CERPEN : Dalam Kepanikan

 

Dalam Kepanikan.

Oleh Sunyoto Sutyono

 

Garuda kita sedang lara. Ibu pertiwi merintih berduka, oleh erangan kesakitan dan keluhan penderitaan putra putri bangsa Indonesia. Sejak diberitakan adanya dua orang terpapar covid-19, bulan maret tahun 2020 lalu, sampai kini juli 2021, sudah hampir dua tahun berlalu, pemerintah bersama para pakar dibidang kesehatan belum mampu menanggulanginya secara tepat.  Perang tanding antara kelompok satu dengan lainnya semakin sengit, berebut benar, berebut pengaruh,  berkepanjangan. Tidak tahu kapan berhentinya, padahal hasilnyapun belum terbukti nyata. Faktanya sampai saat ini, rumah sakit disemua kota terutama di tanah Jawa, Bali dan Madura penuh. Jenazah mengantri untuk dikebumikan, mobilitas penduduk dibatasi, keuangan Negara minus, penghasilan masyarakat tak ada, kekawatiran, ketakutan tentang pandemi dan dampaknya menjelma menjadi kepanikan. Masih adakah walau satu tarikan nafas kita, menjelang bulan kemerdekaan ini, terbersit tentang patriotisme, selain keluh kesah tentang pandemi. Kita intip obrolan lintas generasi diperumahan Sadewo.

Pak Sanjaya yang bertetangga dengan pak Gunadi, keduanya sama-sama pensiunan PNS,  disuatu pagi sambil berjemur, terlibat diskusi non formal, di buk (tempat duduk) perempatan jalan utama jalan durian I dan jalan salak 1. Pak Gunadi membuka pembicaraan.

“Sekarang ini sering jantung merasa berdebar-debar, kalau ta’mir mengumumkan sesuatu di corong masjid. Spontan timbul pertanyaan dbenak, siapa lagi yang meninggal?”

“Tidak hanya itu, setiap saat terdengar sirine ambulan lewat di jalan raya, perasaan kita langsung tercekam dan terbayang pastilah korban covid lagi,”pak Sanjaya menambahkan.

“Di kompleks perumahan kita ini sekarang sudah tumbuh klaster-klaster covid dalam keluarga-keluarga. Ada kalau sepuluh keluarga saja,” kata pak Gun kemudian

“Iya ... kebanyakan yang terpapar para tenaga kesehatan dan orang-orang kampus Unej. Namun kabar baiknya ada yang sudah sembuh setelah isoman dirumah sendiri. Justru yang dibawa kerumah sakit itu, beberapa semakin parah dan bahkan meninggal.” komentar pak Sanjaya.

“Perumahan kita ini kan sudah lock down, semua jalan masuk sudah ditutup tinggal jalan utama saja yang dibuka, namun orang masih bebas keluar masuk,” kata pak Gun

“Karena tidak ada yang jaga. By the way maaf, Pak San sudah divaksin?” tanya pak Gunadi menjurus pribadi.

“Kenapa, pak Gun curiga, karena saya jarang keluar rumah? Saya setiap bulan cek up ke Dr pribadi pak. Saya tidak ikut vaksin, karena penyakit bawaan saya banyak. Diabetes, jantung, darah tinggi, trigliserit tinggi. Saat ini saja tanpa divaksin, untuk jalan kaki harus pakai tongkat, dan jalan jauh sedikit ngos-ngosan. Saya takut ketambahan penyakit lagi.” jawab pak Sanjaya.

“Maaf... maaf sekali. Vaksin itu katanya wajib lo pak, nanti kalau tidak vaksin bisa terdeteksi, lalu gaji pensiunnya bisa dicabut,” kata pak Gunadi setengah bercanda, agar tidak tegang.

“Saya percaya kata dokter. “yang divaksin itu orang yang sehat titik.” logikanya, Vaksin itu kan memasukkan virus yang sudah dilemahkan atau di matikan, kedalam tubuh seseorang yang sehat, agar tumbuh anti body atau imun. Kalau orang sakit seperti saya, dimasuki bibit penyakit, bisa-bisa tidak menumbuhkan anti bodi, justru menambah penyakit baru. Lha kalau nanti soal gaji pensiun saya dicabut, ya kita rakyat lecil bisa apa?, menurut saja. Tetapi saya berharap ada kebijakan, dari yang berwajib” Jawab pak Sanjaya.

Pak Gunadi mendengarkan dengan penuh perhatian sambil manggut-manggut. Sesaat suasana menjadi hening, terbawa pada pikiran masing-masing tentang beberapa hal yang sudah diperbincangkan.

 “Saya jarang keluar rumah, sesuai anjuran pak Joko Wi, dirumah saja, namun anak saya itu masih saja terpaksa keluar, kerja, ngantar anak mengaji, banyak beraktifitas diluar, bisa juga mereka pulang membawa virus,” cetus pak Sanjaya memecah keheningan.

“Semoga Allah swt melindungi kita semua aamiin. Lalu kegiatan pak San dirumah, masih suka menulis seperti biasa?” tanya pak Gunadi mengalihkan topik.

“Aamiin ...Iya, apalagi? Masih menulis, dan rutinitas kenidupan lainnya ,” jawab pak Sanjaya

“Menurut pak San, apa dampak pandemi ini?”tanya pak Gunadi berikutnya , lebih bersifat umum.

“Banyak sekali. Namun bagi saya dan istri, dari segi ekonomi alhamdulillah, masih bisa tercukupi. Termasuk biaya obat rutin setiap bulan masih dapat dari BPJS. Kalau bagi keluarga anak saya, sangat terasa dampaknya, terutama di bidang ekonomi. Akhir tahun 2020 dia berhenti dari pekerjaannya sebagai sales suatu cabang perusahaan, karena cabang itu di tutup. Beruntung dia melamar di perusahaan lain, bisa diterima, walau konskwensinya penghasilan  turun drastis. Asuransi kesehatan keluarga tidak dapat, sewa alat transportasi tidak ada, uang lembur bila kerja diluar jam kerja tidak dapat, bila ijin tidak masuk kerja, gaji dipotong. Masih bersyukurlah, istrinya bisa bantu-bantu dengan jualan on line. Agar gaji bisa nyambung sampai akir bulan, taktiknya kalau senin sampai kamis mereka pulang kerumahnya sendiri, kemudian jum’at sampai minggu, sekeluarga pulang kerumah kami. Walau bagaimanapun, kami tetap bersyukur sekeluarga diberikan kesehatan,” jawab pak Sanjaya.

“Kalau menurut pak Gun bagaimana suasana Negara pada saat ini?” pak Sanjaya balik bertanya

Ruwet, mana pembohong mana yang jujur, mana yang pejuang mana yang pecundang sulit dibedakan. Orang pemerintahan yang curang tidak kurang, masyarakat biasa yang bertindak menghalalkan segala cara juga banyak. Yah ibarat dalam satu kapal, kalau penumpangnya tidak bersatu, tidak taat pada pimpinan, masing-masing cari keuntungan diri sendiri, kapal dan semua penumpangnya bisa tenggelam,” kata pak Gunadi

“Kok bisa gawat begitu pak?” sela pak sanjaya sambil tersenyum

“Saya heran, masyarakat itu lo kok tidak mau patuh dengan anjuran pemerintah, hanya disuruh PPKM, 5M, vaksin gratis, diam dirumah jauhi kerumunan aja kok susah, makanya mata rantai pandemi tidak putus-putus,” pak Gunadi geram dan bersamangat

“Menurut saya, ya jangan menyalahkan masyarakat saja pak. Masyarakat itu kan dalam keadaan terpaksa. Bagaimana rasanya kalau sudah hampir dua tahun dibatasi pergerakannya. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga. untuk makan, untuk biaya pendidikan anaknya, kalau ada anggota keluarga yang sakit, PLN, Telepon, pulsa dan sebagainya. Ibarat kata, kalau patuh mereka mati kelaparan, kalau tidak patuh bisa mati karena corona. Dalam kepanikan, mereka tidak bisa memilih mana yang benar mana yang salah. Saya sendiri bingung antara percaya dan tidak. Saya membaca suatu artikel bahwa Virus corona itu adalah sekenario besar para konglomerat kelas dunia. Yang ujung-ujungnya ingin menguasai dunia. WHO dijadikan sebagai agennya. masyarakat dunia yang lemah menjadi pionnya. Lalu mereka yang akan mengendalikan dunia selanjutnya.“ cerita pak Sanjaya, membuat pak Gunadi tertegun

“Apa hubungannya dengan Negara kita saat ini, apa mungkin patriotisme bangsa kita akan luntur begitu saja?” pak Gun tidak sepaham dengan cerita pak Sanjaya diatas.

“Sekarang kita diwajibkan vaksin oleh pemerintah, itu pada dasarnya mengikuti perintah siapa?. Yang sudah divaksin diberi sertifikat, kemudian selanjutnya sertikat elektronik bisa dipantau melalui Google, apakah vaksin cukup sekali, dua kali, tiga kali, kalau corona berkepanjangan, terus rutin setiap sekian bulan sekali harus vaksin. Vaksinnya dari mana? dari negara yang direkomendasikan oleh WHO. Bagi yang sakit perlu obat, obatnya dari mana?” lanjut pak Sanjaya

“Demi martabat bangsa, kalau mau negara kita kan bisa memproduksi vaksin sendiri, obat juga bisa buat sendiri, dimintakan rekom ke WHO agar bisa dipakai.” sanggah pak Gunadi.

“Ya bisa sih, namun kan perlu proses, memerlukan waktu lama. Bisa terlambat, sekarang saja dari hari kehari yang terpapar melonjak terus, walau yang sembuh juga banyak namun yang meninggal dunia juga semakin banyak. Sampai 31 juli 2021 sudah 94.119 jiwa,” pak Sanjaya menambahkan.

“Iya....ya, dikomplek perumahan kita saja sudah berapa yang terpapar. dan isolasi mandiri,” suara pak Gunadi merendah.

Lagi asyik-asyiknya mereka berdua berdiskusi, dan belum ada kesimpulan, bu Sanjaya memanggil dari dalam rumah.

“Paaaaak, berjemurnya sudah lebih dari lima belas menit. nanti kulitnya terbakar.!”

“Yaaaa” jawab pak Sanjaya, lalu berpamitan dengan pak Gunadi dan menyudahi diskusi non formal pagi itu. Dengan sedikit kesulitan pak San berdiri, mengambil tongkat dan perlahan melangkah pergi.

Pak Gunadi juga meninggalkan arena berjemur. Dalam hatinya masih tergelitik tentang apa yang disampaikan oleh pak Sanjaya. Dia merasa harus mencari literatur dan merenung sendiri, agar besok dalam diskusi dengan pak Sanjaya tidak hanya sebagai pendengar yang pasif. Berbagai pemberitaan di radio, tv, berbagai tulisan yang ada di medsos hampir semuanya dilahap. Namun justru yang masuk dalam memorinya, sebagian besar adalah yang bukan penjelasan resmi dari pemerintah. Seperti misalnya pendapat dr Louis yang serba menyangkal tindakan pemerintah itu, pendapat dr Tirta kalau mau sehat pokoknya makan enak, pakai masker, makan, ....masker. Tulisan beberapa orang tentang upaya pengobatan covid-19 dengan berbagai bahan herbal, berbagai terapi penguapan.  Namun demikian bukan berarti pak Gunadi terhanyut mengikuti berbagai berita itu. beliau masih termasuk patuh pada peraturan pemerintah, 5M, vaksinasi PPKM.   

Pada sabtu sore bakdha ashar sekitar pukul 16.00, seperti biasa bapak-bapak kumpul di buk (tempat duduk) depan toko ijo perempatan jalan perumahan Sadewo melepas penat, sepulang kerja, menikmati suasana sore. Komplek perumahan yang tenang, jalan-jalannya cukup lebar, tidak banyak kendaraan lewat, tidak banyak anak kecil berkeliaran, karena penduduknya sebagian besar usia senja. Kalau pagi dan sore terdengar kicau burung trocok, burung tekukur dan pipit yang bersarang di pepohonan pekarangan rumah warga, menjadikan suasana damai tenteram penghuninya. Lima orang bertetangga beda usia, masing-masing memakai masker, Pak Asmuji dosen masih aktif mengajar, pak Bukhori pegawai Depag masih aktif, pak Sanjaya dan pak Gunadi pensiunan PNS, pak Krisyanto koordinator pemuda Sadewo, usianya paling muda. Masing-masing jaga jarak. Pak Sanjaya duduk disamping pak Gunadi, pak Asmuji duduk di tempat duduk seberang jalan bersama pak Bukhori, sedang pak Krisyanto duduk di atas sepeda motornya, baru keluar dari komplek perumahan.

“Dari mana bos?” tanya pak Bukhori,

“Keliling dari masjid lalu ke jalan Sawo dan terus kesini ini.” jawab pak Krisyanto.

“Bagaimana kabarnya saudara-saudara kita yang isoman.” tanya pak Gunadi

“Informasi dari pak RT, yang di jalan sawo, dua rumah tetangga pak Rusdi, sekarang ini juga isoman. Kemudian yang Durian III sudah semakin sehat. Namun semenjak ibunya meninggal, kesehatan pak Garnoto sedikit ngedrop. Kalau yang di Durian II sudah sehat semua  tinggal cek sweb lagi apakah sudah negatif atau belum. Di Salak II ada yang baru lagi isoman sekeluarga, putrinya yang lagi mengandung 7 bulan kena covid juga” jawab pak Kris.

“Yaitu, hari jum’at ketika pulang dari masjid, ada beberapa orang bisik-bisik. Mereka takut, kawatir, dan ragu, karena duduk dekat pak Garnoto yang baru selesai isoman.” kata pak Bukhori.

“Seharusnya beliaunya secara transparan mengunggah foto surat hasil swab terakirnya di WA grup, biar orang lain tidak was-was,” komen pak Asmuji

“Alhamdulillah. Putrinya yang lagi mengandung itu, bayinya bisa terpapar juga lo ” respon pak Gunadi

“Lho kok bilang alhamdulillah? potong pak Kris.

“Maksudnya alhamdulillah karena ada yang sudah sembuh itu.” pak Gun menjelaskan.

“Untungnya tetangga kita mengetahui, lalu pada perhatian, mensuport suadara-saudara kita itu.” pak Sanjaya menimpali.

“Yah kerukunan, kesatuan dan persatuan itu memang harus dipertahankan, kalau tidak, jamannya seperti ini gampang digoyang Negara kita ini.” kata pak Asmuji.

“Saya lihat di youtube, bahwa. saat ini sebenarnya negara-negara dalam keadaan perang generasi ke 4, apa maksudnya itu?” tanya pak Bukhori.

“Wuik, pertanyaan buerat ini, jangan kawatir ada pak Dosen disini..” komentar mas Kris.

“Yah .... jangan begitulah... mas Kris, meskipun dosen kalau tidak rajin membaca dan mendengar berita, ya sama saja,” kata pak Asmuji meluruskan

“Maaf,.....maaf, pak Muji silahkan dilanjut,” mas Kris menanggapi sambil kedua telapak tangan dikatupkan di depan hidungnya, sambil tersenyum.  

“Kebetulan tentang ini saya juga baca. Perang generasi ke 4 itu adalah strategi perang model baru. Tanpa ada tentara berseragam, tanpa ada senjata api yang saling beradu yang biayanya sangat besar. Sekarang cukup pakai senjata alat komunikasi dan system informasi, satu Negara bisa menguasai Negara lain. Kita tidak merasa bahwa saat ini sebenarnya sedang berperang melawan musuh yang tak kasat mata berupa virus yang mendatangkan penyakit. Dampaknya begitu dahsyat dirasakan oleh seluruh bangsa Indonesia. Secara sosial, budaya, agama, politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan masyarakat, pemerintahan porak poranda. Siapa tahu ini merupakan strategi perang generasi ke 4,” pak Asmuji menjelaskan.

“Penyakit ini kan datangnya dari Allah, apa hubungannya dengan perang generasi ke 4,” tanya pak Bukhori.

“Mungkin Allah memang ingin mengingatkan  dunia, dengan mengirim virus itu. Situasi ini lalu dimanfaatkan oleh aktor intelektual kelas RT sampai kelas dunia. dengan menyebar ketakutan, kekawatiran dan kepanikan pada bangsa Indonesia. Dampaknya iman dan imun masyarakat menjadi lemah, gampang kena sakit, wabah corona semakin berkembang biak. Pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan, mengeluarkan biaya beratus trilyun, mengerahkan aparat keamanan untuk mengawal pelaksanannya. Rakyat yang menderita karena tekanan ekonomi, mental, jiwa, raganya tertekan karena pergerakannya dibatasi, kemudian dengan sengaja atau tidak bertingkah melanggar hukum.” sahut pak Gunadi

“Lalu sebenarnya apa tujuan si Aktor intelektual, dalam hal ini ?” tanya pak Krisyanto

“Sebelum sampai pada kesimpulan tentang aktor intelektual, kita perhatikan bagaimana masyarakat biasa, orang elit maupun orang pemerintahan menangguk keuntungan sesuai porsinya masing-masing.” komen pak Sanjaya

“Misalnya aparat keamanan, relawan petugas kesehatan, penggali kubur, pembuat peti jenazah kebanjiran job sampai over job dan sampai kelelahan. Akan tetapi pundi-pundi penghasilan mereka juga bertambah gemuk, mudah-mudahan gajinya tidak disunat. Lain lagi dengan Broker Vaksin. Dengan dihambatnya lolos uji klinik Vaksin Nusantara buatan dalam negeri, maka siapa menangguk keuntungan yang sangat besar. Obat-obatan dan peralatan medis yang didatangkan dari luar negeri pun bisa menggemukkan pundi-pundi cukong,” kata pak Kris

“Jadi perang model generasi ke 4 itu aktor intelektual cukup bekerja di balik layar, memanfaatkan seluruh potensi dalam negeri yang menjadi target. Sosial, budaya, agama, ekonomi, politik, pendidikan, harta kekayaan, rakyat sipil, tentara, orang pemerintahan sebagai pionnya. Semua yang bisa digoyang dimanfaatkan untuk mencapai tujuannya. Indonesia adalah negara kaya bahan mentah, negeri yang indah bak surga dunia, tidak mustahil menjadi incaran dunia untuk menguasainya. Dua tahun terakhir ini, pendidikan bagi generasi muda dipertanyakan mutunya, tenggelam dalam kebebasan, ini akan berdampak buruk buat pertahanan Negara kita,” tambah pak Asmuji.

“Karena saat ini sedang perang tak kasad mata, maka sudah menjadi kewajiban seluruh rakyat Indonesia bersatu padu ikut berjuang, dengan segenap jiwa, raga, harta, tenaga dan pikiran. Kita semua bekerjasama bahu membahu antara rakyat sipil, tentara dan pemerintah. Patuh pada komando pemerintah, abaikan berita yang tak jelas sumbernya, rakyat segera kembali sehat, ekonomipun menguat,” Kata pak Bukhori.

“Sebentar lagi bulan kemerdekaan pak Bukhori, ..... MERDEKA!” seru mas Kris sambil mengepalkan tangannya, disambut mereka berempat dengan kata Merdeka pula.

 “Kesimpulannya, apa yang kita suka dari obrolan ini silahkan ambil, yang tak suka buang saja. Yang penting hati senang pikiran tenang, agar imun dan iman kita bertambah kuat. Laksanakan aturan dan anjuran dari pemerintah mengenai Prokes, PPKM, dengan penuh pengertian dan kesabaran. Bersatu dan bersabarlah, insya Allah dengan perjuangan dan do’a, Indonesia bisa melawan pandemi covid-19 pada waktunya. Setelah malam, pagi pun pasti datang. Allah  yang menciptakan jagad raya dan seisinya, Dia pula yang memeliharanya.” pak Gunadi membuat kesimpulan.

Mata hari semakin condong kebarat menuju ufuk cakrawala. Burung-burung pada pulang kesarangnya, bercengkerma dan membagi rejeki pada keluarganya. Suara tarhem bersautan di masjid-masjid dan musholla, menandai waktu maghrib segera tiba. Yang lagi asyik berdiskusi membubarkan diri. bersiap memenuhi panggilan Illahi Robbi.

T A M A T .

Jember, Juli 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERPEN TENBOK CINA MAHA KARYA DUNIA.

PEMBERITAHUAN.

STUDI BANDING KE CINA (RRC)