KISAH INSPIRATIF
NEVER GIVE UP
Usia pak Hastomo atau kakek Has kini kira-kira sudah tujuh puluh tahun. Postur tubuhnya tinggi brsar seperti orang eropa. Kulitnya kuning langsat, rambutnya putih semua dipotong pendek, bibir tipis, hidung tidak mancung tidak berjenggot tidak berkumis, bemata hitam sepasang alis tipis menghiasi wajah ovalnya. Jalannya pelan memakai tongkat penyangga tubuhnya..
Pensiunan Guru dan Kepala Sekolah
itu, perangainya ramah, murah senyum, sabar, mudah bergaul dengan siapa saja.
Bersemangat, bersahaja, dan berwibawa. Orang tidak segan menyapanya, dari
wajahnya menyiratkan persahabatan.
Sudah bertahun-tahun berlalu beliau
menderita penyakit diabet. Sepintas, bila
duduk dan berbicara, pasti orang mengira beliau sehat-sehat saja. Maklum dahulunya sebelum
sakit, kakek Has adalah mantan olahragawan dan rutin memeriksakan kesehatannya
ke rumah sakit.
Selama pandemi covid-19 tahun
2020-2021, jadwal kontrolnya kacau. Sering tidak minum obat, takut ke rumah
sakit, karena takut tertular covid. Lagi pula dokter sering tidak bersedia
menemui pasien, perawat yang ditugasi memberikan obat, hanya berdasarkan
laporan keluhan pasien dan resep bulan lalu. Itulah salah satu pemicu sakit
parahnya beliau.
Asupan makan, minum dan obat-obatan
menjadi tidak terkontrol, sehingga ketika di cek laborat sangat mengejutkan. Kadar
gula darahnya mencapai 400, harusnya dibawah 200. Tumit kakinya luka, mengalami
kesakitan bila berjalan, makanya selain kruk beliau memakai kursi roda.
Tadinya luka itu hanya kecil saja, cukup
dirawat di rumah oleh istrinya. Namun setelah hampir dua bulan, tidak membaik
bahkan semakin melebar lukanya, pak Hastomo minta pertimbangan kalau dirawat di
rumah sakit saja.
“Kalau ke rumah sakit, pasti disuruh
opname pak. Siapa yang akan menjaga? Ibu sakit-sakitan, nanti kecapekan, tambah
merepotkan. Saya repot dengan kegiatan rutin di rumah.” putri pertamanya
memberi pertimbangan.
“Betul mas, bagaimana kalau berobat rawat
jalan ke klinik saja?” kata bu Hastomo.
“Bagaimana pendapatmu ?” tanya pak
Has kepada putri keduanya.
“Iya betul pak, teman saya pernah
berobat ke Klinik itu, sekarang sudah sembuh. Katanya pelayanannya sangat
bagus.” putri kedua merekomendasikan.
Kesimpulan semua anggota keluarga
sepakat, bapak dirawat jalan di klinik bedah “Amanah” itu. Bakdha maghrib, pak
Hastomo datang di klinik diantar istri, anak pertama dan menantu. Banyak pasien
yang sudah ngantri disana. Tiba giliran bapak, masuk ruangan perawatan, ibu
perawat dengan ramah mempersilahkan tiduran di bad yang tersedia.
Setelah melihat lukanya, ibu perawat menanyakan berapa kadar gulanya saat ini.
“Seminggu lalu saya cek lab kadar gula
400.” jawab pak Hastomo, ibu perawat geleng-geleng kepala.
“Bapak harus ke dokter bagian
penyakit dalam, minta perawatan agar gula darahnya normal, Ini telah terjadi
infeksi pada lukanya.” kata perawat sambil membersihkan lukanya.
“Iya bu, lalu apa lagi yang harus kami
lakukan.” tanya bu Hastomo, ketika suaminya hanya diam.
“Setiap seminggu sekali lukanya
harus dibersihkan, urat-urat syaraf yang rusak akibat infeksi harus di buang
bu.” ibu perawat menjelaskan.
“Luka yang dibersihkan, syaraf yang
rusak di gunting, kok tidak terasa sakit bu ?” keluh pak Hastomo
“Ya itu karena syarafnya sudah
banyak yang mati, makanya kadar gulanya
harus segera diturunkan. Kalau tidak, akan semakin menjalar dan banyak
syaraf yang rusak.” kata perawat
“Apa ada kemungkinan sampai di
amputasi ya bu ?” pak Has bertanya penuh kekawatiran.
“Ya, iya, kalau terlambat ditangani
atau sengaja dibiarkan. Perawatan penyakit begini ini biasanya lama, sampai
berbulan-bulan. Pasien harus sabar tidak bosan atau putus asa. Tetap semangat
melanjutkan pengobatan !” jawab perawat, sambil memberi motivasi. Wajah pak
Hastomo berubah mendung, mungkin beliau sangat kawatir.
“Tidak usah sedih gitu, bu guru di
sekolah mas, pernah menderita seperti ini, bisa sembuh. Semua itu tergantung
Allah, do’a dan usaha kita.” hibur istrinya.
Ketika perjalanan pulang dari klinik
sampai rumah, pak Has masih murung dan pendiam. Putri keduanya yang menunggu di
rumah tanggap situasinya.
“Pak, dapat salam dari bu Luki,
teman bapak.” putri keduanya menghibur.
“Apa katanya ?” tanya bapak
singkat.
“Tetap semangat, jangan makan nasi
dan makanan tinggi karbo.” kata putrinya menirukan ucapan bu Luki.
“Sampaikan salam balik, terima kasih
telah menyemangati. Buat bu Luki, semoga beliau sehat juga.” pinta pak Has pada
putrinya.
Sementara semua pada sibuk dengan
kegiatan masing-masing, Pak Hastomo kini di kamar, tenggelam dalam kesendirian.
Sungguh bukan sakit raga yang beliau rasakan, namun lebih pada konflik batin.
Bapak ingin teman ngobrol, agar bahagia, bisa sejenak melupakan kegalauan
batinnya.
***
Bu Hastomo sudah enam puluhan tahun
usianya, beda sembilan tahun dengan suaminya. Tubuhnya gemuk pendek, bahkan
cenderung obesitas. Memasak dan
berorganisasi adalah hobynya. Pak Hastomo mendukung istrinya sibuk
berorganisasi, demi untuk hiburan baginya. Beliau merasa beruntung sekaligus
kasihan dan sayang kepada istri tercintanya selain sibuk mengurus keluarga,
masih sibuk berorganisasi.
Pak Has, mempunyai dua orang putri,
dua-duanya sudah berkeluarga, mempunyai putra, dan mempunyai rumah
sendiri-sendiri. Putri pertama tinggi besar seperti bapaknya. Sifatnya keras,
bicaranya ceplas-ceplos terkadang menyakitkan. Dia punya anak dua, putra
dan putri. Kehidupan keluarganya selalu heboh, belum sepenuhnya bisa mandiri.
Hal itu menjadi beban pikiran pak Has.
Putri kedua sudah berkeluarga juga,
mempunyai putri satu, masih balita.
Postur tubuhnya kurus pendek, menurun dari ibunya. Sikapnya sabar,
pengertian dan bijaksana. Dari gajinya sebagai guru PNS dia sering datang
menghibur, membelikan berbagai buku bacaan berupa novel, membelikan buah dan
makanan camilan untuk bapak ibunya.
Kedua menantu, sangat sayang dan hormat kepada
pak Has, selalu siap sedia selama enam bulan ini, membantu secara bergantian
mengantar dengan mobil, bila mertua kontrol ke rumah sakit maupun ke klinik.
Mereka telaten, sabar, menuntun
bapak mertua, membuat terenyuh di hati pak Hastomo.
Beliau ingat kata-kata yang dia ucapkan
sendiri “Bila suka memperhatikan dan sayang kepada orang lain, Allah akan
memberikan kembali perhatian dan kasih sayang yang sama kepadanya.” dan itu
telah sering dirasakannya.
***
Sebagian besar waktu dihabiskan
dalam kesendirian di kamar, pak Hastomo
merenda berbagai kegiatan menghibur diri, mengusir sepi, berdamai dengan
penderitaan. Berbagai kegiatan hanya berupa hal-hal kecil sederhana, yang mampu
beliau lakukan.
Hal pertama dan utama, sebagai
seorang muslim, pak Has mendekatkan diri lebih dekat kepada Allah. Rajin shalat
wajib dan sunnah, puasa wajib dan sunnah. membayar zakat dan sodakoh,
melantunkan do’a permohonan, mentadzaburi al Qur’an. Mengikuti pengajian
di majlis dan mendengarkan tauziah lewat radio, Melakukan silaturahim melalui
HP, maupun lewat darat. Hasilnya luar biasa, hati menjadi tentram, rasa beserah
diri, menerima apapun takdir Robb-Nya.
Makanan yang rendah karbo dengan
porsi sedikit, tidak minum yang manis-manis. Kentang rebus, putih telur
ditanak, minum air putih. Lauk ikan gabus, ikan air tawar, ikan air laut,
daging sapi, daging ayam. Sayur-sayuran di kerawu atau dengan bumbu
pecel, buah-buahan adalah makanan kesehariannya. Upaya ini sangat membantu menormalkan kadar gula darah dan
penyembuhan luka.
Rajin ke dokter, minum obat diabet,
jantung, darah tinggi dan pereda nyeri, sesuai aturan dokter. Usahakan tepat
waktu dan jangan sampai lupa. Untuk luka setiap sepuluh hari atau seminggu
sekali rajin kontrol ke klinik, mengganti verban, dan obat lukanya. Minum anti
biotik dosis tinggi, jangan banyak jalan kaki, supaya lukanya tidak tergencet
beban tubuh yang tinggi besar itu.
Olah raga ringan hanya sekedar
peregangan otot, gerakkan tangan, kaki dan kepala, lumayan untuk melemaskan
otot yang kaku.
Teman yang mempunyai riwayat pernah sakit yang sama menyarankan, mengkonsumsi seduan air daun insulin. Hal ini
dipercaya dapat membantu menormalkan kadar gula darah dan menyembuhkan luka
akibat diabet.
Selain fokus pada kesehatan fisik,
pak Hastomo tak lupa memberi nutrisi psychisnya, karena dua-duanya sama
pentingnya. Nutrisi psychis, dengan kegiatan membaca berbagai buku bacaan
dan menulis. Awalnya hanya sekedar menulis saja, di Face Book, Blogg gratisan, WA atau sekedar
menulis lalu disimpan di lap top saja. Lalu mencoba lebih serius, menghasilkan
banyak tulisan kemudian ikutan menulis cerpen dan puisi keroyokan ke
penerbit. Empat judul buku antologi cerpen dan satu antologi puisi, sudah dapat
beliau realisasikan.
Ada ketidak puasan tentang kemampuan
menulis fiksi. Upayanya, beberapa kali mengikuti pelatihan, dan ikutan lomba,
belum pernah menang sih, kakek Has tak putus asa. Alhamdulillah hasilnya hati
terhibur, dengan kegiatan menulis, seiring
berjalannya waktu, luka di kaki mulai menutup dan sembuh.
***
Semangat kakek Has menjalani hidup
ini pantas diacungi jempol, masih mempunyai banyak harapan masa depan sedang
dan ingin diwujudkan.
Yang jelas berjuang terus untuk
hidup sehat wal afiat, sejahtera jiwa raga, berbahagia bersama keluarga yang
sangat dicintainya,
Beliau bertekat, selama kesehatan
masih memungkinkan, akan menulis, menulis dan menulis. Saat ini sedang berjuang
menerbitkan buku solo kumpulan cerpen dan novel karya sendiri. Kesempatan itu ada dan terbuka.
Walau ragu dan masih buntu, ada obsesi menjadi kontributor penulisan pada suatu
majalah atau koran harian.
Akhirnya kebahagiaan terindah dalam
hidup kakek Hastomo, “ketika tidak berdaya, ternyata banyak orang ikhlas
mengulurkan tangan, mengangkat dirinya.” Maka sambutlah tangan mereka dengan
penuh kasih sayang siapapun mereka.
Tetaplah bersemangat, jangan
menyerah, berupaya keras, disertai do’a untuk menemukan masa gemilang yang
dicitakan. Aamiin. (Snt)
Jember, 14 Oktober 2022
Catatan :
Karya ini pernah diikutkan lomba menulis cerita Inspiratif dan dinyatakan lolos kurasi. Kemudian diterbitkan dakan buku antologi cerpen bertajuk Para Pemimpi diterbitkan oleh SIP Publishing Purwokerto.
Komentar
Posting Komentar