CERPEN BERWISATA DI KEBUN KOKA JEMBER
BERWISATA DI KEBUN KOKA JEMBER
Sunyoto Sutyono
Liburan sekolah telah
tiba. Bulan Juni 2022 pasca covid 19, kami sekeluarga terdiri dari Akung, Uti,
Mama Ella, Ayah Effendi, Angga dan Ayla berencana berwisata cari yang lokasinya tidak terlalu jauh dan tidak perlu
menginap. Hari minggu Ayah libur kerjanya. cucu Angga dan Ayla menagih janji
untuk ke tempat wisata. Akung setuju berekreasi bersama. “Horeee”Angga dan Ayla
bersorak kegirangan.
Minggu pagi jam 08.00 wib
kami naik Panter milik Akung, Ayah yang bertugas mengemudi. Kali ini kita ke
Perkebunan Kopi dan Kakao Renteng Jember.
“Renteng itu dimana,
nanti di sana kita melihat apa Kung?” tanya Angga ingin tahu sambil menikmati
perjalanan
“Renteng itu adalah tempat
wisata Edukasi, kebun dan pengolahan Kopi dan Kakao milik PTP XII Perkebunan
Jember. Selain Kopi dan Kakao di kebun ini banyak tumbuh berbabagai pepohonan besar
yang nyaman untuk menenangkan diri.” jawab akung
“Kebun Renteng ini ada di desa Paron, Jenggawah, kecamatan wuluhan, kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur. Dari rumah kita di kec Patrang dalam kota kab Jember, hanya sekitar 20 Km, ditempuh dengan mobil pribadi sekitar 45 menit – 1 jam perjalanan sudah sampai di Perkebunan Renteng. Untuk memasuki area kebun ini kami harus bayar tiket masuk Rp 50.000/orang dewasa, anak-anak Rp 25.000/anak. Mungkin kalau datang berombongan bisa nego” Ayah melanjutkan.
“Ayah kok tahu Yah?” kata
Mama Ella.
“Ayah gitu loh, tadi
sudah tanya di mbah Google.” Ayah melucu
“Kung Angga senang yang
ada kolam renangnya.”
“Jangan kawatir nanti
kamu bisa renang di sana.” jawab Akung
“Iya mas, wahana
permainan ada banyak, Flaying Fox, kolam renang, memberi makan rusa, ayunan,
jungkat-jungkit.
Naik mobil kayu seperti gerobak,
keliling kebun menuju ke pabrik pengolahan kopi, hiking, tracking, berkemah dan
masih banyak yang lainnya pokoknya seru deh Ga” jelas Mama juga membuka Google.
Tidak terasa perjalanan
sudah 45 menit berlalu. Dengan rute perjalanan tidak sulit. Kedatangan kami
disambut ramah oleh laki-laki masih muda berseragam batik celana hitam, petugas
di pintu gerbang. Petugas itu menanyakan jumlah pengunjung dan kemudian
menyampaikan empat tiket untuk dewasa dan dua untuk anak-anak
“Berapa semua mas?” tanya
Uti pada petugas
“Dua ratus lima puluh
ribu saja bu.”
“Itu sudah termasuk
parkir dan pernainan anak ya.” tanya Akung
“Tidak pak, parkir bebas,
tetapi untuk permainan tertentu harus bayar tiket lagi.” jelas petugas
“Oooh begitu” Uti
memberikan uang untuk tiket masuk.
Ayla minta di temani oleh
Uti. Akung mengajak Uti ke tempat Ayla bermain ayunan. Ayah, Mama dan mas Angga
meninggalkan lokasi itu. Akung memilih duduk-duduk di bangku kayu tebal khas
seperti kayu hutan dekat dengan penjual mie ayam tidak jauh dari tempat cucunya
bermain.
“Pak di dekat itu ada
depot, sampean jualan di sini, apa tidak dilarang oleh petugas?” tanyaku
berbasa-basi
“Tidak pak, depot itu
tidak menjual mie ayam.” jawab penjual mie
“Sampean jualan di sini juga
bayar tiket?”
“Bayar pak Rp 35.000. per
hari.”sambil sibuk melayani pembeli yang datang berombongan.
Udara yang sejuk, rindang
terlindung oleh pohon tinggi, serombongan membuka bekal di hamparan lantai
semen kira-kira berukuran 3x5 m2 tebal 30 cm di sebelah kiri saya duduk-duduk.
Tidak jauh dari tempat kami, di gazebo-gazebo kecil beberapa pemuda berdiskusi
atau mendengarkan presentasi.
Kami bebaskan cucu-cucu
bermain sepuasnya. Capek dengan kegiatan, mereka kembali ke tempat saya
beristirahat. “Mie enam porsi pak” kataku. Pak Penjual mie menyiapkan di meja kayu dan bangku kayu tebal
yang eksotik sesuai tempatnya di hutan perkebunan. Sambil makan kami mengobrol panjang
lebar tentang perkebunan ini, tentang kehidupan keluarganya di rumah dengan pak
Ponimin penjual mie ayam itu. Usai makan Uti membayar mie Rp 8.000 per mangkok
dengan uang lima puluh ribuan.
“Sekarang kita
berkeliling perkebunan menuju pabrik pengolah Kopi dan Kakao dengan naik mobil
grobak kayu. Mama Ella beli tiket empat orang dewasa Rp15.000 per orang dan dua
tiket anak-anak Rp 7.500 per orang. Selama perjalanan pelan menyusuri jalanan
hutan berbatu tanpa aspal, sopir mobil memberi penjelasan tentang hal ihwal perkebunan.
itu.
“Apakah setiap hari
pengunjungnya sebanyak ini?” tanya Akung
“Hanya hari libur
termasuk minggu yang banyak. Hari-hari biasa relative sepi.” jawab pak sopir
mobil gerobak.
Sebelum spai bangunan pabrik pengolahan kopi peninggalan jaman kolonial Belanda, kami lewati mes-mes karyawan pabrik berjajar rapi lengkap dengan nama-nama penghuninya jaman dulu. Rumah-rumah ini sepertinya sekarang tidak ditempati lagi karena karyawan pabrik hanya bekerja selama panen kopi saja. Di dalam pabrik kami melihat mesin gilingnya yang begitu besar. Saya merasakan aura magis jaman belanda. Beda dengan di tempat sortir kopi, kebanyakan karyawan wanita bersenda gurau ceria. Sambil menunggu jemputan mobil gerobak yang akan mengantar kami kembali ke halaman depan, Ayahnya Angga sempat memesan wedang kopi asli di warung kecil sekitar pabrik itu. “Bener asli kopi, bukan seperti kopi sasetan.” katanya.
Tahap akhir kunjungan kami di kebun ini, Uti
mengajak cucu-cucu dan mama Ella masuk ke gerai minuman serba coklat dan kopi.
Di situ di jual coklat blok, coklat susu panas, kopi susu panas, kopi panas dan
es krim coklat. Saya dan Ayahnya Angga menuju ke parkiran mobil, menunggu di
depan kedai minuman siap untuk pulang. Sebenarnya masih banyak tempat-tempat
yang belum di kunjungi, namun anak-anak sudah capek. (Snt)
Jember, 5/9/23
Komentar
Posting Komentar