NOVEL PLAYING VICTIM.
PLAYING
VICTIM
(Menyalahkan,
Marah, Depresi, Menyendiri)
Sunyoto
Sutyono
2023
Daftar
Isi
Halaman Judul
..... hal. i
Daftar Isi
...... hal. iii
Prakata Penulis....... hal. iv
01. Episode
Mengangkat Anak, ...... hal. 1
02. Episode Masa Kecil Bahagia, ...... hal. 15.
03. Episode Orang Tua Lalai ..... hal. 30
04. Episode Semakin Jadi ,...... hal. 40
05. Episode Ada Yang Berubah, ........ hal. 49
06. Episode Tak Merasa Bersalah, ..... hal. 60
07. Episode Bencana, ...... hal. 69
08. Episode Menguak Jati Diri, .....hal. 90
09. Episode Bertengkar Hebat, ....... hal. 99
10. Episode Perenungan Dhina, ........hal. 118
11. Episode Victim Mentality, ........ hal. 123
12. Episode Berbagai Solusi. ....... hal. 133
13. Episode Membuat Prestasi, ....... hal. 141.
14. Episode Penutup, ........ hal. 151
15. Biodata Penulis, ........ hal. 156
***
Prakata
Penulis.
Assalamu‘alaikum
warroh matullohi wabarokaatu.
Langkah
awal dalam menulis novel sangatlah sulit, namun tiada langkah awal berarti
tiada langkah selanjutnya. Alhamdulillah puji syukur kehadhirat Allah SWT atas
ridhonya, akhirnya dengan susah payah saya dapat mewujudkan menyelesaikan Novel
pertama saya Saya beri judul “PLAYING VICTIM (Marah, Depresi, Menyendiri)
Dalam
Novel ini Sunyoto Sutyono bercerita tentang seorang cewek mengalami berbagai
trauma masa lalu yang menyebabkan berperilaku
menyimpang. Suka marah-marah, menyalahkan orang lain, selalu berpikir negatif..
Dalam buku ini diceritakan bagaimana keluarga menyikapi agar anaknya yang masih
kecil tidak terkena dampak buruknya.
Buku
ini dapat menjadi bacaan bagi siapa saja yang sudah remaja sampai dewasa.
Sehingga dapat menarik manfaat bila menyikapi orang yang demikian, dimanapun
berada. Dalam hal ini bisa terjadi di keluarga, di tempat kerja, di sekolah
agar selamat paling tidak untuk dirinya sendiri syukur-syukur bisa membantu si
penderita playing victim tersebut.
Pada
kesempatan ini saya untuk yang ketiga kalinya, secara tulus kembali mengucapkan
terima kasih kepada owner Tidar Media yang telah membantu saya dalam menerbitkan buku-buku saya.
Jujur
buku ini masih jauh dari sempurna, saya bisa menerima kritik dan saran positif
dari para pembaca. Semoga buku ini disukai oleh para pembaca budiman, karena
bermanfaat.
Billahit
taufiq wal hiddayah, Assalamu ‘alaikum warroh matullohi wabarokaatu.
SELAMAT
MEBACA, SALAM LITERASI
Jember, 2023
Sunyoto Sutyono
EPISODE
1
Mengangkat Anak.
Sejak
tahun seribu sembilan ratus delapan puluhan Galih Raharjo pemuda dari desa Punjung,
kecamatan Sepanjang Kabupaten Karang Harjo. merantau memenuhi panggilan tugas
dinas. Menjadi guru di sekolah kejuruan negeri Kecamatan Jati Mulyo, wilayah
Kabupaten Jati Mas.
Setelah
menjadi guru, Galih Raharjo akrab dipanggil pak Galih. Dia berperawakan kurus
krempeng, tinggi semampai, rambut lurus hitam kecoklatan sedikit gondrong di sisir
rapi. Raut muka lumayan menarik, selalu dihiasi senyum dibibirnya. Orangnya
cerdas, kreatif, sopan, irit bicara namun bermutu, humoris dan baik hati. Dia
menyukai hampir segala bentuk seni dan olah raga.
Dua
tahun sudah pak Galih kost di rumah seorang janda setengah baya ibu
Syariyah dengan putrinya. Seorang gadis
masih sekolah di SMA Negeri Jati Mulyo. Hubungan pak Galih dengan
keluarga ibu Syariyah dan putrinya,
sangat akrab dan harmonis seperti keluarga sendiri. Safitri Rahmadhani nama
gadis itu, keseharian dipanggil Fitri. Rambutnya hitam keriting sebahu, kulit
sawo matang, sorot mata tajam, postur tubuhnya mungil, ramah, dari keluarga
taat beragama. Karena keakraban mereka bertiga itulah, akhirnya pak Galih mendapat
lampu hijau dan mereka saling jatuh cinta. Kata pepatah jawa witing tresno
jalaran soko kulino. Setelah mendapat restu dari ibu Syariyah beserta
keluarga besarnya masing-masing, pak Galih hmenikah dengan Safitri Ramadhani.
Sepuluh
tahun sudah berlalu kebahagiaan mereka bertiga, di rumah itu terasa kurang
sempurna karena belum hadirnya buah hati dambaan keluarga. Berbagai upaya
medis, sudah dicoba termasuk mencoba program bayi tabung. Mungkin Allah sudah
mentakdirkan demikian. Pasutri Galih dan Safitri sedih, namun mereka berdua
sudah berserah diri kepada takdir Allah swt. Dengan rasa prihatin yang
dalam, ibu mertua akhirnya juga menyerah pada takdir putra putrinya.
Ketika
pak Galih mengajak istrinya pulang ke desa Punjung, desa kelahirannya, Ibu
Warjiman mertua Fitri menanyakan.
“Mbak
Fitri sudah sepuluh tahun, kok belum dikaruniai momongan lo. Ibu ingin sekali
menimang cucu anaknya Galih.” Deg dada Fitri seperti tertindih balok besar
sehingga sementara tidak kuasa berkata-kata. Setelah bisa menata hati barulah
dia mampu berkata.
“Tidak
tahu bu, Allah belum berkenan memberinya.” jawab Fitri dengan wajah sendu pipinya
memerah karena malu dan teriris hatinya.
“Iya
bu, padahal kami sudah berkonsultasi dengan dokter dan mengkonsumsi berbagai
macam obat serta terapy, tidak ada hasilnya. Kami sudah lelah dan menyerah.
Barang kali ini sudah takdir kami.” sahut pak Galih melengkapi jawab istrinya.
“Ya
sudah jangan bersedih.” hibur Bu Warjiman ibu kandung pak Galih. Lalu ibu
bercerita, mereka berdua mendengarkan dengan serius.
“Kebetulan
kang Akad tetangga kita, kamu masih ingat kan Leh?”
“Ya
ingatlah” jawab pak Galih.
“Nah
itu, istri kang Akad melahirkan bayi perempuan cantik, lucu, kulitnya putih,
sehat. Dia anaknya sudah banyak. Berkeinginan menyerahkan bayinya kepada orang
lain yang bersedia dan mampu merawat anaknya dengan penuh kasih sayang dari
keluarga yang cukup ekonominya. Sebenarnya kang Akad juga terpaksa menyerahkan
anaknya kepada orang lain. Namun terpaksa keluarganya tidak mampu, anaknya
banyak. Maka hal itu harus dilakukan demi kesejahteraan dan kebahagiaan
putrinya yang masih baru lahir satu bulan lalu. Kang Akad berharap nanti
putrinya itu menjadi orang yang berpendidikan, bisa bekerja mapan dan menjadi
orang yang terpandang yang dihormati. Tidak seperti bapaknya yang hanya buruh
tani miskin di desa.” Bu
Warjiman jeda sejenak memberi kesempatan anak dan menantunya berpikir.
“Bagaimana
menurut pendapatmu le?” lanjut bu Warjiman
“Sebenarnya
kami berdua sudah sepakat manerima takdir membina keluarga tanpa anak
sekalipun. Namun
dalam hal ini kami diskusikan dulu
ya bu?”
Sementara
mereka berbincang mbah Dullah memberi salam. Tetangga sebelah rumah itu masih
saudara, menanyakan kabar Galih dan istrinya.
“Kapan
datang le, nduk, slamet kabeh to keluarga di Jati Mulyo?”
“Kemarin
sore mbah bakdha Ashar, Alhamdulillah semua keluarga sehat wal afiat dan
selamat.” jawab Pak Galih, sementara istrinya hanya tersenyum ramah lalu
mencium punggung tangan mbah Dullah. Ibu menyodorkan tiga gelas kopi panas dan
sepiring gorengan sukun untuk camilan.
“Kemana
pak Warjiman, kok gak kelihatan?” sapa mbah Dullah
“Lagi
ke rumah cucunya di rumah barat. Mbah Dullah mau kemana?”
“Tidak
ada, ya hanya jalan-jalan saja terus mampir ke sini.”
Setelah
meletakkan pantatnya di kursi, bu War mempersilahkan mencicipi hidangan ala
kadarnya itu.
“Mana
anakmu kok tidak kelihatan le?”
“Mereka
belum punya momongan lo mbah, makanya ini tadi saya menawarkan kepada mereka
untuk mengangkat anaknya kang Akad menjadi anaknya, untuk pancingan.” jelas ibu
panjang lebar, membuat hati Safitri semakin sedih.
“Ya
baik itu. Anak saya si Mimin dulu kan juga sulit punya anak, lalu di pancing
mengangkat anaknya Jiyah. Lalu sekarang sudah melahirkan dua orang anak
kandung.” cerita mbah Dullah.
“Terus
anak angkatnya itu bagaimana mbah?” tanya Fitri ingin tahu.
“Ya
tetap menjadi anaknya, jadi anaknya sekarang tiga. Namun anak angkatnya itu
yang dulu manis, menurut, berbakti pada orang tuanya, setelah besar dan dewasa
kini menjadi anak durhaka.” mbah Dullah menyeruput sampai habis kopinya lalu
ijin mau melanjutkan jalan-jalan. Bu War, pak Galih dan istrinya mengantar
sampai di teras. Pak Galih dan Istrinya pamit ke kamar siap-siap mau mandi. Bu
War ke dapur menyiapkan sarapan.
“Yang,
bagaimana pendapatmu tentang tawaran ibu mengangkat anaknya kang Akad tadi?”
Pak Galih pada istrinya tak sabar.
“Kalau
menurut Mas bagaimana?”
“Lhah
ditanya kok ganti nanya.” lalu pak Galih menjelaskan isi hatinya.
“Jujur
saya kawatir untuk mengangkat anak. Pertama suatu saat nanti kalau sudah besar
waktunya menikah siapa yang akan menjadi walinya. Menurut agama, orang tua
angkat tidak boleh menjadi wali nikah anak angkatnya. Kedua pasti suatu saat
dia akan bertanya siapa dirinya yang
sebenarnya, pasti kita berat untuk menjelaskan. Namun kita tidak boleh menghilangkan
nazab orang tua kandungnya. Ketiga saya kawatir terjadi seperti yang
diceritakan mbah Dullah itu yaitu ketika masih kecil dia baik, membahagiakan
orang tua yang sudah membesarkannya, ketika sudah dewasa berubah menjadi anak
durhaka. Saya kan pegawai negeri lalu
serba repot, kalau jujur kasihan anaknya belum waktunya menerima kenyataan
kebenaran, akhirnya berbohong, dalam administrasi terpaksa diakui sebagai anak
kandung.” panjang lebar pak Galih menjelaskan.
“Bagaimana
pendapatmu yang?”
“Kalau
menurutku tidak ada salahnya tentang
rencana memungut putri kang Akad sebagai putri angkat kita. Toh kita sudah
menyerah menjalani takdir. Namun kalau menurut pertimbangan mas tadi seperti
itu ya terserah mas saja. Seandainya kita ambil maka keluargaku di Jati Mulyo
mungkin juga belum tentu setuju.” jawab istrinya.
“Kalau
dari hatimu yang paling dalam, keputusanmu setuju atau tidak?” tanya suaminya.
“Saya
setuju, namun bagaimana nanti menghadapi pertanyaan para tetangga dan
masyarakat.?”
“Yang
penting kamu sudah setuju, maka Bismillah kita sepakat menyampaikan ini kepada ibuku.”
Besoknya
Galih dan Fitri menghadap ibunya menyampaikan persetujuannya, namun masih akan berunding dengan keluarga besar istrinya
di Jati Muyo.
***
Berita
yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Dengan pertimbangan yang rumit. Bahwa dengan mengangkat anak ini, dapat
menjadi harapan dimasa tua. Akhirnya semua keluarga menyetujui mengambil anak
angkat untuk keluarga Galih Raharjo.
Seminggu
setelah semua sepakat, maka Pak dan bu Warjiman, ayah dan ibu kandung pak Galih
dan beberapa keluarga dekat, mereka mengantar anak itu dari Desa Punjung ke Jati
Mulyo rumah ibu Syariyah mertua pak Galih.
Saudara-saudara yang ikut mengantar hanya menginap satu malam. Setelah
sarapan kemudian mendo’akan agar bayinya sehat, kuat dan cepat besar, Mbah
Dullah putri, menyempatkan berpamitan dengan bayinya
“Nduk,
jadilah putri yang sholeha bisa mengharumkan nama orang tua.”
“Aamiin.”
semua yang ada di ruangan itu serempak
“Soalnya
ada lo anak pungut itu ketika masih kecil disayang-sayang, setelah dewasa
durhaka pada orang tua yang telah membesarkannya. itu telah dialami anak saya
sendiri.” lanjut mbah Dullah Putri.
“Naudhzubillah
mbah, jangan sampai seperti itu.” ketus bu Warjiman
“Makanya
jangan lupa di didik agama dengan benar nantinya.” tandas mbah Dullah putri.
“Ya
sudah, keburu kemalaman sampai di rumah, kami serombongan mohon pamit, maaf
bila ada salah tingkah atau salah kata. Assalamu ‘alaikum warrohmatulloohi wabarokaatuh.”
mereka serombongan berpamitan pulang ke desa Punjung.
Bapak dan Ibu Warjiman, Pak Galih,
bu Fitri, dan bu Syariyah mengantarkan sampai tamunya semakin menjauh dari
halaman rumah.
Bapak
dan ibu mertua berkenan tinggal agak lama di rumah anak lelakinya, untuk
mengajari menantunya merawat anak balita. Mulai dari memandikan memborehi
minyak penghangat tubuh, sampai cara memakaikan popok, grita dan baju. Kemudian mengajarkan bagaimana
membuatkan makan dan minuman bagi balita agar anaknya tumbuh pesat, sehat jiwa raganya.
Pokoknya paket komplit A sampai Z diajarkan dengan sabar dan telaten kepada
menantunya.
Safitri
memperhatikan dengan seksama, training yang diberikan dan tentu saja
melakukan praktek, semua yang sudah diajarkan dibawah bimbingan ibu mertua.
Setelah ibu yakin, Safitri bisa mengasuh bayinya dengan baik, maka ibu dan bapak mertua pamit untuk pulang ke desa
dengan rasa puas dan bahagia. Mereka berdo’a semoga keluarga anak lelakinya
menjadi lebih berbahagia dengan putri angkat mereka.
Dengan
hadirnya putri kecil yang montok dan lucu maka Safitri dan pak Galih kini harus
sering bangun mengganti popok atau membuatkan susu bila malam hari, Mereka
semakin menyayangi bayi kecil yang belum di beri nama itu. Mereka tulus ikhlas
melakukannya demi putri tercintanya. Pak Galih menawarkan beberapa calon nama
untuk putrinya kepada istrinya.
EPISODE 2
Masa Kecil bahagia
Setelah
memilih beberapa nama akhirnya disetujui nama “Riskya Rachmadhina” untuk
putri kecilnya. Esok hari pak Bagyo dan bu Safitri mohon pertimbangan kepada bu
Syariyah, Besok atau lusa akan mengundang para tetangga dekat untuk mengenalkan
Dhina. Bu Syariyah menyetujuinya,
kemudian segera menyiapkan segala sesuatu keperluan hidangan untuk para
tetangga yang akan diundang. Pak Bagyo
dan bu Safitri mencatat nama-nama tetangga satu gang yang akan diundang.
Tepat
hari minggu pagi jam 09.00 wib, para
undangan sekitar 30 orang sudah berdatangan langsung menempati tempat duduk
yang disediakan, cukup di ruang tengah dan ruang tamu. Pak Mahfud tetangga
samping rumah diminta bertindak sebagai pembawa acara, segera membuka acara
dilanjutkan menyampaikan susunan acara. Pak Bagyo sebagai tuan rumah
menyampaikan hal ihwal mengenai putri angkatnya kepada para tetangga
sejelas-jelasnya. Tidak lupa permohonan kepada para tetangga bisa menyayangi
putrinya. Demi kesejahteraan psychis putrinya, pak Bagyo mohon dengan
sangat agar tidak memberikan informasi tentang jati diri Dhina Putrinya
kapanpun. Biarlah kami sendiri yang akan menyampaikan nanti bila waktunya
tiba.
Dhina
tumbuh dengan cepat besar, gemuk, cantik. Umur tujuh bulan di adakan upacara
adat turun tanah. atau ada yang menyebut tujuh bulanan (mitoni).
Diundanglah teman-teman anak-kecil para tetangga untuk menyaksikan. Pertama
Acara mandi air kembang setaman, memakai mahkota dari janur kuning yang dihias
bunga-bunga segar. Hal demikian melambangkan agar selama manusia hidup
senantiasa mengingat Cahaya tuntunan Illahi Robbi dan Rasulnya..
Ke
dua masuk kurungan ayam untuk memilih berbagai barang yang tersedia dalam
kurungan itu. Barang yang tersedia dalam kurungan terdiri dari buku al qur-an
kecil, pensil, buku tulis, cermin, suri, bedak, makanan rengginang, ceker ayam,
tumpeng kecil, Jenang Dengan kemauan
sendiri Dhina memilih Al-Qura’an kecil. Itu melambangkan gaya hidupnya besok
ketika dewasa suka belajar agama dan mengaji kitab suci.
Ke
tiga acara menginjak bubur tujuh rupa, bubur putih, merah, hitam, kuning,
hijau, coklat, bubur ketan manis, terakhir menginjak air putih. Ini
melambangkan setelah dewasa semua manusia akan melewati berbagai pengalaman
baik buruk untuk dapat mencapai kebahagian. Berawal dari suci kembali suci.
Ke
empat menginjak tanah dan menaiki tangga
terbuat dari tebu ireng. Hal tersebut melambangkan bahwa perjalanan
manusia itu dimulai dari dasar berpijak
(tanah) kemudian berusaha meraih kebahagiaan dan kesejahteraan dengan antebing
kalbu pikiran yang mantap tidak ragu
dalam menentukan langkah menuju apa yang dicitakan.
Sebenarnya
simbol-simbol yang merupakan pesan
tersembunyi tersebut adalah lebih ditujukan kepada yang sudah dewasa yang sudah
mampu berpikir. Karena bagi anak kecil yang melakukan upacara itu masih belum
mengerti, umurnya masih tujuh bulan.
Acara
ditutup dengan jamuan untuk anak-anak yang hadir. Mereka senang dan bagi Dhina kecil paling
tidak kenangan yang terrekam dalam memorinya adalah banyak teman yang
menyayanginya. Ketika mereka pulang mereka menyayang pipi Dhina yang seperti
bakpao. Itu semua tentu merupakan memori indah bagi teman-teman kecilnya juga.
Bagi pak Bagyo sekeluarga, moment itu merupakan moment berbahagia, yang selama
ini belum pernah dialaminya.
Momen-momen
kecil menjadikan hati bahagia, Ketika memperhatikan pertumbuhan Dhina yang dari
hari kehari semakin montok dan bongsor menggemaskan adalah wajar. Sejak bayi
selera makannya sangat bagus. Kalau ibu Fitri menyuapi, Dhina tidak mau putus,
begitu masuk mulut sebentar habis minta langsung disuapi lagi sampai buburnya
habis. Kalau terlambat menyuapi dia menangis. Makanya sejak bayi tubuhnya
gendut subur. Saking gendutnya ketika
lomba bayi sehat di Jati Mulyo kota Durian dia di diskualifikasi karena kelebihan
berat badan. Kalau dibawa kontrol atau Imunisasi ke Dokter anak, timbangannya
tidak muat karena tubuhnya tinggi.
Ketika
belum bisa berjalan, kalau capek merangkak dilantai Dhina senang dan
tertawa-tertawa bila di gendong di punggung ibunya sambil bekerja di dapur.
Bila pak Bagyo sedang berkegiatan
mengajar di sekolah atau di luar rumah maka Dhina dipercayakan kepada Nenek
Syariyah dan sering dibantu oleh tetangga sebelah rumah. Mereka berdua sangat
menyayanginya.
Sesekali
Dhina kecil diajak bapak dan ibunya jalan-jalan dengan naik vespa sampai
akhirnya Dhina tertidur. Dhina kecil tidak pernah rewel kalau merajuk dibujuk
dengan berkomunikasi yang lucu atau ditunjukkan burung, bunga, kucing, ayam
atau kumbang, dia sudah tenang.
Waktu
terus berjalan, umur Dhina genap satu tahun. Pada ulang tahun pertamanya Dhina
baru saja bisa berjalan dan mulai belajar berbicara. Seperti biasanya dalam
momen itu mengundang teman-teman kecil putra putri para tetangga dan saudara
yang domisili sekota. Dhina kecil kelihatan senang memakai rok baru warna merah
jambu bahan kain tipis rempel-rempel. Rambutnya yang lebat hitam itu di sisir
dan dipakaikan bando, wajahnya di makeupi minimalis kelihatan cantik. Setelah
tiup lilin dibantu ibunya, pak Bagyo mengucapkan selamat ulang tahun dan
mencium pipinya dengan ciuman kasih sayang. Dhina kecil memeluk bapaknya dengan
erat bapak membalas memeluk putrinya pula sambil berkali-kali mengecup pipinya
yang gembil itu.
Lalu
berganti ibunya mengucapkan selamat ulang tahun, kemudian nenek. Reaksi Dhina
sama dengan ketika bapaknya mengucapkan selamat ulang tahun. Kemudian
saudara-saudara dan dilanjutkan teman-teman kecilnya. Setiap momen selalu di
abadikan oleh Pak Bagyo dalam album foto keluarga.
Pak
dan Bu Bagyo sangat bersyukur telah diberi kesempatan menyayangi anak walau
bukan anak kandung sendiri. Pak Bagyo ingat pernyataan spontan bernada minir,
dari kerabatnya di desa yang mengatakan “semoga kebahagiaan ini langgeng.
Soalnya banyak kejadian ketika masih kecil disayang-sayang ketika besar dan
tumbuh semakin dewasa menyusahkan orang tua angkatnya.” Untuk menangkal semua
itu Pak dan Bu Bagyo serta Nenek Syariyah mencurahkan penuh kasih sayang kepada
Putri kesayangan dan selalu berdo’a mohon pertolongan-Nya.
Usia
empat setengah tahun Dhina memasuki TK ‘Aisyiah” kelas nol kecil. Awalnya tidak mau di tinggal sedikitpun oleh ibunya.
Sehingga beberapa hari bu Bagyo terpaksa ikut masuk duduk di bangku kelas Dhina. Setelah tiga hari ibu kepala
sekolah melarang ibu ikut masuk di kelas. Ketika di tinggal oleh ibu maka pagar
sekolahan di kunci. Dhina menangis keras-keras memanggil ibunya.
Kepala
sekolah dan gurunya berusaha menenangkan dengan cara disuruh bermain di ruang
kepala sekolah bersama ibu kepala sekolah. Kurang lebih dua minggu baru dia
merasa terbiasa untuk ikut pelajaran di kelas. Rupanya dia kesulitan
menyesuaikan diri dengan teman-teman yang lain. Dia di kelas paling bongsor
diantara teman-teman sekelasnya.
Ketika
suatu saat dia di tunjuk ikut lomba samroh di Surabaya bertemu Tk Islam se Jawa
Timur dia kesulitan mencarikan seragam terutama celana panjangnya. Bu Bagyo
menjahitkan celana khusus untuknya. Entah malu atau karena orang tua tidak
boleh mengantarkannya atau apa, Dia tidak kelihatan happy seperti teman lain se
grupnya. Dia kelihatan sangat fokus menabuh ketipungnya tidak ada senyuman
sedikitpun diwajahnya. Pulang dari Surabaya di tanya oleh bapaknya
“Dhin
kenapa kok wajahmu seperti marah begitu ketika tampil bermain musik?
“Aku
malu pak, dilihat orang banyak, aku takut tidak ada ibu dan bapak di sana.”
“Kan ada Ustadzah, ada teman-temannya semua
tidak diantar bapak ibunya.”
“Aku
inginnya sama ibu dan bapak.”
“Ya
tidak apa-apa kamu hebat sudah berani tampil di THR Surabaya, besok lagi kalau
tampil harus senang, beri senyuman kepada penonton seperti bapak kalau lagi
main band itu. ya sayang.”
“Iya.”
Jawab Dhina kecil. Bapak dan ibu bergantian memberi hadiah ciuman di pipinya
“Selain
di THR. diajak main kemana saja oleh Ustadzah?” tanya ibu
“Ke
kebon binatang lihat gajah, singa dan jerapah dan lain-lainnya.”
“Huih
senang dong.” tanya Bapak
“Tidak,
karena tidak ada ibu saya haus sekali.”
“Kok
tidak minta kepada Ustadzah lo.”
“Tidak
berani, malu pak.”
“Terus
bagaimana?”
“Aku
minta kepada teman.”
“Diberi?”
“iyah
diberilah.”
“Lain
kali karena tidak ada bapak dan ibu, kalau ingin apa-apa bilang sama
Ustadzahnya, ya.”
“Iya
pak.” Dhina manja sekali dan minta gendong bapaknya.
Pada
kesempatan lain ketika liburan, Dhina diajak rekreasi dan foto-foto ke
tempat-tempat wisata di malang dan sekitarnya. Sesekali diajak bapak dan ibu
makan di suatu rumah makan dan tidur di hotel. Senang rasanya libur bersama
sekeluarga. Bapak juga sering mengajak berkunjung ke rumah saudara-saudara di
luar kota. Di Bali, di Kediri,
Tulungagung. Semua itu diupayakan oleh pak Bagyo agar putrinya terbiasa dekat
dengan orang tua dan saudara-saudara dari keluarga bapak dan ibunya.
Kalau
di rumah sehari-harinya Dhina bermain pasar-pasaran, atau ibu-ibuan, bermain
boneka dengan ibunya, terkadang sendirian atau bermain di rumah tetangga. Suatu
ketika teman sebayanya laki-laki dibelikan sepeda kecil roda dua. Dhina
diperhatikan oleh Bapaknya ingin sekali mencoba naik sepeda itu. Namun dia
belum berani bilang kepada teman. Pak Bagyo terketuk hatinya ingin membelikan
dia sepeda kecil baru untuknya.
Betapa
gembira hati putrinya, tiba-tiba ayah mengeluarkan sepeda kecil baru berwarna
hijau muda dari mobilnya.
“Pak
ini sepedanya siapa?” tanya Dhina berharap sesuatu
“Sepedanya
putrinya teman bapak di sekolah.”
“Kok
dibawa kesini?” sedikit kecewa hatinya
“Apa
kamu mau dikasih sepeda ini?”
“Tidak,
itukan sepeda orang lain.”
“Kalau
ini sepedahnya bapak yang belikan untuk kamu, mau?”
“Mau,
mau, sangat maulah.”
“Okey
ini memang sepedahnya Dhina baru dibelikan dari toko.”
“Benar
pak, ini sepedah ku?”
“Betul,”
Dhina
memeluk bapaknya sambil berteriak kegirangan “ibu, nenek, Dhina punya sepedah
baru.” Ibu keluar melihat ke halaman. Betapa bahagianya melihat putrinya begitu
gembira.
“Pak
jadi beli sepedahnya?” tanya bu Bagyo senang.
“Jadi
dong sayang, lha itu sepedahnya.” Jawab pak Bagyo
Hari-hari
berikutnya Dhina belajar naik sepeda bersama teman-temannya di jalanan gang
komplek rumahnya. Ada kebanggaan dibelikan sepeda baru. Sebelumnya pernah
dibelikan sepeda di loakan, remnya tidak pakem menyebabkan Dhina jatuh
terperosok ke selokan. Dia menangis dan sejak itu tak mau sepedanya yang
katanya jelek.
EPISODE 3
Orang Tua Lalai
Sejak
bayi Riskya Rahmadhina (Dhina) kalau tidur selalu bersama Bapak dan Ibu di
kamarnya. Sebelum tidur Bapak sering bercerita masa kecil dan harapan masa
depan Dhina. Bapak ingin putrinya kuliah sampai paling tidak lulus Sarjana S-1
seperti Bapak. Lalu bekerja di Kantor, atau jadi guru di sekolah, pokoknya
tidak di pabrik atau di lapangan. Lalu menikah dengan calon suami yang baik
hatinya, baik perilakunya, taat beragama Islam, sabar dan perhatian terhadap
keluarga. Dhina membayangkan betapa indah masa itu nanti, sampai akhirnya dia lelap tertidur di pelukan
Bapak Ibu.
Ketika
umur empat tahun Dhina mulai sekolah di TK Al Hikmah kelas nol kecil sampai nol
besar di Kecamatan Jati Mulyo kabupaten Jati Mas. Ketika sudah besar Dhina
tidak boleh tidur sekamar dengan Bapak
ibu. Tidurnya dengan mbah Putri Syariyah. Kakek, suami mbah Syariyah, ayah bu Fitri
sudah meninggal dunia.
Dhina
ingat betul bahwa Bapak sibuk mengajar setiap hari di sekolah. Ibu sibuk
berbagai macam organisasi di Kecamatan. Sehingga dia sering di rumah bersama
mbah putri, (mbah Syariyah)
Dhina
heran kalau mengaji, selalu diantar oleh adik-adik ibu yang rumahnya di desa
lain. Saya sering diajak ke rumah adik ibu itu. Disana saya harus memanggil
orang tua mereka dengan sebutan mbah Putri juga. Hanya bedanya kalau mbah yang
di rumah Dhina itu mbah Syariyah, dan mbah putri yang ini namanya mbah Rubiyah.
Mbah Rubiyah sering mengatakan bahwa
ibuku itu adalah anaknya. Dhina tak mengerti apa yang dikatakan mbah Rubiyah
itu.
Ketika
kelas 4 SD Bapak pindah tugas ke Kota Penyuwangi. Kata ibu, Bapak diangkat
menjadi Kepala Sekolah di SMK Negeri di sana. Hanya seminggu sekali Bapak
pulang ke Jati mulyo. Ibu juga sering rapat-rapat di Penyuwangi sehingga saya
lebih sering hanya tinggal dengan mbah putri. Suatu saat waktu saya di kamar
Mbah Putri hanya sendirian, tanpa sengaja melihat tumpukan uang tersimpan di
bawah bantal Mbah Putri.
Timbul
niat dalam hati untuk mengambil sedikit uang itu untuk beli makanan di sekolah
dan traktir teman-teman. Tidak ada rasa takut sama sekali. Pertama mengambil
uang itu ternyata mbah Putri tidak menanyakan apa-apa. Sampai tiga kali atau
empat kali mengambil uang milik mbah Putri untuk mentraktir teman sekelas.
Akhirnya baru ketahuan oleh mbah Paijan, adik mbah Putri yang menjadi Polisi.
Mbah Jan curiga karena setiap pulang sekolah, Dhina tidak makan di rumah. Mbah
Putri juga lapor pada mbah Jan kalau dia sering kehilangan uang. Dari hasil
analisa mbah Jan menyimpulkan bahwa Dhina mencuri. Mbah Putri terkejut dengan
pernyataan itu. Masih kecil sudah berani tidak jujur bagaimana kalau sudah
dewasa nanti.
Perbuatanku
itu kemudian dilaporkan kepada pak Bagyo. Tahu-tahu bapak sudah bermaksud
memindahkan sekolah Dhina ke Penyuwangi. Bapak menanyai Dhina dengan sedikit kasar. Apakah benar Dhina telah
mencuri uang mbah Putri, Digunakan untuk apa uang sebanyak itu? Dia beterus
terang pada bapak. tanpa rasa penyesalan sedikitpun.
Sungguh
kejadian tersebut sangat memukul perasaan. pak Bagyo berusaha tidak sampai
memukul karena dia yakin itu hanyalah perbuatan iseng dari seorang anak kecil.
yang belum mengerti. Dalam hal ini orang tua, bapak ibu dan simbah, yang lalai
sehingga memicu perbuatan tidak baik pada cucu.
Agar
pengawasan lebih intensif dan tak terkesan membebani pikiran mbah Putri, maka
pak Bagyo mengambil keputusan bahwa bu Bagyo, dan Dhina di pindahkan ke Penyuwangi.
Sementara mbah Putri ditinggal di Jatimulyo ditemani mbah Jan.
Baru
berjalan dua bulan istri mbah Jan protes pada pak Bagyo. Beliau mengatakan
bahwa pak Bagyo tidak bertanggung jawab, orang tua di telantarkan. Bapak stress
mendengar tuduhan itu. Tidak banyak bicara, mau tidak mau mbah Putri harus ikut
pindah ke Penyuwangi juga.
Kalau
tidak bersedia, bapak akan mengundurkan diri menjadi Kepala sekolah di Penyuwangi
dan menjadi guru biasa lagi di Jatimulyo. Ibu tidak setuju karena prestasi yang
sudah diraih Bapak memerlukan perjuangan berat dan panjang. Kasihan kalau di
lepas begitu saja. Demi ancaman itu maka
mbah Putri terpaksa menyetujui.
Di
Penyuwangi kecerobohan mbah Putri terulang
kembali. Menaruh uang dibawah bantal. Dhina yang tidur sekamar dengan
Mbah Putri tahu peluang itu datang lagi. Dia mencuri lagi untuk mentraktir
teman-teman SD nya. Bapak marah kepada Dhina yang ternyata tidak jera.
Perbuatannya tidak bisa dianggap sebagai perbuatan anak kecil yang tidak tahu.
Bapak memukul Dhina dengan sapu lidi di pantatnya. Dia tidak menangis, hanya
diam walau Bapak menyuruh minta maaf, hal itu membuat bapak geram.
Seketika
itu Bapak teringat pada pernyataan kerabatnya di desa dahulu. Apakah benar
pernyataan kerabatnya itu akan menjadi kenyataan. “Ya Allah ampunilah kekilafan
ku yang tak mampu menyandang amanah sebagai kepala rumah tangga.” gumamnya
Bapak
mengingatkan pada mbah Putri agar tidak menaruh uang di bawah bantal atau
disembarang tempat. Kejahatan itu timbul bukan hanya karena niat pelakunya
namun karena adanya suatu kesempatan.
Hanya
satu setengah tahun keluarga pak Bagyo tinggal di Penyuwangi. Beliau dipindah
tugaskan menjadi kepala sekolah di SMK Negeri Pasuruan. Karena bapak di pindah
tugaskan maka, sekeluarga segera pindah ke Pasuruan.
Di
SD yang baru, Dhina mengeluh ingin berhenti sekolah saja. Bapak yang seorang guru juga, menelisik
mengapa anaknya menyatakan ingin berhenti sekolah. Usut punya usut ternyata
permasalahan Dhina adalah tak mampu mengikuti pelajaran. Tingkat pelajaran di
SD Pasuruan lebih tinggi dibanding pelajaran di Penyuwangi, sehingga dia merasa
tertekan berat. Karena sudah kelas lima semester dua, maka Pak Bagyo langsung
mengambil solusi, memasukkan anaknya, les di lembaga kursus terkemuka di Pasuruan.
Yang
kedua, Dhina mengatakan bahwa di sekolah sering di buly, di palak, oleh
teman-teman perempuan sekelasnya. Demi putrinya Pak Bagyo menemui Kepala SD dan
Wali kelas anaknya, minta tolong agar masalah putri yang dianggap sangat serius
ini mendapatkan penanganan dari fihak sekolah. Kepala sekolah dan wali kelas
menanggapi dengan enteng-enteng saja.
Pak
Bagyo menekan keduanya dengan terpaksa menjelaskan status jabatannya yang
sebenarnya. Dia mengancam kalau terjadi apa-apa dengan anaknya maka, hal ini
akan dilaporkan pada kepala Dinas Pendidikan dan Kepolisian. Dengan gertak sambal itu keduanya berjanji
akan menangani kasus ini dengan sungguh-sungguh dan minta kerja samanya dengan
fihak sekolah. Bapak lega dan bersyukur akhirnya Dhina lulus SD.
Selama
di SMP tidak terjadi masalah karena lokasi sekolahnya dekat dengan rumahnya.
Jadi kalau ada apa-apa langsung bisa cepat diketahui.
Ada
selapis noda yang membuat Bapak kecewa. Sungguh Bapak menjadi gundah gulana
apabila memikirkan. Ini suatu cobaan dari-Nya ataukah teguran bagi keluarga mereka
yang telah menolak takdir Allah.
EPISODE 4
Semakin Jadi
Bapak
begitu senang, selama sekolah SMP tiga tahun, tidak ada aksi yang menyakitkan
dari Rizkya Rahmadhina. Mudah-mudahan kondisi jiwa negatif Dhina semakin
membaik setelah bertubi-tubi menghantam keluarga Pak Bagyo selama di sekolah
dasar. Yang Bapak sesali adalah sepertinya Dhina tidak pernah merasa bersalah,
bahwa dia telah menyakiti orang lain.
Kini
Dhina telah sekolah di SMA Negeri di Pasuruan. Kelas satu menurut pantauan
Bapak selama ini baik-baik saja.. Bapak sangat kenal dengan ibu kepala sekolah
SMA itu karena sama-sama menjabat sebagai kepala sekolah. Pada suatu kesempatan
Bapak menceritakan tingkah laku miring anaknya. Kepada ibu kepala sekolah
sekalian menitipkannya untuk dipantau
lebih serius.
Dhina
mengatakan akan mencoba ikut dalam kegiatan ektra kurikuler pecinta alam. Bapak
mensuport sekali. berkegiatan seperti itu. Dengan demikian ada kesibukan
baginya serta dapat bersosialisasi dengan
banyak teman, agar tidak minder. Suatu saat Dhina ijin pulang
terlambat karena ada ekskul Pecinta Alam.
“Dhin,
apa alasanmu mengikuti kegiatan itu?” tanya Bapak basa-basi.
“Saya
tidak suka kegiatan yang ramai-ramai. Saya suka yang sunyi sepi tidak banyak
orang.” Sebenarnya pernyataan dia itu tidak aneh namun apakah benar bahwa dia
sebenarnya pemalu dan tidak percaya diri. Lalu kegiatan ekskul pecinta Alam
dipakai sebagai pelarian karena tidak ada ekskul yang cocok menurutnya selain
itu.
“Teman
kamu yang pernah kamu ajak ke rumah itu siapa?” pertanyaan Bapak mengagetkan.
“Itu
teman alumni SMA ku, sebagai Pembina ekskul pecinta alam.” jawabnya
“Ada
guru pembinanya selain anak itu?”
“Ada.
Memang kenapa pak?”
“Sikapnya
kurang sopan, pakaiannya, potongan rambautnya, tato di tangan dan kakinya,
pokok melihat penampilannya Bapak tidak suka.”
“Apa
bapak tidak suka karena dia kelihatan miskin, Bapak materialistis kalau
begitu?” protesnya.
“Tidak
begitu. Apa teman lain yang lebih sopan terpelajar, sikapnya terpuji,
berpenampilan rapi, walau dia itu orang tidak beruntung. Apa tidak ada tah?”
“Memang
Dhina itu siapa pak, pilih-pilih teman, cantik tidak, gembrot, tak punya teman,
ke sekolah selalu diantar jemput orang tua, Dhina juga miskin uang saku hanya
cukup untuk beli jajan sendirian, walau
Dhina anaknya Kepala sekolah.!”
Dhina
kelihatan marah, lalu diam seribu bahasa. Tidak sepatah katapun keluar dari
mulutnya. Bapak mengerti kalau dia
marah. Bapak hanya manggut-manggut, namun dalam hati berpikir apakah anaknya
ini punya rasa minder yang berlebihan atau trauma masa lalu di masa kecil,
sehingga sering memilih kegiatan yang
negatif. Kadang Bapak curiga dan bertanya-tanya, apakah ada temannya yang
mempengaruhi sehingga dia berani protes keras seperti itu. Pasti ada sesuatu
yang disembunyikan oleh Dhina, dan Bapak tidak tahu.
Setelah
kejadian itu Dhina tidak pulang ke rumah sejak pulang sekolah. Bapak dan ibu
panik, menanyakan kepada teman sekelasnya yang berasal dari satu SMP dulu.
Tidak banyak anak yang diakrabi olehnya, maka Bapak tidak terlalu sulit
melacaknya. Akhirnya mendapat petunjuk bahwa dia ikut teman sekelasnya pulang
ke desa Rowo bajul. Untung Bapak dapat nomer temannya di rowo bajul itu dan
dapat kejelasan dari orang tua temannya. Ternyata bapak temannya, adalah
pegawai Dinas Pendidikan kab Pasuruan. Pak Bagyo mengenalnya, maka sekalian
minta tolong dinasehati supaya Dhina besok mau pulang ke rumah.
Dhina
menikmati kehidupan keluarga temannya yang menurutnya sangat membahagiakan.
Bapak ibunya baik terhadap teman yang anak tunggal itu. Dalam hati dia berpikir
andai suasana di rumah seperti itu betapa bahagianya. Dhina menyampaikan bahwa
di rumah kedua orang tua sangat menyayangi. namun di rumah sepi tidak ada
teman, dan tidak bebas. Sudah kami nasehati panjang lebar, begitu informasi
dari ayah temannya di Rowo Bajul. Pak Bagyo menyampaikan terima kasih, “hari
ini anak saya sudah sampai di rumah diantar Isti temannya itu” Bapak
mendapatkan gambaran lebih lengkap tentang perkembangan jiwa putrinya. Dia suka
berdebat, kesepian, ingin bebas.
Tahun
kedua di SMA, Dhina berulah lagi, perbuatan memalukan telah dilakukan. Ada
surat teguran dari sekolah, bahwa Dhina telah menunggak pembayaran SPP selama
tiga bulan berturut-turut. Ibu yang biasanya memberi uang SPP rutin setiap
tanggal lima terkaget-kaget dibuatnya.
Bu
Bagyo ke sekolah menjelaskan kepada kepala sekolah bahwa sebenarnya ulah Dhina
sendiri yang tidak membayarkan uang SPP tersebut . Ibu marah, malu, kecewa,
dengan terpaksa melunasi seluruh kekurangan pembayaran SPP yang tertunggak.
Sambil perjalanan pulang ibu mengomeli anaknya.
“Sampai
kapan kamu akan menyiksa orang tua yang menyayangimu nak. Ya Allah teganya kamu
Dhin apa kurang, kami membesarkan dengan menyayangimu, memanjakanmu? Sejak
kecil kok tidak ada kapok-kapoknya, selalu saja menyusahkan orang tua. Memang
ibu ini bukan ibu kandung kamu tetapi ibu sudah membesarkanmu”
Dhina
hanya diam tidak mau berdebat dengan ibunya di jalanan “tunggu sampai di rumah
kalau ibu masih ngomel terus ...... “ gumamnya dalam diam. Sikapnya yang diam seperti tidak merasa
bersalah itu justru sangat menyakitkan hati Ibu.
Terbawa
kegalauan hati, ibu mengendarai sepeda motornya semakin cepat semakin cepat.
Jarum spido meter menunjukkan angka delapan puluh sembilan puluh. Di pertigaan
sepeda motor juga ngebut dari arah kanan sementara ibu akan belok ke kanan.
Kraak.... lampu setopan belakang sepeda motor bu Bagyo terserempet. Motor oling
lalu roboh ke tepian jalan beraspal. Untung di tepian itu ditumbuhi rerumputan
sehingga tidak menyebabkan luka.
Sepeda
motor yang menyerempet dari arah kanan juga roboh di tepi jalan beraspal tanah
berdebu. Lutut dan siku pengendaranya lecet-lecet namun sepedanya tidak
mengalami kerusakan. Pemuda itu berdiri berjalan menolong bu Bagyo dan Dhina,
namun mereka berdua sudah berdiri.
“Lututnya
dan sikunya berdarah tuh.” komentar Ibu
“Iya
bu, lecet sedikit. Ibu sendiri dan mbak bagaimana ada luka?” tanyanya.
“Tidak
mas hanya sedikit memar dan lampu setopanku pecah.” kata Ibu
“Kamu
itu tidak hati-hati mas untung kita selamat” ketus Dhina. Pemuda itu melirik mbaknya
yang mengomel.
“Maaf
ya mbak, bu, kita sama-sama kencang tadi jadi tidak bisa menghindari, kita
sama-sama salah.”jawab pemuda
“Iya
maafkan kami juga ya.” jawab Ibu
Ketika
dalam perjalanan pulang, dengan insiden itu Dhina ganti mengomel menyalahkan
ibunya. Menyalahkan orang lain, berkata menyakitkan, menganggap hanya dirinya
yang di sakiti dizolimi, itulah ciri Dhina saat ini.
Ada Yang Berubah.
Semenjak kejadian memalukan, Dhina menilep
uang SPP di SMA itu, Ibu tidak mempercayai Dhina lagi untuk membayar uang SPP
sendiri. Ibu yang membayar sendiri ke kantor
Tata Usaha bagian SPP di sekolah. Bapak yang dilapori bahwa kelakuan putrinya
seperti itu, sangat malu kepada kepala sekolah SMA itu. Bapak tak mau lagi
mengurus Dhina yang rupanya memang susah diatur. Bapak sengaja membiarkan apa
maunya anak itu.
Bu Bagyo yang terpaksa harus
mengurus anaknya. Ibu mengorek keterangan untuk apa uang SPP tiga bulan tidak
dibayarkan itu.
“Untuk jajan dan membelikan rokok
kakak pembina ekskul Pecinta Alam.” Dhina berterus terang. Seperti biasanya
kalau punya salah dia selalu terus terang dan merasa tidak pernah bersalah.
“Pembina ekskul yang katanya bapak
pernah main ke rumah dan tidak sopan itu, siapa namanya?.”
“Kak Alex, tetapi dia sebenarnya
baik dengan Dhina.”
“Apa kamu ada rasa senang, sayang,
atau kamu pacaran dengannya?”
“Tidak tahu, tetapi saya senang dan
bahagia bila dekat dengannya.”
“Aduh Dhina, apa yang kamu lihat
padanya, jangan-jangan kamu kena guna-guna. Bapakmu itu seorang kepala sekolah
nak, apa kamu tidak mikir, Bapakmu kan malu nak, bila ketahuan anak buahnya atau
teman kepala sekolah yang lain di sekolah, kamu akrab dengan anak seperti itu.”
“Anak seperti bagaimana maksud ibu?”
“Coba perhatikan temanmu itu,
penampilannya saat ke rumah, bercelana pendek, kaos oblong bulak, rambut
awut-awutan, tangan kaki bertato, kotor seperti tak pernah mandi. Coba
bandingkan dengan penampilan putra pak Taufik, putra pak Rasto tetangga kita,
beda jauh nak.”
“Kan mereka anak orang kaya, makanya
tampil trendy dan bergengsi.” protesnya.
“Apa orang miskin tidak bisa tampil
sopan, berwibawa, bisa nak kalau dia memang mau.”
“Coba perhatikan, Ilham, Fadil,
mereka orang tuanya tidak kaya, berpakaian sederhana tetapi bisa tampil wibawa,
terpelajar, tidak tekesan ugal-ugalan.”
Dhina hanya diam tidak berdebat
lagi,“ kenapa setiap yang saya lakukan selalu salah di mata orang tuaku?”
gumamnya.
“Sudah, mulai sekarang kamu berhenti ikut
kegiatan ekskul itu dan jangan temui dia. Kamu fokus belajar. Toh kamu sebentar
lagi kenaikan kelas tiga.” ceramah ibu panjang lebar.
Hampir satu bulan, Dhina mengikuti
saran ibunya. Dia berhenti dari kegiatan ekskul Pecinta Alam. Namun rupanya Alex tidak mau putus hubungan
begitu saja. Dia selalu mencari kesempatan untuk bertemu dengan Dhina. Sampai
akhirnya Alex memberanikan diri datang ke rumah menemui Dhina.
Bapak yang menemani Dhina menemui
Alex. Dibiarkan putrinya mengatakan sendiri bahwa dia berhenti dari kegiatan
ekskul Pecinta Alam, dengan alasan ingin fokus belajar, sebentar lagi kenaikan
ke kelas tiga. Dia mohon maaf dan terima kasih telah dibimbing dengan baik
dalam kegiatan itu.
Bapak mengatakan bahwa memang Dhina
harus berhenti dulu dari ekskul, untuk fokus kepada pelajaran. Nilai rapot
semester pertamanya sangat memprihatinkan di semester pertama di kelas dua ini,
maka dia harus berjuang keras agar bisa naik kelas.
Alex mohon maaf lalu mengatakan dia
hanya ingin tahu kenapa Dhina tidak pernah hadir dalam latihan ekskul Pecinta
Alam. Kalau memang demikian maka semuanya sudah clear. Alex bisa
mengerti kekawatiran Bapak. Lalu Alex berpamitan kepada pak Bagyo dan Dhina.
Dhina mengantar sampai halaman, entah apa yang dibicarakan oleh mereka berdua.
“Pernyataannya itu tadi hanya kamuflase atau dari hati terdalam hanya Allah
yang tahu.” gumam pak Bagyo.
***
Lepas dari Alex, Dhina kenal dengan
Jaka. Pemuda ini sudah bekerja di Kantor PLN Jakarta. Secara ekonomi dia sudah
mapan. Tidak mau dipersalahkan oleh bapak dan ibunya Dhina menceritakan perihal
kenalnya dengan Jaka. Dia putra seorang sopir pribadi dari Bu Gayatri tetangga
kita di depan rumah itu.
“Anak ini penampilannya keren,
berwibawa, bersih kulitnya, ganteng. Pasti bapak dan Ibu cocok dengannya.” kata
Dhina memujinya.
“Jangan teresa-gesa, jatuh cinta,
lihat dulu karakter sebenarnya seperti apa. Apakah dia baik hatinya, apakah dia
taat beragamanya?” nasehat ibu
“Dengar tuh nasehatnya. Ibumu itu
dulu waktu sekolah banyak pacarnya, kalau Bapak tuh orangnya setia kalau sudah
satu ya itu saja.” goda Bapak
“Ya nggak gitu, yang penting harus
hati-hati dengan para lelaki, jangan sampai salah pilih seperti kemarin, jalani
saja dulu sambil jaga jarak.”
Jaka secara kasat mata memang baik,
namun seperti kata Ibu, siapa tahu isi hati orang. Hubungan selama dua bulan
ini melalui darat maupun melalui telephon berjalan manis-manis saja. Sampai
suatu saat dia mengajak jalan-jalan ke suatu tempat menuju ketempat wisata di Pasuruhan.
Ditepi jalan itu banyak gubuk-gubuk kecil yang biasanya dimanfaatkan untuk
berjualan dan sekaligus tempat anak-anak pacaran. Disitulah Jaka mengajak
berbuat tidak senonoh dan ditolak oleh Dhina. Dia semakin nekat dengan
mengatakan,
“Mana ada sih jaman sekarang, cewek
yang masih benar-benar virgin. Kalau kita melakukan, itu untuk
membuktikan bahwa kamu pantas menjadi istri saya atau tidak.” kata Jaka kasar
“Enak di kamu susah di Saya.
Bagaimana kamu mau cari istri dengan syarat dicicipi dulu. Beli tape saja gak
boleh dicicipi, karena tapenya sudah dikemas dengan bagus.” balas Dhina.
Tanpa pamit, Dhina terus cepat-cepat
keluar dari gubuk-gubuk itu ke tepi jalan ingin numpang mobil yang kebetulan
lewat. Dhina berpikir kalau bertahan diluar gubuk, maka Jaka tidak akan berani
macam-macam.
Ternyata lelaki itu sama saja, yang
berpenampilan brandalan ugal-ugalan maupun yang berpenampilan sopan berwibawa,
ternyata sama brengseknya. Dhina marah dan menyalahkan dirinya sendiri atas
ketidak mampuannya menilai orang. Selama ini memang dia sangat tergantung
kepada orang tuanya, yang selalu membela dalam segala kesulitan apapun. Kasih
sayang yang diberikan orang tua berubah menjadi kemanjaan dan ketergantungan.
Dhina segera sadar akan kondisinya sekarang yang merasa terancam,
mencoba menilpon bapak ibunya untuk menjemput. Dia share lokasi via hand
phone. Sambil menelpon dia melambaikan tangannya bila ada mobil lewat dengan
harapan ada yang mau menolongnya. Dia kurang waspada juga bahwa kemungkinan
bahaya bisa juga datang dari si pengendara mobil yang ingin ditumpangi.
Jaka merasa kawatir bahwa dirinya
juga akan terkena masalah bila orang yang ditelepon Dhina benar-benar datang
atau dia mendapat tumpangan mobil yang sedang lewat.
Sebuah mobil berhenti di depan
Dhina. Sopir menanyakan sesuatu kepadanya. Dhina menyempatkan melongok ke dalam
mobil, penumpangnya ada ibu-ibu ada dua orang anak kecil laki dan perempuan
sedang bermain. Ibu itu mendengar percakapan antara suami dengan gadis yang
minta tolong, maka dia menawarkan. Tanpa memperhatikan Jaka lagi Dhina naik ke
mobil itu.
Jaka memohon maaf pada Dhina dan
minta sopir itu menurunkan Dhina, namun ibu-ibu yang di dalam mobil tidak
membolehkan. Mobilpun segera berjalan menuju kota. Keluarga tersebut berbaik
hati mengantar Dhina sampai di rumah dengan selamat. Dhina mengucapkan terima
kasih dan mempersilahkan keluarga itu singgah di rumah.
Jaka mengikuti dari belakang mobil
itu, dan berhenti di depan rumah Dhina, setelah mobil yang ditumpangi berlalu
meninggalkan rumahnya. Jaka bermaksud ingin mengikuti Dhina masuk ke rumahnya,
namun keburu pintu ditutup olehnya. Jaka mengurungkan niatnya untuk masuk dan
hatinya kecewa. Sebenarnya dia hanya ingin mengetes seberapa cinta Dhina
kepadanya dan ingin minta maaf atas kejadian yang tidak di inginkan itu
dianggap serius oleh Dhina.
EPISODE 6
Tak Merasa Bersalah
Setelah tiga tahun, Bapak dimutasi
ke Jember, sehingga keluarga harus pindah semua ke Jember.
Selepas dari SMA, Dhina ditanya akan
melanjutkan kuliah di mana, jurusan apa. Dia tidak menjawab karena memang tidak
tahu apa sebenarnya cita-citanya.
Bapak memberi pandangan. “Apa ingin
jadi guru, apa ingin kuliah di teknik, atau kuliah di bidang dakwah agama atau
di bidang kesehatan atau apa?” Dhina tetap tidak bisa mengatakan. Bapak
menjelaskan lebih detail lagi.
“Kalau bidang Teknik, ada teknik
komputer, teknik mesin, teknik bangunan, teknik elektro. Kalau di Poltek ada
jurusan pertanian, peternakan, perikanan, Budi daya tanaman pangan. Di Fakultas
ekonomi, ada ekonomi pembangunan, bisnis manajemen, akuntansi. Kalau di Bidang
keguruan menjurusnya nanti menjadi guru. Disitu ada jurusan bahasa Indonesia,
bahasa Inggris, Matematika, Biologi, teknik komputer, mesin, bangunan, ada
jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Pokoknya banyaklah tinggal kamu kira-kira
pilih mana?”
Setelah diberi pencerahan oleh bapak
barulah dia berani bertanya “Kalau di Jurusan Komputer, pak?” tanya Dhina.
Di Poltek ada Diploma 4 (D4)
Komputer, D4 itu setara S-1. Atau teknik komputer, Pemograman, Perakitan. Di
Unej ada jurusan komputer pemrograman.
“Kalau di Poltek saja pak?”
“Kamu serius ambil jurusan itu di
Poltek.”
“Iya pak, disitu saja dah.”
“Okey, ini kemauanmu loh, jadi harus
konsekwen.”
“Iya pak.”
Alhamdulillah akhirnya dia dapat
diterima di D-4 Komputer Poltek Jember. Singkat cerita Perkuliahan di Poltek
sudah dijalani selama satu semester. Setelah ujian berakhir kalau ditanya bapak.
Dia mengatakan tidak masalah. Selama liburan semester bapak diam, tidak
menanyakan tentang Daftar Nilai semester. Dhina juga diam tidak ada inisiatif
menunjukkan DNS kepada bapaknya..
Sampai suatu saat bapak menanyakan
tentang Nilai semester. Dengan rasa berat Dia memberikan selembar daftar. Bapak
heran membaca DNS itu. Semua mata kuliah nilainya E tidak ada yang lain. Bapak
marah.
“Dhin apa-apaan ini. Kamu ikut ujian
apa tidak?” bentak ayahnya, Dhina tidak bisa menjawab.
“Jawab, jangan hanya diam.” bapak membentak
dengan nada tinggi dan keras. Dhina terkejut matanya berkaca-kaca.
“Sampai kapan kau akan menyiksa bapak,
sampai kapan, hayo pandang mata Bapak?”
matanya melotot menahan amarah. Mendengar suara suaminya Bu Bagyo yang
sedang di dapur bergegas ke ruang keluarga
“Pak Sabar, sabar.” bu Bagyo
mengelus pundak dan punggung suaminya.
“Sabar bagaimana, lihat tuh
nilainya, semua E, berarti tidak dikerjakan sama sekali?” diberikan selembar
kertas daftar nilai pada istrinya.
“Dhin, masa bahasa Indonesia, Agama,
Pendidikan kewarga negaraan juga nilainya E, kalau pelajaran matematika, bahasa
Inggris, teknik komputer itu bisa dimaklumi. Bagaimana toh ini?” bu bagyo juga
heran
“Ibu, saya tidak mampu kuliah di sana,
tidak ada satupun teman yang kukenal di sana, saya asing rasanya.”
“Kan memang masih baru, jadi belum
kenal dengan temannya, itu kan wajar. Ya kamu harus aktif cari kenalan. ” jawab
Bapak.
“Saya malu pak, Saya tidak punya
keberanian untuk berkenalan dengan orang lain.” jawabnya
“Sudah pokoknya saya mau berhenti
kuliah titik. Saya tidak sanggup menerima sorot mata yang tidak bersahabat dari
mereka.” lanjutnya.
“Kamu itu bagaimana to Dhin, masuk
perguruan tinggi itu biayanya banyak lo, mau berhenti begitu saja?” ibu
mengomel
“Terus kamu maunya apa sekarang.?”
tegas pak Bagyo
“Saya kerja saja, di pabrik cerutu
di Bobin atau pabrik elektronik pasuruan atau di toko swalayan Roxi.” jawabnya
“Tidak. Bapak tidak ijinkan, kamu harus kuliah
paling tidak D2, agar punya ketrampilan bekerja. Tunggu tahun depan kamu kuliah
D2 di Magistra saja. Komputer atau Bisnis.”
Semua diam, ibu kembali ke dapur,
bapak istirahat di kamar. Dhina masuk ke kamarnya juga.
***
Setelah menganggur selama setengah
tahun mungkin Dhina merasa capek. Mau kerja di dapur selalu diomeli oleh ibu,
karena kerja tidak sesuai yang dicontohkan dan di perintahkan. Mau nonton TV
lama-lama bosan juga. Mau main ke rumah teman semua temannya sibuk kuliah,
sibuk bekerja akhirnya jalan saja melihat suasana kota. Sampai akhirnya Dhina lewat
di depan kampus Magistra. Di situ bertemu dengan beberapa teman SMA nya yang
sudah kuliah di sana maupun yang masih akan mendaftar.
Dhina mendapat beberapa informasi tentang
kuliah di Magistra itu. Ada ketertarikan untuk ikutan kuliah di sana, karena
ada teman yang dikenalnya. Kata teman yang sudah kuliah, belajar di sana sangat
menyenangkan. Prakteknya banyak teorinya hanya sedikit itupun yang berkenaan
langsung dengan apa yang akan dipraktekkan jadi tidak sulit.
Mantap hatinya akan kuliah D2 Design
Komputer. Bapak memperhatikan anaknya yang akhirnya kuliah di Magistra
kelihatannya enjoy, dan bersemangat, senang hatinya. Gumamnya
“Nanti kalau sudah tamat D2 akan diarahkan kuliah untuk mendapatkan gelar
sarjananya di IKIP saja.”
“Bu kelihatannya anakmu senang dan
kerasan kuliah di Magistra.” kata pak Bagyo
“Iya pak tidak terasa satu tahun
sudah di lewati dengan nilai baik, sebentar lagi selesai kuliahnya di Magistra.
Terus maunya Bapak nanti dia kerja atau apa?” komen bu Bagyo
“Bapak ingin paling tidak dia menyandang
gelar Sarjana. Kalau cuma lulus D2
bagaimana pandangan orang-orang nanti? Sehingga harapannya lebih mudah mencari
pekerjaan. ”
“Ya kalau tidak mau jangan dipaksa
pak, nanti berhenti lagi seperti di Poltek dulu, buang-buang biaya to pak?”
“Insya Allah mau bu, sekarang dia
fokus belajar rupanya. Dia tidak kelihatan dekat dengan teman laki-laki
manapun?”
“Memang kalau dekat dengan laki-laki
kenapa? Kan baik bisa tambah semangat.”
“Iya kalau lakinya bener dan dewasa
bisa membimbing, kalau seperti Alex dan Jaka itu?”
“Ya sudahlah jangan dibahas lagi
anggap itu takdir yang harus dijalani tidak hanya oleh dia namun juga takdir
untuk kita orang tuanya.” Dhina begitu bahagia ketika memberikan undangan
wisuda di Gedung Pertemuan Hotel Bandung Permai.
Sejak pagi dia sudah pergi ke salon
kecantikan diantar oleh ibu. Bapak begitu takjub melihat putrinya kini sudah
kelihatan dewasa dan cantik dengan pakaian nasional, berkebaya dan kain panjang
yang diwiru-wiru. Rambut digelung konde. memakai sandal jinjit, mengingatkan
penampilan priyayi putri jawa jaman dulu.
Dari kursi para tamu orang tua,
Bapak duduk di samping ibu, kelihatan bangga menyaksikan Dhina ikut dalam
barisan wisudawan-wisudawati yang memakai toga kuning berselempang dan topi
sarjana dalam kelompok jurusan komputer. Satu persatu dipanggil masuk ruangan
dan menempati kursi yang sudah dipersiapkan. Pak Bagyo sejenak melamun
“Andaikan moment ini adalah wisuda
Sarjana, betapa sangat bangganya bapak”
EPISODE 7
Bencana
Setelah lulus D-2 Magistra, Bapak
menginginkan Riskya Rahmadhina kuliah di IKIP PGRI untuk memperoleh gelar S-1
nya. Menurut pemikiran Bapak setidak-tidaknya punya gelar Sarjana Pendidikan
dan nanti bisa menjadi guru SMP atau SMK.
Pak Bagyo gelar pendidikannya S-2.
Kalau anaknya hanya lulusan D-2 apa kata orang-orang, terutama teman guru di
sekolah dia bekerja. Putra putri mereka kebanyakan pendidikan minimal S-1
Selain itu harapannya nanti bila bekerja bisa mendapatkan tempat atau jabatan
lebih tinggi dibanding hanya lulusan D-2.
Keinginan berjuang seperti ini
seharusnya timbul dari kemauan putrinya sendiri. Selama ini Dhina hanya ikut
saja kata Bapaknya. Tidak punya keinginan untuk memperjuangkan dirinya menjadi
lebih baik. Entah mengapa demikian. Apakah karena dimanjakan sejak kecil,
sehingga semuanya telah tersedia, lalu berpikir untuk apa dia harus bersusah
payah. Karena itulah Bapaknya yang kemudian dominan mengambil inisiatif
untuknya.
“Bagaimana menurut pendapatmu, kalau kamu
kuliah di IKIP PGRI” tanya bapak.
“Ya terserah bapak sajalah.”
“Lho jangan terserah Bapak, kamu
sendiri sanggup apa tidak kuliah lagi selama empat tahun?”
“Ya terserah, kan Bapak yang
membiayai.”
“Senyampang kamu masih muda dan
Bapak masih belum Pensiun, jadi kuat membiayai. Bersedia ya?”
Akhirnya Dhina mau menjalani kuliah
di IKIP swasta itu mengambil jurusan Biologi. Dia menikmati dan enjoy, teman yang dia kenal banyak.
Rupanya tempaan mental selama kuliah di Magistra ada pengaruhnya. Kepercayaan dirinya
lumayan meningkat jauh lebih baik.
Apa lagi setelah kenal dengan kakak
kelas yang usil bernama Yahya. Kakak kelas ini tubuhnya kecil pendek, namun
sangat cerdas dan dewasa. Dari hari kehari Yahya semakin akrab dan membantu
bila Dhina ada kesulitan tentang Materi perkuliahan. Kedekatan mereka tidak
hanya di kampus namun sering juga Yahya main ke rumah. Bapak dan ibu kelihatan well
come dengannya. Hubungan mereka hanya sebatas pertemanan tidak lebih.
Begitulah paling tidak Dhina menganggapnya. Entahlah perasaan Yahya bagaimana.
Kalau seandainya Bapak dan ibu ditanya, jujur kurang sreg seandainya
Yahya berpacaran dengan Dhina. Segalanya memenuhi syarat menurut pak Bagyo,
namun tinggi badannya yang lebih pendek dibanding putrinya maka kelihatan
kurang serasi. Kasihan Dhina menjadi bahan ejekan oleh teman kampusnya kalau
pacarnya kurang serasi. Namun kalau memang Dhina senang dan takdir jadi
jodohnya apa boleh buat.
Karena keakraban keduanya itulah
kemudian kakak kelas ini iseng ingin mengetahui apakah Dhina putri kandung pak
Bagyo dengan bu Bagyo atau bukan. Disinilah Dhina mulai penasaran ingin
menanyakan kejelasan asal usul dirinya yang sebenarnya.
Kelancangan Yahya yang di luar batas
inilah menjadi pemicu terbukanya pikiran pak Bagyo untuk menceritakan suatu
kebenaran yang selama ini dipendam rapat-rapat.
Mungkin ini sudah waktunya untuk di sampaikan.
Selain Yahya teman akrab Dhina
adalah Sabrina anak dari Situbondo. Dia mengatakan jati dirinya kepada Dhina,
bahwa sebenarnya orang tua kandungnya asli orang Banyuwangi berdomisili di
Banyuwangi.
“Yang di Situbondo itu siapa?” tanya
Dhina
“Dia adalah orang tua angkat saya.”
kata Fitri
“Jadi orang tuamu dua kalau begitu.”
“Iya, ke empat orang tua saya
semuanya sayang dan memanjakan saya. Keuntungan bagi saya adalah bisa memanfaat
mereka untuk minta uang yang cukup banyak dari mereka.”
Diam-diam cerita miring Sabrina itu
dapat menginspirasi kejahilan Dhina suatu saatnya nanti.
***
Dhina menikmati betul kuliah di IKIP
ini. temannya banyak dan sopan serta sayang kepadanya tidak seperti ketika
kuliah di Poltek dulu. Mungkin karena di sini tidak ada yang sangat menonjol
kecantikannya, tidak ada yang menonjol kekayaannya jadi hubungan mereka sangat
baik menurutnya.
Selain itu banyak Dosen yang sabar,
membimbing, memotivasi terhadap mahasiswanya. Dan ternyata beberapa dosen kenal
baik dengan Bapak karena Sekolah Bapak menjadi salah satu lembaga sekolah yang
dipakai sebagai tempat praktek Mahasiswa terutama yang jurusan Bahasa
Indonesia, Matematika, Bisnis Manajemen, dan Akuntasi.
Karena asyik sampai tidak terasa
Dhina sudah waktunya mengikuti kegiatan Praktek Mengajar. Dhina di tempatkan di
SMP Negeri pinggiran kota Jember. Kegiatan ini dapat dijalani dengan baik walau
dia suka mengeluh murid di sekolah itu banyak yang bandel dan malas belajar.
Dengan ketekunan dan kesabaran akhirnya kegiatan praktek mengajar dapat
terselesaikan dengan sukses, mendapat pujian para siswanya.
Kegiatan selanjutnya adalah Praktek kerja
berupa pengabdian Masarakat, dilaksanakan di desa pnggiran pula. Dalam kegiatan
pengabdian masyarakat ini lebih banyak terjun ke desa ikut kegiatan misalnya
mengajar anggota masyarakat yang buta huruf, kegiatan karang taruna, kegiatan
PKK dan lain-lain.
Seusai Praktek langsung masuk
kegiatan menyusun skripsi. Awalnya tidak masalah karena di bantu oleh Yahya si kakak kelas itu. Namun ditengah
perjalanan Mas Yahya sudah lulus Sarjananya dan mendapatkan pekerjaan di luar
kota yang jauh. Sehingga Dhina tidak ada lagi yang membantu. Untung konsep
skripsinya sudah selesai, tinggal berkonsultasi dengan Dosen Pembimbing.
Hasil konsultasi pertama begitu
banyak yang harus direvisi. Dhina mulai kehilangan fokus karena tidak ada yang
diandalkan untuk membantu. Kalau bertanya kepada Bapak paling hanya diberi tahu
begini-begini terus disuruh membetulkan sendiri. Tidak seperti mas Yahya
langsung dia yang membuatkan, makanya Dhina tidak senang bertanya kepada
bapaknya.
Pakdenya yang dosen Unej juga
mendorong ingin membantu namun sifatnya konsultasi, Dhina tidak mau. Yang
diinginkan adalah seorang yang mau mengerjakan langsung jadi tanpa dia yang
berpikir ini itu. Bapak sangat tidak setuju itu maka Dhina mogok konsultasi
dengan dosen pembimbing karena revisi belum dikerjakan.
Dia tanpa sengaja dikenalkan oleh
Pembina Pecinta Alam sekaligus sopir di
sekolah Bapak dengan anak UNEJ. Anak itu bernama Imam, masih kuliah di jurusan
Biologi juga. Selain itu mas Imam adalah ketua Mapala UNEJ jurusan Matematika
dan Biologi. Dhina merasa senang kalau diajak ngobrol tentang petualangan di
alam pegunungan.
Hubungan mereka semakin akrab hanya
saja tidak diberitahukan kepada kedua orang tua di rumah. Karena penampilan mas
Imam itu 11 : 12 hampir seperti Alex dulu. Bedanya kalau dia potongan rambutnya
gundul plontos, tidak bertato, agamis suka ceramah dan ndalil, lainnya sama
dengan alex. Kemana-mana pakai celana pendek, kaos oblong bulak, bau badannya
menyengat. Namun entah apa yang dilihat sehingga Dhina sangat menyukainya.
Bersamanya sudah lupa sama sekali
urusan skripsi yang terbengkalai, karena rupanya Imampun juga terancam droup
out keasyikan mengurus organisasi.
Pengawasan oleh kedua orang tua
Dhina semakin mengendor karena, mereka berpikir putrinya sudah hampir selesai
kuliahnya berarti sudah cukup dewasa untuk bertanggung jawab atas dirinya
sendiri. Ternyata perkiraan itu salah besar.
Imam tidak sebaik seperti Yahya
kakak kelasnya yang bertanggung jawab dan dewasa dalam bertindak. Entah kapan
dia berhubungan serius dengan Imam. Tahu-tahu suatu sore bakdha Asahar Imam
datang ke rumah secara terus terang mengatakan dia melamar ingin menikah dengan
Dhina.
“Apa maksudmu mas, datang sendiri ke rumahku
mengatakan ingin menikah. Anakku masih belum lulus kuliahnya?” kata Bapak
dengan nada tak sabar.
“Iya pak saya ingin bertanggung
jawab?”
“Bertanggung jawab apa?”
“Kami berdua telah kilaf dan berbuat
dosa, telah melakukan hubungan di luar batas, dan kini Dhina telah mengandung
anak kami berdua?” telinga ayah bagai tersengat bara api memerah membakar
sampai ke jantung dan dadanya demi mendengar keterus terangan pemuda itu.
“Apa benar kamu telah melakukan
semua itu Dhin?” tanya bapak sangat marah.
“Iya pak.” jawab Dhina dengan
gemetar ketakutan.
Kalau ada pukulan godam maka inilah
pukulan godam terberat yang diterima oleh pak Bagyo dan bu Bagyo. Lalu beliau
mengatakan.
“Kalau mau melamar anak saya
datanglah besok dengan kedua orang tuamu, saya tunggu di rumah, sekarang
pulanglah.” Imam dengan rasa berat segera berpamitan. Sepulang Imam, Dhina dicecar
berbagai pertanyaan oleh Bapak ibunya.
“Siapa anak itu Dhin, benar-benar
lengkap sudah derita yang kau hunjamkan ke ulu hati bapakmu.” tanya Bapak
sambil marah, mata berkaca-kaca dan telinganya merah.
“Dia keponakan dari guru di
sekolahnya Bapak. Bu Kirana itu buliknya dan pak Rahmad itu pakdenya.” jelas
Dhina.
“Pak Rahmad itu orang yang
ugal-ugalan, arogan. Dia pernah mengancam akan membunuh Bapakmu.” kata Ibu.
“Kenapa sih nak kamu selalu saja
ingin mempermalukan bapak dan ibu. Apa salah Bapak Ibu padamu?” Dhina hanya
diam menangis
“Kami telah merawatmu sejak bayi
merah sampai dewasa sekarang ini, sudah berapa kali kau menyiksa kami.
Hampir-hampir kau tak sekalipun membuat orang tua ini bangga dan senang. Apa
sengaja kau ingin membalas dendam karena Bapak dan Ibu telah mengangkat kamu
sebagai anak angkat. Yaa Allah kalau ada kesalahan inilah kesalahan terbesar
kami telah merawatmu.”
“Apa kalian berdua memang sengaja
hamil duluan biar dinikahkan. gitu ya?”
Sebenarnya menurut agama orang hamil
di luar nikah itu tidak boleh dinikahkan. Seharusnya dihukum rajam sampai mati
atau dicambuk seratus kali. Kalian telah melakukan dosa besar. Tidak hanya
kalian Bapak dan Ibupun kena dampaknya ikut berdosa karena kurang benar dalam
mengawasimu.” lanjut Bapak. Dhina tidak menanggapi kata-kata bapak dan ibunya.
“Sudah sekarang menyingkirlah kau
dari hadapan Bapak.”
“Dhin masuk kamarmu.” perintah bu Bagyo
memperhalus kata-kata Bapak. Kawatir Dhina akan minggat lagi dari rumah seperti
yang pernah dilakukannya. Pak dan Bu Bagyo segera masuk ke kamar berunding
besok akan kedatangan orang tua Imam.
Sesuai yang diharapkan oleh pak
Bagyo, bakdha maghrib Imam Gozali datang bersama Bapak dan kakaknya, Ibunya
tidak ikut datang. Dalam menerima mereka, Pak Bagyo kelihatan sekali sangat
tidak ramahnya, karena terbawa rasa kecewa yang dalam atas perbuatan mereka
berdua.
Setelah dipersilahkan duduk, pak
Bagyo tidak bisa berkata-kata. Ayah Imam Gazali yang membuka pembicaraan.
“Kedatangan kami ke sini pertama
mengenalkan diri, saya Anshori ayahnya Imam Gazali. Jauh-jauh dari desa
Kuniran, ingin menyambung silaturahim dengan keluarga Bapak di sini. Kedua
ingin mohon maaf yang sebesar-besarnya karena anak saya sudah berbuat salah.
Namun sebenarnya dalam hal ini insya Allah bukan anak saya saja yang bersalah.
Putri Bapak juga bersalah. Karena itu
anak saya ingin bertanggung jawab dengan melamar Dhina putri Bapak untuk anak
saya.” kata-kata pak Anshori lembut namun sangat-sangat menyakitkan.
Sebelum Pak Bagyo menjawab
permohonan pak Anshori, dia perlu menanyakan langsung kepada Imam Gazali dan
Dhina.
“Apakah kamu yakin bahwa kamulah
yang pertama dan satu-satunya yang menggauli anak saya sampai dia hamil
begini?” tanyanya kepada Imam Gazali.
“Insyaa Allah yakin Pak.” jawab
Gazali
“Apa alasannya, sehingga kau yakin?”
“Ketika pertama kami berhubungan dia
masih virgin, Jadi saya yakin anak dikandungan Dhina adalah anak kandung kami
berdua.” Gazali tegas. Bu Bagyo, Jamila kakak perempuan Gazali serta pak
Anshori terkesima demi mendengar pengakuan Gazali.
“Dimana kau melakukan itu dan berapa
kali?”
“Di Hotel Himalaya pak, lebih dari
tiga kali.”
Gazali menunduk merasa malu namun
berusaha berkata jujur.
“Kau perkosa dia atau suka sama
suka?”
“Suka sama suka pak.”
“Kelihatannya kau orang khusuk
beragama, keningnya ada capnya hitam kata
orang menandakan bekas sujud, rajin sholat, lalu bagaimana sampai terjadi
seperti ini?”
“Mohon maaf pak kami benar-benar
kilaf.”
“Kalau satu kali itu namanya kilaf,
kalau beberapa kali namanya sengaja.”
Mendengar wawancara Pak Bagyo, Pak
Anshori dan Jamila menunduk karena sangat malu, merekapun sebenarnya juga tidak
tahu kalau Gazali tega sampai berbuat seperti itu. Bu Bagyo mulutnya bungkam
menahan amarah.
“Katamu dan kata ayahmu tadi kau
ingin melamar atau menikahi anak saya?”
“Dua-duanya pak.”
“Jadi kamu sudah siap menikahi anak
saya.?”
“Insyaa Allah siap.”
“Apa kamu sudah kerja atau punya
penghasilan untuk menafkahi anak orang ?”
“Belum pak, insyaa Allah orang tua
saya siap membantu?”
“Lalu setelah menikah kau akan beri
makan apa anak saya, belum kalau anak kalian lahir, makan batu atau makan ikut
orang tua begitu maksudmu. Kamu sendiri kuliah belum selesai minta biaya kepada
orang tua gitu kok.”
“Saya janji demi Allah akan segera
mencari pekerjaan pak.”
“Dhina apakah kau yakin bahwa lelaki
ini akan menjadi Imammu?” tanya Bapak pada anaknya.
“Yakin pak, kalau tidak yakin
ngapain sampai berbuat sejauh ini.” jawab Dhina tegas.
“Berkeluarga itu beda dengan pacaran
nak. Banyak kebutuhan, banyak hal-hal yang tidak kau perkirakan, tidak kau
ketahui bisa terjadi. Misalnya sudah tahukah bagaimana karakter asli calon
suamimu itu, sabarkah, pengertiankah. Tentang pekerjaan kalau suamimu tidak
kerja tidak punya penghasilan cukup, apakah kamu sanggup hidup sabar di tengah
kekurangan?”
“In syaa Allah kami siap pak.”
“Jangan asal jawab. Bagaimana kalian
akan makan?. Kalau anak kalian lahiran butuh biaya rumah sakit, biaya susu
untuk anakmu, kalau anakmu sakit. Masalah ekonomi biasanya sangat peka
memancing emosi untuk perselisihan dan pertengkaran dalam keluarga. Apa semua
itu kamu sudah pertimbangkan Nak?”
“Kalau kami bersama insyaa Allah
siap.” Dhina meyakinkan.
Pak Bagyo merasa cukup menggali
informasi, dan memberi wawasan kepada mereka. Toh apapun kondisinya siap atau
tidak siap harus siap. Nasi sudah menjadi bubur. Kemudian memutuskan. “Dengan
sangat terpaksa lamaranmu, saya terima dan kamu harus menikah dua bulan lagi,
secara sederhana yang penting syah secara agama dan hukum negara. Siapkan
kelengkapan surat dokumen pernikahan dalam waktu satu minggu ini.”
“Pak kalau wanita sedang hamil, tidak boleh
menikah, tunggu kalau sudah melahirkan baru boleh.” celetuk Jamila kakaknya.
“Kata-katamu benar mbak, namun dalam
hal ini sifatnya sangat darurat. Tadi adikmu sudah mengakui bahwa dia sendiri
secara yakin yang sudah menghamilinya dan dia mengaku janin itu anaknya.
Enak di kalian tidak enak di kami,
siapa yang akan menanggung malunya? Adikmu bebas karena laki-laki, Kami tidak
punya muka bila anak saya mengandung tidak punya suami. Kalau nunggu setelah
lahiran selama sembilan bulan, lalu adikmu ingkar janji bagaimana siapa yang
jamin. Toh tadi adikmu sudah yakin mengakui bahwa anak dalam kandungannya
adalah anaknya.” jawab Pak Bagyo.
“Saya bisa memaklumi pemikiran
Bapak, kami setuju mereka dinikahkan dua bulan lagi. Kami akan menyiapkan
berkas-berkas untuk KUA.” tukas pak Anshori agar kakaknya tidak berdebat lagi.
EPISODE 8
Menguak Jati Diri
Telah diceritakan sebelumnya bahwa Riskya
Rahmadhina melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi swasta jurusan Biologi di
kota Jember. Ketika mengikuti mata kuliah biologi kakak kelasnya mengajari
tentang asal usul seseorang dilihat dari golongan darah. Dia hanya iseng
meminta Dhina tes golongan darah.
Kemudian dia meminta Dhina melihat
golongan darah Bapak atau ibu di kartu SIM nya. Setelah dianalisa dari golongan
darah bapak menurut kakak kelasnya, ada kejanggalan. Untuk meyakinkan, kakak
kelas minta dilihatkan kartu sim milik ibu, ternyata juga tidak cocok.
Kesimpulannya menurut teori biologi, ada suatu kejanggalan.
Karena penasaran kakak kelas yang
iseng itu, menyuruh menanyakan kepada Bapak siapa jati diri Dhina yang
sebenarnya. Anak kandung pak Bagyo dengan bu Bagyo atau bukan. Rizkya
Rachmadina menjadi penasaran, mendengar penjelasan panjang lebar dari kakak kelasnya
itu. Dia mencari kesempatan yang tepat untuk menanyakan pada Bapaknya. Dia
memang lebih pas bila bertanya kepada bapak dari pada ibu, Bapak lebih bijak
dalam hal ini dibanding ibu.
Setelah sholat maghrib Bapak duduk
di sofa ruang tamu sendirian sambil membaca buku. Di ruang tamu yang hanya
berukuran 5x4 meter itu, beberapa lukisan tergantung di tembok kiri kanan dan
jam dinding pemanis mata memandang.
Sinar lampu lima belas waat cukup benderang, namun suasana sepi
seandainya tak ada suara TV di ruang keluarga.
Dhina mendekati Bapaknya kemudian
duduk berjejer, berbasa-basi menanyakan sesuatu.
“Pak Nama saya Rizkya Rahmadhina itu
apa artinya pak?” tanyanya sambil menunggu keberaniannya untuk menanyakan hal yang sangat penting kepada Bapaknya. Bapak
menoleh pada putrinya penuh tanda tanya.
“Untuk apa menanyakan itu?” tanya
Bapak sambil tetap memandangi Dhina.
“Ya ingin tahu saja.” jawabnya
sekenanya
“Rizkya itu artinya Rizki dari Allah
SWT, Rahmadhina artinya yang dirahmati. Jadi Rizkya Rachmadhina artinya Rizki
yang dirahmati Allah SWT.
Dhina manggut-manggut mengalihkan
dari pandangan tajam bapak sambil berpikir. Sebenarnya kalau mengingat selama
ini kedua orang tuan, begitu tulus mencintaiku, rasanya tak sanggup menanyakan
hal ini. Kawatir nanti mengakibatkan mereka sedih. Namun bagaimana, rasa
penasaran di hati ini tak terbendung lagi, gejolak hati Dhina.
“Pak, boleh Dhina bertanya lagi,
tapi janji Bapak jangan marah atau sedih.” katanya memberanikan diri. Bapak
yang dari pertanyaan sebelumnya sudah curiga, dengan pertanyaan kedua ini
semakin curiga. Namun dia tetap sabar.
“Mau tanya apa, katakan saja.?”
jawab Bapak sedikit meninggi.
“Berdasarkan teori biologi maka
analisa golongan darah saya dengan bapak dan dengan ibu harusnya cocok. Kalau
tidak cocok berarti ada kejanggalan bahkan kemungkinan......” Dhina tidak
meneruskan kata-katanya, kemudian menundukkan kepalanya.
“Kemungkinan apa, kejanggalan apa?”
tanya Bapak.
“Saya hanya penasaran saja pak. Saya ingin
tahu sebenarnya siapa diri saya ini?” Dhina masih sambil menunduk. Deg,....
dada Pak Subagyo tiba-tiba berdetak kencang, mukanya pucat demi mendengar
pertanyaan putri kesayangannya. Pak Subagyo yang mengerti soal agama tidak mau
mengelak, memang Dhina wajib tahu tentang siapa dirinya. Tidak boleh
seseorangpun menghapus nazab orang lain.
Setelah menarik nafas panjang seakan
ingin memenuhi paru-parunya dengan oksigen agar perasaan sedih di hati bisa
ditekan sehingga kuat menyampaikan segala sesuatunya dengan tatag dan tabah.
Lalu beliau berucap.
“Sebenarnya Dhina memang bukan anak
kandung Bapak dan Ibu.” Pak Bagyo membuka ceritanya. Kini giliran Dhina dadanya
berdentang keras mendengar penjelasan Bapaknya. Sebenarnya Dhina berharap bahwa
Bapak dan Ibu adalah kedua orang tua kandungnya.
“Kenapa Bapak baru menjelaskan saat
ini, pada saat Dhina menanyakannya?” Dhina mendongakkan kepalanya, mata menatap
lekat pada Bapaknya. Bapak mengambil nafas dalam baru menjawab
“Kalau selama ini Bapak tidak pernah
menyampaikan kebenaran ini, Bapak minta maaf. Bukan dengan sengaja ingin
menyembunyikan untuk selamanya. Bapak menunggu waktu yang tepat ketika kamu
dewasa sehingga bisa mengerti dan berpikir jernih menerima penjelasan ini.
Kiranya Allah menhendaki saat inilah waktu yang tepat itu.”
Dhina hanya diam dengan perasaan tak
menentu menunggu cerita lebih lanjut dari Bapaknya serasa waktu melambat lama
sekali.
“Yang jelas Bapak dan ibu sangat
sayang kepada Dhina. Sejak Bayi umur satu bulan kamu menjadi anak Bapak dan
Ibu. Sampai kini kamu sudah sebesar dan sedewasa ini, kami sangat menyayangimu.
Nah sekarang setelah mengetahui kebenaran ini, terserah kamu. Tetap menyayangi
kami atau kamu ingin kembali kepada kedua orang tua kandungmu, kami tidak
masalah.”
“Berdasarkan unggahan seseorang di
FB ku, orang itu mengatakan bahwa orang tuaku masih hidup dan Saudara-saudara
kandungku ada sembilan orang. Kini mereka berada di Sumatra apa itu benar pak?”
tanya Dhina ingin tahu.
“Itu benar. Namun disana hanya
karena ada proyek pekerjaan, Kalau proyek selesai mereka pulang ke kampung
halaman. Kakak-kakakmu sudah menikah
tinggal di kecamatan Bandung Tulungagung, bersama kakek nenekmu.” jelas Bapak.
“Apa boleh suatu saat bersilaturahmi
ke rumah orang tua kandung Dhina?”
“Tentu saja sangat boleh dan harus.
Memang kamu wajib menyayangi mereka dan mencintai selain orang yang merawat dan
membesarkanmu, orang tua kandungmu dan saudara-saudaramu itu. Insyaa Allah pada
Hari Raya Idul Fitri kita bersama bersilaturahmi kesana, sambil bapak ibu
pulang kampung ke nenek kakek orang tua bapak.”
“Terima kasih Pak, Dhina tetap
Putrinya Bapak dan ibu Subagyo, sampai kapanpun.” Dhina merangkul Bapak dengan
erat, dan Ibu Subagyo yang baru selesai menyiapkan makan malam segera bergabung
dan merangkul mereka berdua, sesenggukan mereka bertiga menangis.
“Terima kasih ya Allah, atas segala
nikmat yang telah Kau berikan pada keluarga ini.”
Lega hati Dhina sudah mendapat keterangan
yang selama ini menjadi ganjalan. Bapak juga merasa plong telah mengungkapkan
suatu kebenaran kepada Putrinya. Mereka kemudian makan bersama di ruang makan,
dengan perasaan bahagia.
“Kamu sekarang kan sudah dewasa,
besok kalau kamu nikah maka bukan bapak yang menjadi wali nikahmu, tetapi orang
tua atau saudara kandungmu yang laki-laki.”
“Kok begitu pak?” tanya Dhina
“Iya karena bapak dan ibu, bukan
orang tua biologismu, secara agama islam kami tidak berhak menjadi wali yang
menikahkanmu.”
“Iya, makanya kamu harus tetap menghormati
dan menyayangi orang tua kandungmu selain menyayangi kami kedua orang tua
angkatmu.” Dhina, bapak dan ibu terdiam menelan nasi. Rasanya menjadi sesak di
tenggorokan, susah menelan walau hanya seteguk air sekalipun demi merasakan
makna kata-kata yang baru disampaikan oleh bapak. Terutama ibu merasa sangat
sedih bila mengingat bahwa keluarganya tidak beruntung dalam hidupnya erasa
tidak sempurna sebagai wanita.
EPISODE 9
Konflik Keluarga
Setelah menikah Dhina dan Gazali
tinggal di rumah pondok orang tua indah. Rumah bergaya minimalis di komplek
perumahan berkapling lebar, berpagar transparan tembus pandang. Di halaman
depan, samping kiri dan belakang berhias
tanaman hijau dan bunga-bunga, menjadikan rumah orang tuanya asri, sejuk dan menyenangkan.
Dengan para tetangga hidup rukun,
saling ramah bertegur sapa, saling bergotong royong. Kebetulan di rumah itu
kamarnya tiga, satu untuk bapak dan ibu, satu untuk Dhina sejak dia masih SMP,
satu lagi kamar tamu kosong, Dhina dan Gazali menempati kamar yang dulu
biasanya ditempati ketika belum menikah. Mereka tinggal di sana sampai anak
kedua lahir.
Gazali menepati janji setelah
menikah akan bekerja. Kini dia bekerja sebagai sales di suatu Perusahaan dengan gaji lumayan, UMR plus. Ibu melarang
kami masak sendiri, sementara masak jadi satu saja untuk satu keluarga, agar
tidak boros. Ibu menyarankan agar gaji suaminya
untuk beli susu dan keperluan anak.
Karakter Dhina dan suaminya itu sebelas
dua belas, hampir sama tidak sabarnya, sama kerasnya. Hal-hal kecil sering
menjadi pemicu pertengkaran. Ketika mereka belum punya anak tiada hari tanpa
pertengkaran. Mereka masing-masing saling mempertahankan ego, dan tidak ada
yang mau mengalah. Kalau tidak karena sungkan kepada Bapak, tidak berhenti bila
mereka bertengkar, terkadang Gazali menyakiti istrinya secara fisik.
Tujuh bulan kemudian anak pertama mereka
lahir laki-laki secara caesar. Kulitnya putih bersih, lucu ganteng dan
menggemaskan. Kami sekeluarga sangat menyayangi Satriya Nanda Gazali, nama anak
lelaki mereka.
Sejak punya Satriya, Gazali sedikit
menurun egonya. Sehingga sering mengalah bila bertengkar. Sebaliknya Dhina
justru sering marah sering menyalahkan orang lain. Gazali menjadi sasarannya
omelan, kemarahan, karena berbagai hal kecil terutama masalah ekonomi.
Seiring semakin bertumbuhnya fisik
dan jiwanya, Satriya semakin serba mengkawatirkan. Mencoba berdiri berpegangan
kaki meja, kemudian terjatuh, memakan apa saja yang ditemui dilantai, pokok
semakin membuat capek ibunya. Seperti biasa ada saja yang membuat Dhina harus
berteriak dan cerewet menegur dengan suara keras kepada anak dan suaminya.
Satriya telah tumbuh menjadi anak
yang sehat, gemuk cerdas dan tak mau diam. Akung Bagyo dan Uti sangat menyayangi dan cenderung
memanjakan. Hal demikian sering memicu pertengkaran dengan Utinya. Dhina tidak
ingin Uti terlalu ikut campur urusan mengasuh anaknya, Kadang kata-kata
menyakitkan yang meletup dari Mulut Dhina menjadikan sedih hati Uti.
Ketika Satriya berumur tiga tahun
bapak dan ibu Bagyo menunaikan ibadah Haji. Tanpa sepengetahuan bapak dan
ibunya Dhina mengandung lagi. Sayang usia kandungan baru berumur dua bulan
terjadi pendarahan dan kemudian keguguran. Mungkin karena tidak ada yang
mengingatkan maka saya kecapekan atau karena terlalu sering bepergian bersepeda
motor.
Para tetangga yang diserahi untuk
mengawasi mereka tidak tahu kalau sebenarnya Dhina sedang hamil. Tanpa sengaja
ketika tetangga dekat memperhatikan secara seksama, baru tahu kalau sebenarnya saya
baru saja keguguran itupun karena info perawat yang kebetulan kenalan tetangga
itu.
Dhina dan Gazali dimarahi oleh
tetangga yang diberi amanah oleh ibu selama pergi haji. Merka berdua hanya bisa
diam dan minta maaf. Setelah Dhina mengabari Ibu dan Bapak yang sedang di tanah
suci, beliau berdua berdo’a sambil
menangis mohon agar Dhina diberikan
kekuatan dan kesehatan. Semoga putrinya segera diberi kesempatan sekali lagi
untuk bisa mengandung dan mempunyai seorang putri yang cantik.
Alhamdulillah setahun setelah pulang
dari tanah suci, ketika Satriya berumur empat tahun. Allah mengabulkan
permohonan pak dan bu Bagyo, Dhina mengandung lagi. Pak dan Bu Bagyo mengawasi
dengan ketat agar Gazali dan Dhina sama-sama menjaga bayi dalam kandungnnya. Beliau
berdua wanti-wanti tidak boleh stress, tidak boleh banyak bepergian naik sepeda
motor, tidak boleh kecapekan. Semua itu dilakukan agar bayi dan ibunya selamat,
sehat, kuat sampai saatnya lahiran.
***
Cobaan datang ketika Dhina
mengandung adiknya Satriya. Perusahaan tempat Gazali bekerja tutup, karena alas
an target penjualan tak memuaskan., maka
kantornya dipindah ke Malang. Semua pegawai yang di Jember diberhentikan
dengan pesangon dua bulan gaji. Hal demikian memancing emosi Dhina naik dan
terkadang tidak terkendali.
“Sejak awal pernikahan kami itu
memang sudah tidak benar, maka beginilah jadinya. Ada saja penderitaan yang
datang menjadikan kekecewaan. Rasa malu dengan cemoohan orang karena kelahiran
anak pertama, ekonomi yang pas-pasan, dipecat dari pekerjaan, keguguran,
mengandung lagi anak kedua yang membutuhkan biaya besar lagi, karena lahirnya
harus Caesar karena anak pertama sudah Caesar,” omelan Dhina panjang kali lebar
kepada suaminya.
Kalau tidak ingat peringatan
mertuanya agar menjaga jangan sampai istrinya yang lagi mengandung itu menjadi
stress maka Gazali hanya diam namun mengeluh pada ibunya di desa.
Gazali sangat tersinggung karena
omelan istrinya ”Okey kalau memang kamu menyesal dengan perkawinan kita, maka
kitaucerai saat ini.” ucapan Gazali sangat terdengar oleh bapak dan ibu
mertuanya.
“Jangan berkata sembarangan. Bila
suami mengatakan CERAI maka seketika itu hubungan suami istri telah putus. Maka
sementara Gazali silahkan pulang ke rumah orang tuamu, saya akan
mengkonsultasikan dengan KUA. Saya beri waktu tiga bulan kamu tidak boleh datang
kesini sebelum ada surat keputus cerai dari Pengadilan Agama.” tegas pak Bagyo
kepada menantunya.
Entah karena patuh atau karena
marah, Gazali pulang ke orang tuanya di desa. Bapakdan ibunya di desa
bertanya-tanya ingin tahu ada permasalahan apa dengan anak lelakinya.
Pak Bagyo segera berkonsultasi
dengan KUA tentang suami yang mengatakan CERAI di depan istrinya dikala marah
apakah otomatis benar-benar sudah putus hubungan suami istri. Untuk resmi cerai
maka suami istri harus melalui sidang dan kemudian diputuskan cerai atau tidak
dengan memberikan surat keterangan cerai atau tidak dari Pengadilan Agama. Jadi
tidak hanya sekedar lisan begitu, begitu keterangan dari KUA.
Baru satu minggu Gazali pulang ke
desa, dia sudah dating lagi ingin minta maaf dan bertemu istri dan anak-anaknya.
Pak Bagyo memperbolehkan asal istrinya dan anaknya mau. Ternyata hanya Satriya
yang menemuinya ditemani Pak Bagyo. Mata Gazali berkaca-kaca melihat anak
kesayangannya, dipeluk dan dielus-elus kepalanya. anaknya hanya diam saja.
“Pak saya mohon maaf, ijinkan saya
bertemu istriku sebentar saja.” pintanya sambil menangis memelas.
“Bukan saya tidak mengijinkan kamu. Tahukan
sikap istrimu kalau lagi marah seperti bagaimana? Ya bersabarlah, besok minggu
kamu datang ke sini lagi. Biarlah bapak memberi nasehat agar istrimu mau
memaafkan dan mau menemuimu.” kata pak Bagyo, yang kemudian meninggalkan Gazali
menemui dan membujuk Dhina agar mau menemui. Denga nagak malas Dhina keluar
dari kamar menemui suaminya. Gazali berdiri ingin memeluk istrinya namun
istrinya menolak.
“Jangan pernah datang sebelum dia
dapat pekerjaan di perusahaan lain dan memperbaiki ucapannya yang akan
menceraikan saya.” berkata Dhina pada suaminya, lalu ditinggalkan begitu saja.
“Sudah sekarang sebaiknya Gazali
pulang dulu, seminggu lagi silahkan datang mungkin sudah mereda amarahnya.”
kata pak Bagyo
Seminggu kemudian Gazali datang lagi
hasilnya nihil, istri dan anaknya tidak mau menemui. Istrimu mengatakan “Jangan
pernah datang sebelum .dapat pekerjaan di perusahaan lain” kata istrinya lewat
mertuanya.
“Baiklah pak saya permisi dan akan datang
lagi ketika sudah mendapat pekerjaan.” Dia mencium punggung tangan mertuanya
lalu pulang kerumah orang tuanya di desa.
Gazali langsung menghubungi
teman-temannya kalau-kalau ada lowongan pekerjaan untuknya. Beruntung Allah
memberi jalan, teman yang menjadi supervisor di perusahaan lain menghubungi.
Gazali diminta segera mengajukan lamaran untuk mengisi kekurangan karyawan
bagian sales. Dia langsung melamar direkomendasikan oleh temannya itu dan berhasil
diterima
Sebulan kemudian dia datang sambil membawa
kabar bahwa dia sudah dapat pekerjaan sales di perusahaan lain. Dia menunjukkan
surat diterima sebagai sales di perusahaan lain. Surat itu ditunjukkan kepada pak
Bagyo. Beliau lalu menemui Dhina. “Suamimu sudah dapat pekerjaan.” Dia mau
menemui suaminya. Sementara itu Satriya bermain dengan Uti di dapur dan pak
Bagyo meninggalkan mereka berdua menyelesaikan masalahnya.
“Bagaimana kamu langsung dapat
pekerjaan?” tanya Dhina sinis.
“Sebenarnya saya tidak diam, saya
juga berusaha mencari, namun kalau belum dapat mau bagaimana saya,” jawab
Gazali
“Mana buktinya kalau kamu diterima
kerja?”
“Ini suratnya.” Gazali memberikan
surat dalam amplop coklat muda dari tas kecilnya.
“Alhamdulillah, ini rejekimu nduk.”
kata Dhina, surat itu diusapkan ke perut gendutnya.
“Nah sekarang bagaimana masalah
ucapanmu yang akan menceraikan saya itu. Kalau kamu serius saya siap,” tegas
Dhina
“Maafkan saya, jangan ulangi kata
itu lagi saya tak akan sanggup berpisah dengan kalian.” Gazali memohon sambil
menangis. Pada dasarnya Dhina juga berat bila berpisah kasihan Satriya dan anak
yang masih dalam kandungannya.
Dhina memanggil Satriya, kemudian
disuruh dia mencium punggung tang bapaknya, mereka bertiga berangkulan
sesenggukan menangis bersama.
Lega sudah hati mereka masalah bisa
diselesaikan Bersama dengan happy ending, Pak Bagyo yang mengintip dari dapur
segera ke ruang tamu menemui mereka.
“Pak terima kasih saya senang
bertemu mereka sekarang saya ijin pulang”
“Masih ingin melanjutkan cerai?
Kalau iya urus surat cerai ke Pengadilan Agama.”
“Tidak pak, saya masih sayang dengan
mereka.”
“Kamu sudah boleh kembali ke rumah
ini bersama istri dan anakmu Iagi. jangan sembarangan bilang CERAI di depan
istrimu. Ingat istrimu hamil tua sebentar lagi lahiran. Hati-hati kalau
bertindak. Bagi kamu Dhin kalau ngomong juga diatur, pilih kata-kata yang
menenangkan jangan sukur ngomong saja. Orang lain itu punya hati yang isa juga
sakit karena perkataanmu itu.”
***
Suatu siang Satriya habis main sepeda
di jalanan gang. Satriya ke dapur minta minum es cream buatan nenek sendiri.
Ibunya yang baru bangun tidur menidurkan adik bayi, langsung nerocos.
“Satriya makan apa kamu?”
“Es cream buatan Uti.” jawabnya
sambil ketakutan
“Awas kalau nanti sampai batuk”
Mendengar tegoran itu Uti kecewa
berat, karena cucunya yang tadinya kelihatan senang menjadi takut. Es cream
yang belum habis disuruh buang oleh ibunya. Satriya minta Roti tawar di tuangi
milk. Mama komentar lagi
“Nanti kalau sampai batuk, awas mama
tak punya uang untuk berobat ke dokter. Sudah makan es cream masih makan yang
manis-manis, dasar gragas seperti tidak pernah makan.”
Akung dan Uti sangat tersinggung
dengan cara menegur cucunya dengan kata kasar seperti itu. Namun tetap diam
menahan perasaan tidak sukanya pada Dhina. Mereka sangat menjaga agar tidak
marah dan menegur waktu itu. Sikap orang berperilaku Playing Victim itu bisa
kambuh.
Kalau kambuh tidak mau disalahkan,
tidak mau menerima masukan, marah-marah, mengajak berdebat habis-habisan dan
menyalahkan orang lain sambil menyampaikan kalimat bernada terdzolimi “Kenapa
mesti saya yang selalu disalahkan, apa tidak boleh melindungi anakku agar tidak
sakit.?”
Saat tidur dimalam hari Satriya
batuk-batuk dan badannya panas. Malam-malam itu juga Satriya diomeli
habis-habisan dengan kata-kata kotor, .dengan kasar di usap tubuhnya, dadanya
lehernya dengan vicks, lalu disuruh minum obat batuk yang selalu disediakan
setiap saat Karena memang Satriya
anaknya rentan sakit. kalau sudah minum air putih dan kemudian minum obat dia in
syaa Allah sembuh.
Pagi-pagi sekali Dhina sudah menulis
di WA group keluarga Bagyo panjang lebar, yang intinya menyalahkan ibunya yang
telah memberi makanan yang seharusnya tidak boleh dimakan oleh anaknya. Padahal
kenyataannya kemarin minggu siang anak hanya diberi es cream, roti tawar di lumuri milk sedikit. Bapak
melarang bu Bagyo membalas, atau mengklarifikasi agar tidak dimusuhi anaknya.
Pak Bagyo yang telah membaca
celotehan amarah Dhina hanya membalas tidak lewat media sosial, dikatakan
langsung Kepada Dhina.
“Jangan dibiasakan menyalahkan orang
lain.”
“Kemarin memang Ibu telah ngasih
cucunya es cream, dan Roti tawar pakai milk kental manis.”
“Pada dasarnya sakit itu karena
kehendak Allah, kalau tidak dikehendaki sakit oleh Allah makan seperti itu ya
tidak akan sakit.” jawab pak Bagyo
“Iya namun manusia di wajibkan
ihtiar. Dengan tidak makan sembarangan supaya tidak sakit.” Jawab Dhina
“Kamu benar, intinya jangan selalu
menyalahkan orang lain. Coba kamu ingat, pada malam minggunya Satriya kalian
ajak keluar lalu kau belikan makan apa? atau mereka masuk angin dan kebetulan
minggu paginya diberi makan itu oleh Utinya, kamu langsung menyalankan ibumu.”
“Bapak selalu membela ibu, selalu
menyalahkan saya. Kan memang ibu yang bersalah.”
”Bapak sudah menasehati Ibumu juga,
agar berhati-hati memberi sesuatu pada cucunya. Mungkin kamu benar, namun
sebagai anak tidak pantas membuat hati orang tua sedih, dengan ucapan dan
perilaku kasar dan bernada keras seperti itu.”
“Ibu selalu ngeyel dan membuat
alasan kalau ditegur dengan baik-baik.”
“Sikapmu yang demikian itu coba
dirubah lebih santun kepada orang tua atau kepada siapa saja.”
“Kalau orang lain menyakiti saya apa
tidak boleh saya membalasnya? kalau seperti itu dunia tidak adil.”
“Kalau tidak mau dinasehati ya sudah
terserah kamu saja.” Bapak menutup debatnya.
Satu hari berikutnya bu Bagyo yang
sedang sibuk memasak di dapur kaget karena tiba-tiba Dhina sudah nerocos
menumpahkan kekesalannya yang kemarin melalui WA dirasa belum tuntas, karena
Ibunya tidak koment sama sekali.
“Buk, Ibu mengaku salah apa tidak
bahwa kemarin telah memberikan makan dan miniman kepada anakku.” kata-katanya
bernada keras karena marah. Bu Bagyo masih diam, ingat pesan pak Bagyo
suaminya. Namun Dhina semakin marah
“Buk ibuk, jangan diam saja, biar
Bapak tahu kalau bukan saya yang salah, tetapi ibuk yang sebenarnya selalu
salah faham dan pandai mencari alasan kalau saya beri tau “anallu jangan diberi
makan minum yang bisa
menyebabkan sakit.”
“Iya kalau menurutmu Ibu salah,
baiklah sejak sekarang jagalah anakmu jangan sampai mendekati ibu, agar tidak
kena sakit.” jawab ibunya dengan kalimat bergetar karena sambil marah dan menangis
Mendengar ramai-ramai orang
bertengkar di rumah, pak Bagyo yang datang dari tetangga, langsung menjuju
dapur menghampiri di tempat mereka sedang bertengkar.
“Diam” bentak Bapak sangat keras,
sehingga yang bertengkar berhenti seketika. Mata Dhina melotot marah, anaknya
diam di kamar dengan ketakutan.
“Kalau kamu sudah mandiri tanpa bantuan
bapak dan ibu, kamu boleh ngomong begitu. Namun bila selama ini dalam banyak
hal kamu masih harus bergantung kepada bapak ibu jangan pernah sombong di depan
bapak dan ibumu.”
Dilain kesempatan bapak berpesan
pada ibu “Ingat jangan terlalu memberi perhatian padanya. Agar dia tidak besar
kepala. agar dia merasa bersalah kepada orang tua dan mau merubah perilakunya”
Bapak cenderung diam, hanya bicara dengan Gazali itupun seperlunya. Kepada
Dhina bapak sengaja membiarkan dan diam sampai dia berubah.
Sebenarnya tiba-tiba menyakiti hati,
marah dan bertengkar dengan ibunya itu sudah sering kali dilakukan. Bapaknya
pun sudah sering menegur langsung namun orang tua cenderung mengalah, tidak mau
ramai, malu terhadap para tetangga.
Waktu berjalan dengan kondisi yang masih
sama seperti itu. Dina tidak hanya kepada ibu, kepada suami kepada Satriya
kepada Natasya anak keduanya juga seperti itu, bahkan kepada mertuanya juga
berani berdebat bila hatinya tersinggung.
Bapak dan ibu memang selalu
melindungi terutama kepada cucu-cucunya bila didzolimi oleh Dhina dan ayahnya.
Hal demikian dilakukan karena Bapak tidak ingin cucu-cucunya mengalami gangguan
mental setelah dewasa nanti.
Bila keterlaluan Bapak tidak segan bertindak
mengingatkan kalau bisa dengan mulut, kalau tidak dengan tangan sekalipun
pernah dilakukan.
EPISODE 10
Perenungan Dhina
Sejak masa anak-anak hingga masa
dewasa, banyak hal buruk yang dia lakukan. Herannya pada waktu itu tidak pernah
merasa menyesal sedikitpun terhadap apa yang dia lakukan.
Setelah dilamar oleh Imam Gazali,
Rizkya Rahmadhina sempat merenung tentang apa yang selama ini telah
dilakukannya. Orang tua angkat yang begitu baik dan perhatian kuanggap sebagai
musuh dan sebagai sasaran balas dendam dan kebencian. Terutama Ibu angkatku.
Entah apa sebabnya sayapun tidak menyadarinya dan kalau ditanya mengapa,
sayapun tidak bisa menjawab.
Sejak hari lamaran yang spontanitas
tanpa upacara tanpa cincin pertunangan tanpa kehadiran saudara kecuali hanya
Bapak dan Ibu angkatku, hanya ucapan kata-kata saja yang disampaikan oleh Ayah
Gozali dan kata-kata dari mulut Gozali sendiri.
Meresapi pembicaraan Bapak dengan
keluarga Gazali, Dhina merasa sesak dadanya dan ciut hatinya akan menjalani
masa depan, bila terjadi seperti apa yang diuraikan panjang lebar oleh Bapak.
Mengingat itu semua rasanya ingin lari saja dari rumah sejauh-jauhnya, kembali
kepada orang tua kandungnya.
Suatu saat bakdha Ashar Dhina minta
diantar Ibu angkatnya ke terminal. Katanya dia ingin rekreasi bersama
teman-temannya. Bu Bagyo tidak menaruh curiga sama sekali, ketika Dhina
menyuruh Ibu meninggalkan dirinya sendirian di terminal. Bu Bagyo pesan
hati-hati jangan kecapekan ingat kamu sedang mengandung.
Lama di terminal, Dhina melamun
entah apa yang dilamunkan. Dia terkejut ketika kenek bus menawarkan bahwa bus
ke Surabaya segera berangkat. Dhina mencangklong tasnya dipundak segera naik
bus ke Surabaya dengan pikiran kalut tak menentu. Namun dia turun lagi karena
perutnya terasa sangat sakit.
Kira-kira setelah adzan maghrib,
Gazali dapat telephon dari Dhina, supaya dia di jemput. Dia sekarang ada di
terminal Probolinggo, perutnya merasa sakit dan muntah-muntah. Gazali segera
memberi tahu Pak Bagyo tentang hal ini. Kebetulan beliau sedang rapat di Malang
sehingga tak bisa menjemput anaknya.
Pak Bagyo menelphon istrinya di
rumah, agar minta tolong pada Gazali. Bu Bagyo dengan rasa kawatir, minta
bantuan kepada Gazali untuk menjemput Dhina yang kondisinya lagi sakit
tersebut.
Pukul sebelas malam mereka berdua
datang. Gazali memapah Dhina yang menunjukkan wajah meringis-meringis kesakitan,
masuk dan dibaringkan di tempat tidur kamar Dhina. Bu Bagyo segera mengambil
obat gosok cap beruwang digosokkan pada perut dan hidungnya. Bu Bagyo sangat
kawatir, maka Dhina dinasehati dan diberondong berbagai pertanyaan tentang
mengapa dan mau kemana tujuan perginya. Dan telah berbohong bahwa dia akan
rekreasi dengan teman-teman.
“Aku sedang banyak pikiran, ibu.
Pikiranku sedang kacau mengenai masa depan yang akan kujalani. Aku sadar itu
semua karena salahku. Ibu, Maafkan aku.” Dhina menangis di pelukan Ibu.
Bu Bagyo bertanya-tanya dalam hati
tuluskah dia dengan segala ucapannya itu?. Menyesalkah dia dan akan merubah
segala sikap dan perilakunya menjadi lebih baik, setelah nantinya berkeluarga?
Semuanya menjadi tanda tanya besar,
mengingat beratnya masalah yang akan dihadapi dimasa depan bersama
Gazali yang sebenarnya masih belum siap untuk berrumah-tangga. Hanya karena
keadaan yang kemudian mereka memberanikan diri memproklamirkan mengarungi
samodra raya mengayuh bahtera keluarga.
EPISODE 11
Victim Mentality.
Sebuah teori kesehatan mengajarkan
tentang gangguan jiwa yang disebut Playing Victim atau Victim
Mentality. Flaying victim adalah
sifat manusia, yang dilakukan di sekitar rumah atau tempat kerja. Ini adalah
tindakan pembuat masalah yang berlagak jadi korban dan merasa sebagai orang
paling menderita. Orang ini biasanya merasa seolah-olah dia yang paling
tersakiti atau paling menderita. Meskipun sebenarnya merekalah yang memancing-mancing permasalahan terlebih
dahulu terhadap orang lain.
Sebenarnya
seseorang tersebut berbuat kesalahan karena ingin menghindari kesalahannya
sendiri, dengan melimpahkannya pada orang lain. Dan dia memposisikan dirinya
sebagai korban. Kondisi tersebut tentu akan merugikan orang lain di sekitarnya.
Namun orang yang melakukan tindakan Victim Mentality tidak menyadari dan
tidak peduli bahwa tindakan yang dilakukannya telah merugikan orang lain.
Rizkya
Rahmadhina putri pak Bagyo, menunjukkan gejala seperti itu. Sulit mengatasi
masalah hidup dan merasa tidak mampu mengatasinya. Dia merasa terjebak dalam
kesulitan hidup, dan melihat segala
sesuatu dengan sifat negatif.
Bagi
orang yang mengalami mentality victim memang sengaja membiarkan pikiran
negatif itu mengusai alam pikirannya. Sesungguhnya kalau mereka mau berpikir positif,
bahwa manusia hidup itu tidak akan pernah lepas dari yang namanya masalah.
Mana
ada manusia yang tidak punya masalah. Satu masalah selesai, segera menyusul
masalah yang lain lagi. Justru itulah
tandanya manusia masih hidup. Kalau sudah matipun manusia masih akan mengalami
masalah di alam yang berbeda. Namun sudah tidak bisa berupaya keluar dari
masalahnya itu.
Orang
yang Mentality victim merasa diserang kalau ada yang memberikan masukan
atau saran yang membangun. Ada semacam mental blok dalam otaknya yang
memerintahkan dirinya untuk menolak segala macam masukan. Sehingga sulit
membuat perubahan dalam dirinya sendiri.
Celakanya
Dhina justru bergaul dengan orang yang suka mengeluh dan suka menyalahkan orang
lain. Coba dia mau bergaul dan menerima pembelajaran dari orang yang berpikir
positif Insyaa Allah hasilnya akan berbeda. Kata orang yang ahli hypno
terapy tidak gampang membuka mental blok itu. Namun demikian bukan berarti
tidak bisa.
Dhina
selalu merasa tidak mendapat dukungan orang lain. Ya masalahnya mereka tidak
atau kurang mau empati terhadap masalah yang dihadapi orang lain. Dia hanya
sibuk mengasihani dirinya sendiri.
Harga
dirinya yang rendah, sehingga tidak mampu menguatkan tekatnya untuk meraih
kehidupan yang lebih baik. Sering
merenungkan beragam situasi yang serba negatif dan selalu berpikir dunia tidak
adil. Dia beranggapan bahwa kegagalan adalah segala sesuatu yang sifatnya
permanen. Padahal kenyatannya di dunia ini tidak ada yang sifatnya permanen.
Apa
sih di dunia ini yang tidak bisa berubah, asal mau berusaha untuk merubah diri.
Mempunyai perasaan tidak berdaya inilah salah satu penyebab Dhina tidak mampu
memperjuangkan dirinya menjadi lebih baik. Cenderung melakukan hal-hal yang
berbahaya untuk menarik simpati orang lain kepadanya. Dhina selalu iri dan
merasa orang lain memiliki hidup lebih baik dibanding dirinya. Namun dia tidak
mau mencoba mencari solusi akar masalahnya. Justru hanya fokus pada masalahnya,
menyesali mengapa hanya dia yang diakrabi oleh berbagai masalah. Dia pesimis akan berhasil dalam memecahkan
masalahnya.
Bersikap
argumentatif dari sudut pandang dirinya sendiri untuk melawan frustasi yang dialaminya.
Lalu
menyalahkan orang lain saat terjadi sesuatu yang tidak baik. Dia selalu
beranggapan bahwa orang lain lebih mudah sukses dibanding dirinya. Dhina sangat meyakini bahwa dirinya sebagai
target kesalahan saat terjadi hal buruk. Padahal kenyataannya tidak seperti
itu. Makanya bila kondisi marah dia menyampaikan argumennya yang terkadang masuk akal dan terkadang tidak. Dalam
mengakiri argumennya dia selalu mengatakan “kok aku saja yang selalu
disalahkan.”
Pak
Bagyo ayah Dhina merasa sangat sedih dan kasihan melihat putrinya yang
mengalami kondisi seperti itu. Beliau berpikir sebenarnya apa yang telah
menyebabkan Putri yang dimasa kecilnya selalu disayang dan dimanjakannya berubah
menjadi seperti itu.
Apakah
barang kali hal demikian sudah menjadi
watak atau karakter bawaan sejak lahir. Kalau memang demikian beliau yakin
Allah mencipta sesuatu itu memang ada kelebihan dan kekurangannya. Pastilah ada
hikmah dibalik semua itu. Bisa juga karena pembelajaran atau pengalaman yang
pernah dilihat, dirasakan atau dialami dimasa lalu.
Pengalaman
dan ilmu yang pernah dibaca, sebagai mantan Kepala sekolah menurut pak Bagyo
antara lain seseorang yang mengalami Flaying Victim itu karena beberapa hal.
Pertama karena Trauma, terhadap suatu peristiwa yang kurang menyenangkan
dimasa lalu. Pak Bagyo mencoba mengingat kiranya trauma apakah yang telah
dialami putri tersayangnya itu. Ketika masih SD dia dibuli, dipalak oleh teman
sekelasnya. Pernah juga dipukul dengan besi oleh tetangganya seumuran waktu dia
bermain bersama. Pak Bagyo sendiri pernah memarahi terlalu keras ketika suatu
saat dia bersalah. Biasanya di waktu kecil Dhina kalau bapaknya marah, dia
memang sangat ketakutan.
Satu
kali pernah Pak Bagyo menampar pipi putrinya dan memukul pakai sapu lidi dimasa
remajanya, karena dinasehati selalu menjawab dan menantang. “Ya Allah maaf kan
hambamu yang tidak mampu berbuat sabar terhadap putri sendiri.” berkaca-kaca
mata pak Bagyo sedih dalam penyesalan.
Pernah
menjadi korban seseorang yang pernah menjadi korban
pengkianatan terlebih jika hal tersebut terjadi berulang kali, akibatnya
seseorang selalu merasa jadi korban dan kehilangan rasa percaya kepada orang
lain.
Apakah
mungkin Dhina mengalami seperti tersebut diatas? Kalau menurut Pengakuan Imam
Gazali pacarnya dan Dhina sendiri mengaku bahwa hubungan diluar nikah itu
terjadi akhir-akhir ini diusia dewasa, berdasarkan perbuatan suka sama suka.
Sepertinya faktor ini bukan penyebab baginya.
Sebagai
bentuk manipulasi. Bisa juga sebagai bentuk kesengajaan untuk
memanipulasi orang lain. Misalnya membuat orang lain merasa bersalah, menarik
simpati atau hal lain sesuai keinginannya. Masalah ini mungkin saja terjadi
karena Dhina ingin membalas dendam pada kami kedua orang tuanya karena pernah
memarahi dan bahkan menghukum dia ketika dia melakukan kesalahan berat.
Mencari
Keuntungan. Mungkin saja bisa terjadi saat seseorang
merasa nyaman mendapat keuntungan yang diperoleh saat menjadi korban. Maka dari
itu orang tersebut merasa ketagihan untuk selalu diposisi sebagai korban.
Beberapa keuntungan yang didapat saat menjadi korban antara lain : dapat
memainkan drama, terhindar dari amarah orang lain, banyak orang yang akhirnya
memberi bantuan, tidak perlu tanggung
jawab atas kesalahannya sendiri.
Apapun
penyebabnya Pak Bagyo merasa sangat bersalah telah kurang memperhatikan
perkembangan jiwa Putrinya sejak dini.
EPISODE 12
Berbagai Solusi
Pak Bagyo menyesali segala
perbuatannya. Merasa sangat bersalah terhadap Dhina Rahmadhina Putri
kesangannya. Walau sebenarnya beliau sesekali
merasa merasa jengkel bila putrinya bertengkar dan sering membuat Ibunya menangis
karena hunjaman kata-kata yang menyakitkan. Pak Bagyo dengan sabar memberi
pengertian pada istrinya tentang apa yang harus dilakukan oleh anaknya yang
seperti itu.
“Kami tidak kurang-kurang mengasihi
anak kami, namun sebagai manusia beragama bila merasa sudah tak mampu menangani,
maka kita serahkan semua masalah kita ini kepada Allah SWT. Nabi Adam AS, Nabi Nuh AS, Nabi Yakub AS saja
orang pilihan Allah tidak luput dari ujian melalui anaknya apa lagi kita
manusia biasa.” pak Bagyo menenangkan pada istrinya.
Kemudian Pak Bagyo mengajak istrinya
untuk mencoba beberapa cara menyikapi Dhina anak kita yang nota bene
berperilaku menyimpang (Flaying Victim). Menurut literatur yang saya baca di
media social www.alodokter.com dan www.gramedia.com adalah sebagi berikut :
Cara pertama kita harus menjalin komunikasi
dengan baik sambil mencari tahu alasan ia melakukan hal tersebut. Dengan memahami alasannya, kita bisa mengerti
kondisinya dan dapat membantu dengan tepat. Bisa saja dia melakukan tindakan
tersebut karena kurang percaya diri, rendah diri, hingga depresi.
Jika sudah mengetahui alasannya, berikanlah
dukungan dan bantuan agar anak kita bisa menghilangkan kebiasaan buruknya itu.
Ketika memulai percakapan dengan dia, berikanlah kesempatan kepadanya untuk
mengutarakan perasaannya. Kemudain ajak agar bisa mengekspresikan keinginannya.
Tak hanya itu, jaga komunikasi dengannya, agar
tidak menyebutnya sebagai orang yang selalu membuat masalah. Bagi sebagian
orang, berinteraksi dengan seseorang yang begini ini tidak mudah. Namun kita
juga harus menyadari bahwa anak kita mungkin pernah melalui peristiwa yang
menyulitkan dirinya. Sehingga sebagai orang tua alangkah baiknya jika kita
tidak mengucilkannya. Ingat tidak mudah untuk melakukan itu semua.
Cara kedua memberikan batas, jangan
terlalu Perhatian.
Setelah cara pertama diatas dilakukan diharapkan berhasil mengubah dirinya yang biasa berpikir negatif
menjadi berpikir positif. Jangan terlalu menaruh perhatian kepadanya.
Biarlah
dia yang mencoba menaruh perhatian kepada kita. Sebab dengan terlalu perhatian kepadanya, akan membuat dia
semakin besar kepala dan tidak menyadari kesalahannya. Awas hindari perdebatan,
karena hanya akan memperkeruh suasana. Apa lagi menghadapi seorang yang pernah
mengalami trauma dan bermental tidak sehat. Membiarkan dia memikul tanggung jawab sendiri, agar menyadari
bahwa hal yang dilakukannya bisa merugikan orang lain.
Cara
ketiga memberikan bantuan berupa solusi yaitu bisa dengan mencoba menawarkan bantuan.
Kita harus mengakui kepercayaannya pada kita. Bahwa ia tidak dapat berbuat
sesuatu terhadap situasi dan kondisi yang sedang dihadapinya. jangan disangkal.
Kita harus bertanya apa yang akan dilakukannya apabila mempunyai kekuatan untuk
melakukan sesuatu. Lalu kita ajak berdiskusi untuk membantunya mencapai tujuan
yang diinginkan.
Cara
yang ke empat, langsung memberi tahu terkait sikapnya yang menganggu.
Jangan hanya memberi tahu bahwa dirinya mengidap penyakit victim mentality, dia
akan mudah mengelak. Perlu sedikit tegas dengan memberikan penekanan bahwa
sikapnya telah menganggu banyak orang lainnya hingga dia tidak dapat
bersandiwara dan mencari simpati orang lain lagi. Hati-hati bila menegor,
karena dia pasti akan mengajak debat dengan tidak ketinggalan dia mengatakan
“Kok saya tok yang disalahkan, orang lain selalu benar.” dikatakan sambil
marah.
“Aduh
pak terlalu panjang dan teoritis begitu, bagaimana melaksanakannya.?” kata Bu
Bagyo sambil bersungut-sungut.
“Yah
ambil point-point yang kamu ingat saja namun intinya lihatlah situasinya,
ajaklah bicara seperlunya, jangan berdebat, tetaplah ajak berkomunikasi, gitu
lo istriku tersayang.” goda pak Bagyo
“Halah
rayuan gombal.” Bu Bagyo merajuk
“Lho
itu bukan gombal, tugas kita bersama, kalau hanya saya yang mengerti dan ibu
tidak mengerti, ya yang sering menjadi sasaran kemarahan Dhina itu kan Ibu.
Biar ibu bisa menyikapi dengan tepat. Are you okey Mom?” lagi-lagi pak Bagyo
menggoda istrinya.
“iya...
iya kita coba bersama-sama. Bismillah semoga berhasil.”
“Aamiin
Yaa Robbal Alamin.”
Selain
berusaha secara langsung oleh kedua orang tuanya, melalui fihak lain juga
bagus, Misalnya minta tolong dengan psikiater ahli terapy mental, Hypno terapy,
terutama oleh orang yang Dhina belum pernah mengenal mereka. Kalau sudah
mengenal, dia biasanya menolak atau kurang yakin. Sesuatu yang dikerjakan
dengan tidak ada keyakinan biasanya akan gagal.
Pak Bagyo sudah mencoba hampir
seluruh yang diceritakan diatas sehingga Dhina segan kepada bapaknya untuk marah,
membentak dan mengajak bertengkar. Namun kalau kepada Bu Bagyo karena berbagai
hal tidak tega, hatinya juga keras maka menjadi sasaran empuk bagi Dhina untuk
melampiaskan kemarahan sekecil apapun masalahnya. Misalnya bu Bagyo membiarkan
cucu makan es krim, itu saja bisa menyebabkan Dhina marah sambal menyemburkan
kata-kata pedas.
“Tidak mempunyai anak itu ujian,
mengangkat anak itu juga ujian, mempunyai anak kandung itu juga ujian. Sebagai
orang mukmin hanya dua pilihannya. bersabar dan bersyukur. Bersabar bila
mengalami musibah atau ujian, bersyukur bila mendapatkan rezeki atau lepas dari
musibah.” Gumam pak Bagyo
Allah tidak akan menguji diluar
kemampuan hambanya. Sesungguhnya hamba
wajibnya hanya berusaha semaksimal mungkin, selebihnya Dia yang Maha
menentukan,
EPISODE 13
Membuat Prestasi
Pada Episode sebelumnya diceritakan
bahwa setelah menikah delapan bulan, anak pertama lahir laki-laki diberi nama
Satriya Nanda Gazali. Empat tahun kemudian Lahir anak kedua secara Caesar
wanita cantik kulitnya kuning langsat gemol lucu menggemaskan. seperti ibu dan
kakaknya yang tubuhnya subur segar. Putri tersebut diberi nama Natasya
Salsabila Gazali. Umur lima tahun Satriya Nanda Gazali. sudah sekolah di TK
Kusuma Bangsa.
Nyonya Dhina Gazali sangat berambisi
mendidik anak pertamanya untuk meraih suatu prestasi. Dengan disiplin tinggi
ala militer Ny Dhina ingin menjadikan anaknya sebagai anak yang sukses. Sejak
TK A Satriya ditarget harus tiga besar di kelasnya. Untuk mencapai hal tersebut
dia dipacu untuk belajar keras terhadap semua pelajaran sampai benar benar
selesai dan menguasai materi pelajaran yang sedang dipelajari dengan kondisi
penuh tekanan.
Tidak ada kata lelah, lapar,
mengantuk apa lagi malas. Bentakan dan kena cubitan atau pukulan kecil pakai
penggaris ditangan dan kakinya. Satriya tidak berani menangis sampai
mengeluarkan suara, pasti dampaknya dapat omelan panjang lebar di cecarkan.
Hanya sesenggukan menahan kesal dan pilu di hatinya.
Memang sih ada hasilnya, Satriya
selalu rangking satu, terkadang dua, atau paling jelek tiga. Bila rangkingnya 4
– 7, alamat dia kena tindakan pressing dari ibunya. Tidak boleh main,
tidak boleh lihat TV, harus terus belajar seharian sampai dia melapor pada ibunya
bahwa tugas sudah selesai. dia di tes
kalau bisa jawab semua pertanyaan baru boleh istirahat.
Gazali suaminya tidak tahu masalah
itu atau mungkin tahu namun tidak berdaya dengan kekerasan istrinya. Sebenarnya
sifat keduanya hampir sama, namun Gazali lebih sering bisa mengendalikan. Sedang istrinya cenderung
tidak mengendalikan diri. Karena itulah sering keduanya bertengkar kalau
emosinya sudah saling lepas kendali.
Pak dan Bu Bagyo yang cenderung
sangat sayang dan terkesan memanjakan cucunya sangat tidak setuju cara mendidik
anak seperti itu. Pak Bagyo juga adalah seorang pendidik senior, tentu sudah
memiliki ilmu mendidik yang baik. Maka sering terjadi cekcok dengan Ny
Dhina. Mereka tidak suka melihat cucunya
yang masih kecil diperlakukan seperti itu. Pak Bagyo berpikir bahwa Dhina
melakukan tindakan tersebut tidak manusiawi dan merupakan tindakan balas dendam
karena Dhina merasa bahwa dahulu dirinya tidak bisa sukses. Maka anaknya harus
menjadi seorang yang sukses, tidak peduli anaknya merasa menderita batin atau
tidak, yang penting Dhina puas melihat anaknya sukses.
Usahanya itu memang berhasil. Anaknya
selalu rangking dikelasnya, juara hapalan surat-surat pendek, selalu ditunjuk
mewakili sekolah dalam berbagai lomba antar sekolah.
Dhina tidak mau menerima saran dari
siapapun tentang cara mendidik anaknya. Dia selalu mengatakan “Ini anak saya,
terserah saya mau saya apakan” Kalau sudah demikian sikap Flaying Victimnya
muncul, diterapkan kepada Satriya maupun kepada kedua orang tuanya. Suaminya
Gazali tidak begitu mengambil peran dalam pendidikan anaknya karena Gazali
lebih fokus pada bekerja mencari uang untuk keluarga kecilnya.
Suatu saat Gazali sedang bercengkerama dengan putri kecilnya, dan
Satriya. Iseng dia bertanya kepada Satriya.
“Mas, kamu senang tidak punya adik
perempuan cantik, lucu dan gemol ini?” tanya Ayahnya.
“Senang, namun lebih senang kalau
adik laki-laki.”
“Kenapa?”
“Bisa diajak main tinju-tinjuan,
tendang-tendangan, sepak bola, perang-perangan.”
Ayah Gazali kecewa dengan jawaban anak
lelakinya. Kemarin siang ia juga sewot digoda teman kerjanya dengan mengatakan
“Zal kamu itu lo hitam, jelek, istrimu,
anakmu cantik, ganteng, kulitnya bersih kuning, jangan-jangan ……..” Gazali yang
sebenarnya juga temperamental itu marah
“Mulutmu dijaga kalau bicara” Dia
meloncat langsung memukul mulut temannya, untung bisa mengelak.
Pak Very supervisor yang kebetulan
melihat kejadian itu menyuruh satpam melerai dan memanggil keduanya ke kantor.
Keduanya di nasehati baik-baik, agar bisa menjaga sikap dan lidah kalau bicara.
Kalau gojlokan harus tahu Batasan. Tidak bijak bila sesama karyawan saling main
hakim sendiri. Mereka disuruh berdamai dan saling minta maaf.
***
Ketika Satriya kelas tiga MI Kusuma
Bangsa, dan mengaji di TPQ. Adiknya yang cantik juga sudah ikut mengaji di TPQ.
Karena didikan kedua orang tuanya yang cenderung keras maka tabiat Satriya juga
keras. Kebiasaan keras itu diterapkan Satriya kepada adiknya yang kemudian menurun
pada Natasya. Di rumah sering bertengkar dan melawan bila dijahati kakaknya.
Ditempat mengaji Natasya sulit diatur masih sering semaunya sendiri tergantung
mut nya. Kalau sedang tidak minat belajar, dia hanya main, tidak mau belajar.
Sampai di kelas tiga MI Satriya
masih tetap rangking karena ibunya super ketat mengawasi dan mengajarinya. Ibunya
bangga karena Satriya termasuk anak yang
diidolakan oleh para ustadz dan ustadzahnya. serta diidolakan oleh
teman-temannya. Dia terkenal tidak hanya dikelasnya namun sampai di kelas 4
sampai 6 sekalipun. Satriya terkenal karena cerdasnya, gantengnya, nakalnya
juga.
Ibunya sering dipanggil ke sekolah
menghadap Kepala sekolah, karena Satriya berkelahi dengan temannya. Tidak hanya
teman laki-laki, teman perempuanpun bisa kena pukulan atau tendangan bila dia
marah. Kalau di rumah ditanya dia selalu mengatakan “Temannya yang menjahatinya
duluan.” padahal menurut ustadzahnya sebenarnya Satriya memang gampang marah
dan suka bertindak kekerasan.
Kakek Bagyo sudah sering
mengingatkan Dhina, jangan mendidik anak dengan cara kekerasan. Akibatnya nanti
ada dua kemungkinan, kalau tidak down mentalnya kemungkinan menjadi anak
yang brutal keras kepala. Dhina mana mungkin bisa diberi masukan,
perilakunya memang sudah demikian tidak mau menerima masukan dari orang lain
siapapun itu, dia berpikir dialah yang paling benar. Kenyataannya Satriya
sepertinya lebih cenderung tumbuh menjadi anak yang brutal dan senang berbuat
kekerasan. Di rumah selalu bertindak kekerasan dengan adiknya.
Di TPQ dan di sekolah sering
berkelai juga dengan temannya.
Pernah suatu saat dimasa pandemi,
pelajaran dilaksanakan dengan daring (dalam jaringan), Satriya mendapatkan
rangking ke tujuh di kelasnya. Ny Dhina langsung protes ke wali kelasnya. Tidak
mau terima kalau rangking tiga besar disandang oleh anak lain yang biasanya
tidak pernah prestasi baik akademis maupun non akademis.
Ny. Dhina berargumen bahwa selama daring semua tugas
dikerjakan oleh orang tua, kalau Satriya kan dikerjakan sendiri. Ustadzah hanya
menunjukkan fakta bahwa nilai itu sudah benar seperti itu dan videonya.
Dhina pulang ke rumah dangan kesal
dan marah. Satriya kena marah dan bentakan habis-habisan. Piala yang pernah
diraih Satria saat menang lomba tahfidz dibanting patah berantakan. Menyaksikan
semua itu Satriya hanya bisa menangis dan curhat kepada Akung dan Utinya diluar
sepengetahuan Ibunya.
Akung kawatir trauma dimasa
anak-anak pada Dhina, terulang kembali, menurun kepada Satriya dan Natasha.
Saat ini Dhina sangat protek agar anaknya tidak terlalu dekat dengan Uti
dan Akungnya. Karena dinilai Uti dan Akung selalu menuruti keinginan cucunya.
Satriya sering berbohong bila di tanya oleh ibunya, sehabis main dengan Uti dan
Akung, terutama masalah main HP dan makan makanan yang dilarang oleh ibunya. Walau
dimarahi dan dilarang oleh ibunya dekat dengan Uti dan Akungnya, namun Satriya masih
tetap berusaha dekat. Di luar sepengatahuan Ibu dan ayahnya dia bermanja-manja
kepada Uti dan Akungnya. Akung bilang
“apapun itu bu Dhina dan Gazali adalah orang tuamu, kamu harus hormati dan
sayangi mereka, agar Allah juga menyayangi kamu.”
EPISODE 14
Babak Penutup
Jangan pernah berpikir bahwa ujian
kehidupan sudah selesai. Satu ujian selesai telah mengantri ujian kehidupan
baru yang lebih menantang. Selama manusia itu masih hidup, Allah selalu akan
menguji sehingga Allah benar-benar dapat menentukan mana umatnya yang pantas
mendapat pahala surga atau adzab Neraka.
Perhatikan saja bagaimana pak Bagyo
Raharjo dan istrinya, tidak dikaruniai anak, lalu mengadopsi anak pungut. Berkali-kali
sejak TK sampai Perguruan Tinggi bahkan sampai menikah dan berkeluarga
mempunyai anak, masih saja ujian yang disebabkan dari putri angkatnya yang
bernama Rizkya Rachmadhina.
Pak Bagyo Raharjo dan keluarganya
tidak mungkin hanya fokus pada ujian yang satu itu. Ujian lain juga datang
silih berganti, sakit yang berkepanjangan, masalah ekonomi yang selalu
pas-pasan, masalah keimanan yang belum mantap, masalah rumah tangga, masalah
bertetangga. masalah kesabaran dan seabreg masalah lainnya.
Semua itu harus diselesaikan satu
persatu, dengan tenang, sabar, tawakal kepada Allah SWT. Beliau percaya bahwa
tidak sebutir buah dan selembar daunpun jatuh terlepas dari ijin-Nya. Itu
berarti semua yang terjadi di alam semesta ini terjadi karena kehendak-Nya.
Dhina dan keluarganyapun tak lepas
dari ujian kehidupan, sejak kecil sampai dewasa selalu saja ada ujian. Misal
ketika masih SD dia diuji dengan ketidak jujuran, diuji dengan berbagai
keinginan yang tidak kesampaian, diuji dengan peristiwa percintaan, ketika
sudah berkeluarga masalah keluarga dan ekonomi. Kalau tidak sabar dan tawakal
pada Allah maka efeknya adalah frustasi, dan senantiasa berpikir negatif.
Allah tidak akan membiarkan umatnya
hidup dalam kesengsaraan karena Dia maha pengasih dan Penyayang kepada semua
umat-Nya, kecuali yang tidak mau diselamatkan.
Siapa yang tidak mau diselamatkan
itu, ialah umat yang membangkang perintahnya, berteman akrab dengan
kemaksiyatan, bahkan melakukan perbuatan yang sangat dibenci oleh-Nya yaitu
kesirikan, menyekutukan Tuhan. Siapa yang selamat dari ujian itulah orang yang
beruntung.
Ujian akan berakhir ketika manusia
sudah sampai
waktunya dipanggil kembali oleh Yang
Maha Kuasa. Tidak ada yang tahu kapan waktunya, apakah saat masih muda, saat
dewasa atau saat usia manula, hanya Allah yang maha mengetahuinya. Itulah
sebabnya setiap saat, berlakulah sebaiknya-baiknya sesuai ketentuan Tuhannya,
jauhi perbuatan buruk yang dilarang sesuai ketentuannya pula. Senantiasa
mengingat Allah dengan dzikrullah.
Walaupun belum 100% sembuh dari peri
laku menyimpang (Playing Victim) seperti manusia lain pada umumnya, namun sudah
ada perubahan perbaikan sampai 70%. Asalkan tidak ada pemicu yang menjadikan
dia kambuh, berperilaku menyimpang kembali.
Semaksimal mungkin keluarga harus
menjaga agar tidak ada pemicu kemarahannya, senantiasa terkendali. Masalah yang
sensitive adalah masalah ekonomi kalau tanggal tua dijaga, Sebaiknya
dihindari berdebat dengannya.
Sampai kapan orang lain akan mampu
menjaga kondisi seperti itu, Semoga seiring bertambahnya usia, dia sendiri
mampu menyadari bahwa tindakannya itu tidak benar dan merugikan orang lain dan
dirinya sendiri.
Biodata Penulis.
“Adi Mbarep, pak Nyoto, pak Sunyoto” adalah
nama pena. Lahir di Trenggalek 1954,
sekarang berdomisili di Jalan Durian 1/no 5A, Komplek Perumahan Puri
Sadewo, Kelurahan Baratan, Kec. Patrang, Kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur.
Tentang
profesi, setelah mutasi ke beberapa SMK negeri sebagai guru dan Kepala sekolah
SMKN di Jawa Timur, terakir pindah ke SMK Negeri 4 Jember (2009-2014) sebagai
guru dan Kepala sekolah. Lalu memasuki
masa pensiun tahun 2014.
Hobi
saya banyak. Namun akhir-akhir ini setelah memasuki masa pensiun, lebih serius
menekuni profesi sebagai penulis. Tahun 2021 ikut kursus menulis fiksi. kini
sementara sudah punya Sebelas judul cerpen, diterbitkan dalam Antologi
cerpen.
(1)
Bulan April 2021 diterbitkan cerpen saya berjudul“Mentari” dalam buku
Antologi cerpen Historikal. (2) Juli 2021 diterbitkan lagi berjudul “Dalam
Kepanikan” buku Antologi Cerpen “Lupa Luka”. (3) Januari 2022
cerpen saya “Homo Homini
Lupus” dalam Antologi cerpen berjudul “Kerkah Yang Penghabisan”. (4)
September 2022 cerpen saya “Pohon Kecil” bersama Gol A Gong, dalam
antologi “Sarapan di Hotel” semuanya diterbitkan SIP Publishing. (5) 6 Desember
2022. tiga cerpen saya berjudul “Guru Teladan, Kena Prank dan Surat untuk bu
Guru” diterbitkan dalam satu antologi cerpen berjudul “Cermin”. (6) Desember
2022 Cerita Inspiratif saya berjudul “Never Give Up” diterbitkan dalam
antologi berjudul “Kisah-kisah Pemimpi” (7) 11 Pebruari 2023 cerpen saya “Di
Perempatan Jalan dan Di Rumah Sakit Bersalin” diterbitkan dalam antologi cerpen
berjudul “Kue Pengantin” bersama Gol A Gong. (8) Maret 2023 diterbitkan
antologi cerpen bersama Gol A Gong “Malam Jahanam”. Cerpen saya berjudul “Tepat
Di Penghujung Tahun” dan “Victim Mentality” masuk di dalamnya. (9) Mei 2023
Cernak realis saya masuk dalam antologi cerpen “Katakan sekali lagi Anak-anak”
(10) Juni 2023 Cerpen saya “Renungan Malam” masuk kurasi dan diterbitkan dalam
antologi Cerpen Mini Horor “Gudang Peluru” (11) Juni 2023 Cernak Islami. Saya
mengirim Cernak “Ma Iqbal Sayang Mama” masuk dalam antologi Cernak Islami dalam
buku “Aku Suka Belajar Hal Baru” (12) September 2023 terbit lagi antologi
Cerpen Ala Yuditeha “Tetangga Dekat” Cerpen saya bertajuk “Merah Putih” ikut
menghiasi dihalaman buku ini, di terbitkan oleh Sip Publishing.
Buku
solo,
saya sudah punya tiga judul (1) Januari 2023 kumpulan Cerpen Sunyoto Sutyono, berjudul
“Pohon Kecil”_diterbitkan gratis oleh Tidar Media. (2) Juni 2023 Kumpulan
cerpen Sunyoto Sutyono berjudul “Serpihan Kehidupan” diterbitkan oleh Tidar
Media secara berbayar. (3) Buku Kumpulan Puisi karya Sunyoto Sutyono berjudul
“Kidung Senja” diterbitkan oleh Tidar Pedia.
Antalogi Puisi saya ada sepuluh
judul diterbitkan dalam antologi Puisi diantaranya :
(1) 5 Oktober 2022 karya puisi saya berjudul “Tanda Kasih Sayang” masuk dalam
antologi “Pohon Pisang” sebuku dengan Gol A Gong. (2) 9 Januari 2023 karya
puisi saya “Romantika Kehidupan” diterbitkan dalam buku antologi “Sari
Sanubari” oleh Mandala Penerbit. (3) 10.Pebruari 2023 Antologi Puisi “Merindu
Mimpi” diterbitkan oleh Mandala Penerbit salah satu karya saya menghiasi
halaman buku tersebut berjudul “Antara ada dan Tiada” (4) 1 Pebruari 2023 Puisi
saya berjudul Secangkir Kopi Damba” masuk kurasi di Sip Publishing sebuku
dengan Nana Sastrawan (5) Pebruari 2023 puisi saya berjudul “Suluh Kemajuan”
masuk dalam antologi puisi “Rampai Harapan” diterbitkan oleh Arus Pedia
Creatif. (6) Maret 2023 Puisi saya Labirin Cinta Kita” masuk dalam antologi
Puisi “Rumpun Madah” diterbitkan oleh Mandala Penerbit. (7) April 2023 Puisi
saya “Secangkir Kopi Cinta” masuk dalam antologi Stasiun Tugu, sebuku dengan
Nana Sastrawan. (8) Mei 2023 Puisi Narasi Mitos saya “Sepasang Prenjak dan Burung Dares” serta “Ada
Mitos Dibalik Foto Bertiga” masuk dalam antalogi “Kabar Dari Pucuk Daun” sebuku
bersama Nana Sastrawan. (9) Agustus 2023 Puisi saya “Panorama Gegana” masuk
dalam antologi “Kuantum Kagum” diterbitkan oleh Mandala. (10) September 2023
puisi saya “Serpihan Surga” dan “Bila Atmaku Pergi” masuk dalam antologi
Sebagai Tangis diterbitkan oleh sip Publishing..
Untuk
mencapai karya yang baik, saya masih harus banyak belajar dan berlatih, menimba
ilmu dari para pakar penulis. Target pertama saya dalam menulis Cerpen dan
puisi, adalah karya tulis saya diterbitkan oleh penerbit, alhamdulillah sudah
menerbitkan Dua judul solo kumpulan cerpen dan satu judul Kumpulan puisi In syaa Allah saya masih akan terus menulis untuk merealisasikan
menerbitkan solo novel dan solo puisi. Saya yakin bila terus produktif menulis
karya, suatu saat Allah akan mempertemukan dengan masa bahagia menikmati
manisnya hasil kerja keras saya, semoga. Aamiin.
Media
yang bisa dihubungi : Fb SUNYOTO SUTYONO, Wa 081336704 471, E-Mail : sunyoto1405@gmail.com,
Ig : @sunyotosutiyono, PAK NYOTO JEMBER blogspot gratisan.
Komentar
Posting Komentar