyonya Dhina Gazali sangat berambisi mendidik anak pertamanya untuk meraih suatu prestasi. Dengan disiplin tinggi ala militer Ny Dhina ingin menjadikan anaknya sebagai anak yang sukses. Sejak TK A Satriya ditarget harus tiga besar di kelasnya. Untuk mencapai hal tersebut dia dipacu untuk belajar keras terhadap semua pelajaran sampai benar benar selesai dan menguasai materi pelajaran yang sedang dipelajari dengan kondisi penuh tekanan.

Tidak ada kata lelah, lapar, mengantuk apa lagi malas. Bentakan dan kena cubitan atau pukulan kecil pakai penggaris ditangan dan kakinya. Satriya tidak berani menangis sampai mengeluarkan suara, pasti dampaknya dapat omelan panjang lebar di cecarkan. Hanya sesenggukan menahan kesal dan pilu di hatinya.

Memang sih ada hasilnya, Satriya selalu rangking satu, terkadang dua, atau paling jelek tiga. Bila rangkingnya 4 – 7, alamat dia kena tindakan pressing dari ibunya. Tidak boleh main, tidak boleh lihat TV, harus terus belajar seharian sampai dia melapor pada ibunya  bahwa tugas sudah selesai. dia di tes kalau bisa jawab semua pertanyaan baru boleh istirahat.    

Gazali suaminya tidak tahu masalah itu atau mungkin tahu namun tidak berdaya dengan kekerasan istrinya. Sebenarnya sifat keduanya hampir sama, namun Gazali lebih sering bisa  mengendalikan. Sedang istrinya cenderung tidak mengendalikan diri. Karena itulah sering keduanya bertengkar kalau emosinya sudah saling lepas kendali.

Pak dan Bu Bagyo yang cenderung sangat sayang dan terkesan memanjakan cucunya sangat tidak setuju cara mendidik anak seperti itu. Pak Bagyo juga adalah seorang pendidik senior, tentu sudah memiliki ilmu mendidik yang baik. Maka sering terjadi cekcok dengan Ny Dhina.  Mereka tidak suka melihat cucunya yang masih kecil diperlakukan seperti itu. Pak Bagyo berpikir bahwa Dhina melakukan tindakan tersebut tidak manusiawi dan merupakan tindakan balas dendam karena Dhina merasa bahwa dahulu dirinya tidak bisa sukses. Maka anaknya harus menjadi seorang yang sukses, tidak peduli anaknya merasa menderita batin atau tidak, yang penting Dhina puas melihat anaknya sukses.

Usahanya itu memang berhasil. Anaknya selalu rangking dikelasnya, juara hapalan surat-surat pendek, selalu ditunjuk mewakili sekolah dalam berbagai lomba antar sekolah.

Dhina tidak mau menerima saran dari siapapun tentang cara mendidik anaknya. Dia selalu mengatakan “Ini anak saya, terserah saya mau saya apakan” Kalau sudah demikian sikap Flaying Victimnya muncul, diterapkan kepada Satriya maupun kepada kedua orang tuanya. Suaminya Gazali tidak begitu mengambil peran dalam pendidikan anaknya karena Gazali lebih fokus pada bekerja mencari uang untuk keluarga kecilnya.

Suatu saat Gazali  sedang bercengkerama dengan putri kecilnya, dan Satriya. Iseng dia bertanya kepada Satriya.

“Mas, kamu senang tidak punya adik perempuan cantik, lucu dan gemol ini?” tanya  Ayahnya.

“Senang, namun lebih senang kalau adik laki-laki.”

“Kenapa?”

“Bisa diajak main tinju-tinjuan, tendang-tendangan, sepak bola, perang-perangan.”

Ayah Gazali kecewa dengan jawaban anak lelakinya. Kemarin siang  ia juga sewot  digoda teman kerjanya dengan mengatakan

“Zal kamu itu lo hitam, jelek, istrimu, anakmu cantik, ganteng, kulitnya bersih kuning, jangan-jangan ……..” Gazali yang sebenarnya juga temperamental itu marah

“Mulutmu dijaga kalau bicara” Dia meloncat langsung memukul mulut temannya, untung bisa mengelak.

Pak Very supervisor yang kebetulan melihat kejadian itu menyuruh satpam melerai dan memanggil keduanya ke kantor. Keduanya di nasehati baik-baik, agar bisa menjaga sikap dan lidah kalau bicara. Kalau gojlokan harus tahu Batasan. Tidak bijak bila sesama karyawan saling main hakim sendiri. Mereka disuruh berdamai dan saling minta maaf.

***

Ketika Satriya kelas tiga MI Kusuma Bangsa, dan mengaji di TPQ. Adiknya yang cantik juga sudah ikut mengaji di TPQ. Karena didikan kedua orang tuanya yang cenderung keras maka tabiat Satriya juga keras. Kebiasaan keras itu diterapkan Satriya kepada adiknya yang kemudian menurun pada Natasya. Di rumah sering bertengkar dan melawan bila dijahati kakaknya. Ditempat mengaji Natasya sulit diatur masih sering semaunya sendiri tergantung mut nya. Kalau sedang tidak minat belajar, dia hanya main, tidak mau belajar.

Sampai di kelas tiga MI Satriya masih tetap rangking karena ibunya super ketat mengawasi dan mengajarinya. Ibunya  bangga karena Satriya termasuk anak yang diidolakan oleh para ustadz dan ustadzahnya. serta diidolakan oleh teman-temannya. Dia terkenal tidak hanya dikelasnya namun sampai di kelas 4 sampai 6 sekalipun. Satriya terkenal karena cerdasnya, gantengnya, nakalnya juga.

Ibunya sering dipanggil ke sekolah menghadap Kepala sekolah, karena Satriya berkelahi dengan temannya. Tidak hanya teman laki-laki, teman perempuanpun bisa kena pukulan atau tendangan bila dia marah. Kalau di rumah ditanya dia selalu mengatakan “Temannya yang menjahatinya duluan.” padahal menurut ustadzahnya sebenarnya Satriya memang gampang marah dan suka bertindak kekerasan.

Kakek Bagyo sudah sering mengingatkan Dhina, jangan mendidik anak dengan cara kekerasan. Akibatnya nanti ada dua kemungkinan, kalau tidak down mentalnya kemungkinan menjadi anak yang brutal keras kepala. Dhina mana mungkin bisa diberi masukan, perilakunya memang sudah demikian tidak mau menerima masukan dari orang lain siapapun itu, dia berpikir dialah yang paling benar. Kenyataannya Satriya sepertinya lebih cenderung tumbuh menjadi anak yang brutal dan senang berbuat kekerasan. Di rumah selalu bertindak kekerasan dengan adiknya.

Di TPQ dan di sekolah sering berkelai juga dengan temannya.

Pernah suatu saat dimasa pandemi, pelajaran dilaksanakan dengan daring (dalam jaringan), Satriya mendapatkan rangking ke tujuh di kelasnya. Ny Dhina langsung protes ke wali kelasnya. Tidak mau terima kalau rangking tiga besar disandang oleh anak lain yang biasanya tidak pernah prestasi baik akademis maupun non akademis.

Ny. Dhina  berargumen bahwa selama daring semua tugas dikerjakan oleh orang tua, kalau Satriya kan dikerjakan sendiri. Ustadzah hanya menunjukkan fakta bahwa nilai itu sudah benar seperti itu dan videonya.

Dhina pulang ke rumah dangan kesal dan marah. Satriya kena marah dan bentakan habis-habisan. Piala yang pernah diraih Satria saat menang lomba tahfidz dibanting patah berantakan. Menyaksikan semua itu Satriya hanya bisa menangis dan curhat kepada Akung dan Utinya diluar sepengetahuan Ibunya.

Akung kawatir trauma dimasa anak-anak pada Dhina, terulang kembali, menurun kepada Satriya dan Natasha. Saat ini Dhina sangat protek agar anaknya tidak terlalu dekat dengan Uti dan Akungnya. Karena dinilai Uti dan Akung selalu menuruti keinginan cucunya. Satriya sering berbohong bila di tanya oleh ibunya, sehabis main dengan Uti dan Akung, terutama masalah main HP dan makan makanan yang dilarang oleh ibunya. Walau dimarahi dan dilarang oleh ibunya dekat dengan Uti dan Akungnya, namun Satriya masih tetap berusaha dekat. Di luar sepengatahuan Ibu dan ayahnya dia bermanja-manja kepada Uti dan Akungnya. Akung  bilang “apapun itu bu Dhina dan Gazali adalah orang tuamu, kamu harus hormati dan sayangi mereka, agar Allah juga menyayangi kamu.”

  



EPISODE 14

Babak Penutup

 

Jangan pernah berpikir bahwa ujian kehidupan sudah selesai. Satu ujian selesai telah mengantri ujian kehidupan baru yang lebih menantang. Selama manusia itu masih hidup, Allah selalu akan menguji sehingga Allah benar-benar dapat menentukan mana umatnya yang pantas mendapat pahala surga atau adzab Neraka.

Perhatikan saja bagaimana pak Bagyo Raharjo dan istrinya, tidak dikaruniai anak, lalu mengadopsi anak pungut. Berkali-kali sejak TK sampai Perguruan Tinggi bahkan sampai menikah dan berkeluarga mempunyai anak, masih saja ujian yang disebabkan dari putri angkatnya yang bernama Rizkya Rachmadhina.

Pak Bagyo Raharjo dan keluarganya tidak mungkin hanya fokus pada ujian yang satu itu. Ujian lain juga datang silih berganti, sakit yang berkepanjangan, masalah ekonomi yang selalu pas-pasan, masalah keimanan yang belum mantap, masalah rumah tangga, masalah bertetangga. masalah kesabaran dan seabreg masalah lainnya.

Semua itu harus diselesaikan satu persatu, dengan tenang, sabar, tawakal kepada Allah SWT. Beliau percaya bahwa tidak sebutir buah dan selembar daunpun jatuh terlepas dari ijin-Nya. Itu berarti semua yang terjadi di alam semesta ini terjadi karena kehendak-Nya.

Dhina dan keluarganyapun tak lepas dari ujian kehidupan, sejak kecil sampai dewasa selalu saja ada ujian. Misal ketika masih SD dia diuji dengan ketidak jujuran, diuji dengan berbagai keinginan yang tidak kesampaian, diuji dengan peristiwa percintaan, ketika sudah berkeluarga masalah keluarga dan ekonomi. Kalau tidak sabar dan tawakal pada Allah maka efeknya adalah frustasi, dan senantiasa berpikir negatif.

Allah tidak akan membiarkan umatnya hidup dalam kesengsaraan karena Dia maha pengasih dan Penyayang kepada semua umat-Nya, kecuali yang tidak mau diselamatkan.

Siapa yang tidak mau diselamatkan itu, ialah umat yang membangkang perintahnya, berteman akrab dengan kemaksiyatan, bahkan melakukan perbuatan yang sangat dibenci oleh-Nya yaitu kesirikan, menyekutukan Tuhan. Siapa yang selamat dari ujian itulah orang yang beruntung.

Ujian akan berakhir ketika manusia sudah sampai

waktunya dipanggil kembali oleh Yang Maha Kuasa. Tidak ada yang tahu kapan waktunya, apakah saat masih muda, saat dewasa atau saat usia manula, hanya Allah yang maha mengetahuinya. Itulah sebabnya setiap saat, berlakulah sebaiknya-baiknya sesuai ketentuan Tuhannya, jauhi perbuatan buruk yang dilarang sesuai ketentuannya pula. Senantiasa mengingat Allah dengan dzikrullah.

Walaupun belum 100% sembuh dari peri laku menyimpang (Playing Victim) seperti manusia lain pada umumnya, namun sudah ada perubahan perbaikan sampai 70%. Asalkan tidak ada pemicu yang menjadikan dia kambuh, berperilaku menyimpang kembali.

Semaksimal mungkin keluarga harus menjaga agar tidak ada pemicu kemarahannya, senantiasa terkendali. Masalah yang sensitive adalah masalah ekonomi kalau tanggal tua dijaga, Sebaiknya dihindari berdebat dengannya.

Sampai kapan orang lain akan mampu menjaga kondisi seperti itu, Semoga seiring bertambahnya usia, dia sendiri mampu menyadari bahwa tindakannya itu tidak benar dan merugikan orang lain dan dirinya sendiri.



Biodata Penulis.

 

 SUNYOTO SUTYONO. Sunyoto nama asli saya, Sutyono nama ayah.

 “Adi Mbarep, pak Nyoto, pak Sunyoto” adalah nama pena.  Lahir di Trenggalek  1954,  sekarang berdomisili di Jalan Durian 1/no 5A, Komplek Perumahan Puri Sadewo, Kelurahan Baratan, Kec. Patrang, Kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur.

Tentang profesi, setelah mutasi ke beberapa SMK negeri sebagai guru dan Kepala sekolah SMKN di Jawa Timur, terakir pindah ke SMK Negeri 4 Jember (2009-2014) sebagai guru dan Kepala sekolah.  Lalu memasuki masa pensiun tahun 2014. 

Hobi saya banyak. Namun akhir-akhir ini setelah memasuki masa pensiun, lebih serius menekuni profesi sebagai penulis. Tahun 2021 ikut kursus menulis fiksi. kini sementara sudah punya Sebelas judul cerpen, diterbitkan dalam Antologi cerpen.

(1) Bulan April 2021 diterbitkan cerpen saya berjudul“Mentari” dalam buku Antologi cerpen Historikal. (2) Juli 2021 diterbitkan lagi berjudul “Dalam Kepanikan” buku Antologi Cerpen “Lupa Luka”. (3) Januari 2022 cerpen saya  Homo Homini Lupus” dalam Antologi cerpen berjudul “Kerkah Yang Penghabisan”. (4) September 2022 cerpen saya “Pohon Kecil” bersama Gol A Gong, dalam antologi “Sarapan di Hotel” semuanya diterbitkan SIP Publishing. (5) 6 Desember 2022. tiga cerpen saya berjudul “Guru Teladan, Kena Prank dan Surat untuk bu Guru” diterbitkan dalam satu antologi cerpen berjudul “Cermin”. (6) Desember 2022 Cerita Inspiratif saya berjudul “Never Give Up” diterbitkan dalam antologi berjudul “Kisah-kisah Pemimpi”  (7) 11 Pebruari 2023 cerpen saya “Di Perempatan Jalan dan Di Rumah Sakit Bersalin” diterbitkan dalam antologi cerpen berjudul “Kue Pengantin” bersama Gol A Gong. (8) Maret 2023 diterbitkan antologi cerpen bersama Gol A Gong “Malam Jahanam”. Cerpen saya berjudul “Tepat Di Penghujung Tahun” dan “Victim Mentality” masuk di dalamnya. (9) Mei 2023 Cernak realis saya masuk dalam antologi cerpen “Katakan sekali lagi Anak-anak” (10) Juni 2023 Cerpen saya “Renungan Malam” masuk kurasi dan diterbitkan dalam antologi Cerpen Mini Horor “Gudang Peluru” (11) Juni 2023 Cernak Islami. Saya mengirim Cernak “Ma Iqbal Sayang Mama” masuk dalam antologi Cernak Islami dalam buku “Aku Suka Belajar Hal Baru” (12) September 2023 terbit lagi antologi Cerpen Ala Yuditeha “Tetangga Dekat” Cerpen saya bertajuk “Merah Putih” ikut menghiasi dihalaman buku ini, di terbitkan oleh Sip Publishing.

Buku solo, saya sudah punya tiga judul (1) Januari 2023 kumpulan Cerpen Sunyoto Sutyono, berjudul “Pohon Kecil”_diterbitkan gratis oleh Tidar Media. (2) Juni 2023 Kumpulan cerpen Sunyoto Sutyono berjudul “Serpihan Kehidupan” diterbitkan oleh Tidar Media secara berbayar. (3) Buku Kumpulan Puisi karya Sunyoto Sutyono berjudul “Kidung Senja” diterbitkan oleh Tidar Pedia.

            Antalogi Puisi saya ada sepuluh  judul  diterbitkan dalam antologi Puisi diantaranya : (1) 5 Oktober 2022 karya puisi saya berjudul “Tanda Kasih Sayang” masuk dalam antologi “Pohon Pisang” sebuku dengan Gol A Gong. (2) 9 Januari 2023 karya puisi saya “Romantika Kehidupan” diterbitkan dalam buku antologi “Sari Sanubari” oleh Mandala Penerbit. (3) 10.Pebruari 2023 Antologi Puisi “Merindu Mimpi” diterbitkan oleh Mandala Penerbit salah satu karya saya menghiasi halaman buku tersebut berjudul “Antara ada dan Tiada” (4) 1 Pebruari 2023 Puisi saya berjudul Secangkir Kopi Damba” masuk kurasi di Sip Publishing sebuku dengan Nana Sastrawan (5) Pebruari 2023 puisi saya berjudul “Suluh Kemajuan” masuk dalam antologi puisi “Rampai Harapan” diterbitkan oleh Arus Pedia Creatif. (6) Maret 2023 Puisi saya Labirin Cinta Kita” masuk dalam antologi Puisi “Rumpun Madah” diterbitkan oleh Mandala Penerbit. (7) April 2023 Puisi saya “Secangkir Kopi Cinta” masuk dalam antologi Stasiun Tugu, sebuku dengan Nana Sastrawan. (8) Mei 2023 Puisi Narasi Mitos saya  “Sepasang Prenjak dan Burung Dares” serta “Ada Mitos Dibalik Foto Bertiga” masuk dalam antalogi “Kabar Dari Pucuk Daun” sebuku bersama Nana Sastrawan. (9) Agustus 2023 Puisi saya “Panorama Gegana” masuk dalam antologi “Kuantum Kagum” diterbitkan oleh Mandala. (10) September 2023 puisi saya “Serpihan Surga” dan “Bila Atmaku Pergi” masuk dalam antologi Sebagai Tangis diterbitkan oleh sip Publishing..

Untuk mencapai karya yang baik, saya masih harus banyak belajar dan berlatih, menimba ilmu dari para pakar penulis. Target pertama saya dalam menulis Cerpen dan puisi, adalah karya tulis saya diterbitkan oleh penerbit, alhamdulillah sudah menerbitkan Dua judul solo kumpulan cerpen dan satu judul Kumpulan puisi  In syaa Allah saya masih akan  terus menulis untuk merealisasikan menerbitkan solo novel dan solo puisi. Saya yakin bila terus produktif menulis karya, suatu saat Allah akan mempertemukan dengan masa bahagia menikmati manisnya hasil kerja keras saya, semoga. Aamiin. 

Media yang bisa dihubungi : Fb SUNYOTO SUTYONO, Wa 081336704 471, E-Mail : sunyoto1405@gmail.com, Ig : @sunyotosutiyono, PAK NYOTO JEMBER blogspot gratisan.

 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERPEN TENBOK CINA MAHA KARYA DUNIA.

PEMBERITAHUAN.

STUDI BANDING KE CINA (RRC)