36 TAHUN BERKARIR DI PENDIDIKAN (Pengantar dan BAB I Pendahuluan)


KATA PENGANTAR.

Semua Orang pada dasarnya, mempunyai riwayat yang bisa dikisahkan dalam tulisan sejarah kehidupannya. Tidak peduli orang terkenal atau orang biasa semua memiliki riwayat hidup yang menarik untuk diketahui atau diceritakan kepada orang lain, paling tidak kepada anak cucu keluarga sendiri. Seperti pernah disampaikan oleh pemimpin besar revolusi Bung Karno, JASMERAH, jangan sekali kali melupakan sejarah.

Karena itulah saya sangat tertarik menulis tentang sejarah diri saya sendiri yang telah berjuang berkarir dibidang Pendidikan di Indonesia tercinta ini selama 36  tahun berlalu, dalam bentuk buku yang kemudian saya beri judul  36 tahun berkarir di pendidikan. Walau saya menyadari bahwa kisah ini tidak hebat seperti kisahnya orang-orang hebat, karena pada dasarnya saya hanyalah orang biasa dari masyarakat biasa.

Sumber bahan yang saya tulis adalah otentik dari dokumen tertulis berupa surat keputusan, surat keterangan, Sertifikat resmi dari fihak berwajib. Ada pula beberapa foto dokemen, dan dari ingatan pengalaman pribadi sebagai pelaku yang telah melakukan tindakan itu.
Tempat kejadian pengalaman pada dasarnya sebagian besar di Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Blitar, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Jember. Tetapi ada kaitannya dengan Surabaya, Jakarta Jepang, China, Thailand, Malaysia dan Singapura. Dari tahun 1981 – 1914, Namun sebagai pendahuluan saya selibkan cerita pengalaman dari tahun 1960 an.

Demikian dengan harapan diantara sekian banyak orang ada yang suatu saat membaca tulisan ini. Terima kasih kepada yang sudah membaca,

Jember, Mei 2020
Wassalam. penulis,

H.SUNYOTO, MPd.


oooOooo


BAB I
PENDAHULUAN.

1.1.      Bermain sekolah-sekolahan.

Ketika masih Sekolah Dasar (SD) kelas 3, tahun 1960 an, saya masih berumur 9 tahun. Sepulang sekolah, atau waktu liburan sering bermain sekolah-sekolahan. Muridnya adalah adik-adik, kakak, keponakan tetangga yang seumuran dengan ku. Tempat belajarnya di pendopo rumah kakek dirumah Jepun. Saya berperan menjadi gurunya, dengan iklash menyiapkan kursi, meja seadanya untuk kurang lebih 7 anak. Pelajaran yang saya berikan terutama membaca, menulis, berhitung, ditambah melukis dan nembang jawa atau menyanyi lagu-lagu nasional. Dalam sekali pertemuan hanya satu pelajaran itupun tidak ditentukan berapa menit alokasinya, pokok sudah bosan dan ingin bermain yang lain, maka jam pelajaran dinyatakan selesai.

Sebagai guru main-main, saya memperhatikan tingkah laku dan mencontoh Pak Tolu, guru kelas 3 di SD Dongko 1. Apa yang dilakukan oleh beliau itulah yang saya lakukan di sekolah kecil saya. Sekolah-sekolahan ini masuknya sore, itupun waktunya tidak rutin, pokoknya ada minat dari kami semua, maka masuklah sekolah ini untuk belajar. Pelajarannyapun juga berdasarkan minat mereka hari itu ya itulah topik belajarnya. Buku yang digunakan adalah buku milik sekolah kami masing-masing, pinjaman dari sekolah. 

Saya selaku guru, juga menyiapkan daftar absen atau daftar hadir, daftar nilai, dan rapot, hasil buatan saya sendiri. Murid saya ada 6 anak yakni mas Widodo putranya pak De Hardjo, mbak wiwik putrinya pakde Harno, dik Tutik adik saya, Kasinah tetangga Putrinya mbah Kasan, Yu Tumi putrinya pak de Dirun, mas Ayun putra pak de Harno. Setiap pelaksanaan pembelajaran, terlebih dahulu saya mengabsen mereka satu persatu seperti disekolah beneran. Lalu saya tanya belajar apa hari ini ? suara terbanyak itulah yang diikuti. Misalnya mereka sebagian besar menginginkan membaca, maka sayapun meminta mereka membuka bukunya dan membaca keras-keras di depan kelas (maksudnya kelas mainan itu) saya memberikan nilai atas kemampuan mereka versi saya. Karena saya sendiri juga masih murid maka menilainya ya subyektif. Kalau menurut saya bagus ya nilainya tinggi kalau menurut saya jelek ya nilainya rendah, jadi ada unsur like and dislike juga. Mereka berusaha keras untuk bisa mengikuti pelajaran agar mendapatkan nilai baik dari saya. Kalau semua sudah dapat giliran maka saya menawarkan pada mereka lalu mau belajar apa lagi. Kalau sebagian besar mereka mengatakan Pulang, ya kami pulang. Setiap pelaksanaan pembelajaran tidak ada target, tidak ada beban, kami semua saling iklash, dan masing-masing merasa senang menikmati permainan ini. Tidak hanya pelajaran disekolah main-main ini, sesekali kami mementaskan drama atau ludruk-ludrukan, dilihat oleh orang tua dan adik-adik kami. Kami masing-masing harus membeli karcis masuk dengan uang bohongan. Terkadang ada keributan dengan teman SD yang bukan murid sekolah main-main, ingin nonton pertunjukan kami tidak mau beli karcis dan tujuannya mengganggu. Kalau sudah demikian orang tua kami yang bertindak mengamankannya.

Dalam waktu empat bulan (catur wulan) sesuai jadwal disekolah formal yaitu penerimaan rapot catur wulan, maka saya memberikan rapot catur wulan kepada mereka. Sama seperti disekolah beneran, hanya rapornya saya buat sendiri memodifikasi rapor dari sekolah. Eksperesi mereka berbeda-beda ada yang senang, ada yang kurang senang, ada yang masa bodoh, ada yang biasa-biasa saja. Tetapi semuanya menghargai dan mau membawa pulang rapot sederhana serba tulisan tangan yang saya buat untuk mereka.

Tidak menyangka bahwa kemudian setelah saya dewasa, nasib membawa saya akhirnya menjadi guru beneran bahkan menjadi kepala sekolah. Mungkin aku ada bakat yang tidak kuketahui, mungkin dengan main-main itu secara tidak langsung merupakan pertanda atau isyarat dari Alloh SWT itulah kehidupan yang akan dijalani nantinya.

1.2. Masa Sekolah di SMEA Negeri Kediri.

Tahun 1965 bulan mei saya lulus SD Dongko 1 Kab Trenggalek. Masa sekolah SD kami diperpanjang karena situasi pemerintah Indonesia kurang stabil dengan adanya pemberontakan G 30 S PKI. Seharusnya Desember 1964 saya sudah ujian dan kelulusan, molor setengah tahun sampai mei atau juni 1965 baru ujian dan kelulusan SD.

Tahun 1968 saya lulus dari SMP PGRI Gotong Royong Trenggalek. Kakakku Suwarso selepas SMP Siang di Trenggalek, dia melanjutkan ke SMEA Negeri Tulung Agung dan ikut ngenger dirumah pak Lik Slamet Prawiro Admodjo.  Sebagian besar  teman seangkatan kakakku yang melanjutkan sekolah di SPG dan SMA Negeri Trenggalek. Aku bingung, tidak tahu mau sekolah apa. Yang jelas kalau jadi guru aku tidak suka. Aku inginnya nanti bekerja di kantor, diperusahaan atau di Kantor Pos sebagai pegawai tata usaha. Aku begitu tertarik melihat seorang pegawai kantor Pos yang melayani konsumen di bagian pemasaran. Mereka bekerja keras, begitu sibuk melayani konsumen. Menimbang surat atau paket, menulis resi, menerima uang pembayaran, menerima surat yang akan dikirim, menyetempel dengan stempel yang khas seperti palu, menulis resi dan sebagainya menurutku sangat mengasyikkan.

Hal demikian kuceritakan pada bapak dan kakakku. Lalu mereka mengarahkan aku sekolah di SMEA Saja. Pada waktu itu SMEA di Indonesia, masih baru berdiri. Sekolah yang sudah lama dan Populer dimasyarakat adalah SMA, SPG, STM, PGA. SMEA Negeri itu masih gencar-gencarnya dipromosikan sebagai sekolah jalur pendek untuk segera bekerja setelah lulus.
Sekolah SMEA terdekat, adanya di Tulungagung dan Kediri, di Trenggalek masih belum ada. Saya tidak mau di Tulungagung, karena sudah banyak keluarga yang numpang disana, lagi pula kakak sudah sekolah di SMEA sana, tidak enaklah satu sekolah, kakakpun demikian. Ku pilih di Kediri saja ikut Bude Windari. Disana ada saudara sepupu sebaya dengan saya.  Ternyata di Kediri, Mas Subyantoro putra ketiga Bude, sudah mendaftar ke STM, karena kakaknya Parsono juga lulusan STM Negeri Kediri. Dengan persetujuan Bude, kuminta tolong mas Parsono agar didaftarkan di STM Negeri dan di SMEA Negeri. Pada waktu pendaftaran, ayah pasrah bongkokan pada keluarga Bude Windari. Aku yang masih kurang pengalaman, belum punya celana panjang, maka disuruh bu De memakai celana milik mas Byan. Untuk mendaftar ke STM Negeri. Ternyata tidak bisa alias ditolak. Tinggi badanku kurang memenuhi syarat, kependekan. Gagal sudah keinginan sekolah di STM Negeri. Masih satu harapan yaitu di SMEA Negeri.

Disini pendaftarnya juga banyak, membuatku kawatir, jangan-jangan tidak diterima juga. Maka sebagai cadangan aku diantar mendaftar ke SMEA Dhoho, ini sekolah swasta lama dan terkenal dibanding SMEA Negeri yang masih baru berdiri. Konon Paklik Sumitro dan Mas Kusmadi dulu juga lulusan sekolah disana. Di SMEA Negeri tidak ada persyaratan tinggi badan minimal, yang penting persyaratan administrasi lengkap, bisa mendaftar. Pada saat itu tidak ada tes teori, penerimaan didasarkan rangking nilai beberapa mata pelajaran dan aku tidak yakin akan nilaiku sendiri, maklum aku dari SMP swasta. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sebelum pengumuman penerimaan, bu De Wiendari bersilaturahim kerumah Bapak Kepala SMEA Negeri diantar mbak Srie Lestari, Putri kedua bude yang sekolah di SMEA Negeri Kediri juga. Dengan membawa oleh-oleh dua buah roti Cake (roti ban), bude minta tolong supaya aku bisa diterima. Menurut Kepala sekolah setelah melihat daftar penerimaan, kebetulan saya masuk rangking diterima. Alhamdulillah setelah pengumuman aku benar-benar diterima sebagai siswa SMEA Negeri jurusan Tata Buku. Sungguh aku berhutang budi kepada Keluarga Bude Wiendari dan seluruh anggota keluarganya. Dalam hati aku harus berbakti, berjanji tidak akan membuat kecewa  beliau.

Aku diantar mas Parsono membeli kain seragam abu-abu Putih dan coklat krem Pramuka di toko kain pasar panjonan langganan Bude. Mas Parsono menjahitkan seragam untuk Mas Biyantoro dan kemudian seragamku juga, Alhamdulillah ya Rob, atas idzin Alloh kudiberi kemudahan melalui keluarga bude. Hari-hari pertama masuk sekolah aku diantar Mas Parsono atau mbonceng mbak Sri karena belum tahu jalan di Kota Kediri. Sampai akhirnya aku kenal akrab dengan teman-teman sekelasku. Bila berangkat sekolah tidak lagi diantar mas Parsono atau mbonceng mbak Sri, tetapi jam 06.00 tepat naik kereta api dari stasiun kecil Pasar Pahing gratis menuju tasiun KA kota Kediri di Jalan Dhoho. Bila sudah terdengar klakson kereta berarti aku harus cepat-cepat kalau perlu lari ke stasiun Pasar pahing. Banyak teman-teman dari kota Pesantren yang naik kereta itu. kami biasanya yang laki-laki turun di gang sebelum stasiun kota, biasanya kereta mulai sedikit pelan jalannya.
Kalau pulang jalan kaki bersama beberapa teman dari SMEA di jalan Monginsidi ke Tinalan tidak jauh dari pasar pahing Kediri. Jarak antara SMEA ke Tinali tidak terasaan  lumayan jauh, tetapi berjalan bersama teman menjadi tidak terasa. Kondisi seperti begitu berjalan sampai tiga tahun. Keterbatasan sarana transpotasi itulah, maka saya jarang bahkan tidak aktif dalam kegiatan ekstra Kurikuler disekolah.

Seperti komitmen awal, maka setelah sekolah selain belajar pelajaran sekolah, aku harus bantu meringankan pekerjaan dirumah karena Bude single parent, bekerja keras menghidupi keluarga dengan berdagang kue, berdagang kain dan barang kreditan lain sesuai pesanan pembeli. Aku bantu pekerjaan yang aku bisa misal marut pohong, mengepan kue prol, mengantar dan menjemput mas Puguh sekolah di SD kampung dalem, sambil menitip dan mengambil uang penjualan kue titipan ke pedagang pengecer, menagih cicilan uang barang kreditan ke beberapa pelanggan, memasak sayur lodeh, menanak nasi. Disini siapa yang longgar itulah yang dapat tugas membantu ini, itu.

Guru kesenianku di SMP, bu Djuwarni mengatakan aku ada bakat melukis, dan pak Suwarno mengatakan aku bakat menyanyi. Di SMEA Negeri pak Rusmadji guru Bahasa Indonesia mengatakan aku ada bakat seni sastra (puisi). Aku tidak mengerti semua itu, pikiran saya yang penting sekolah. Bila dirumah semua anggota keluarga termasuk saya dibiasakan disiplin belajar, tidak malu bekerja apa saja, oleh Bu De. Karena itu saya tidak mengalami kesulitan dalam sekolah maupun melaksanakan komitmen awal. Pengalaman selama ikut Bu De akhirnya menjadi pengalaman berharga kelak ketika aku dewasa dan menjalani karir kehidupan. Mandiri, bekerja keras, kreatif, bertanggungjawab, berani berkomunikasi dengan orang lain, yang ditanamkan dapat meresap sampai saya dewasa.

1.3. Tidak ada minat menjadi Guru.

Kuliah IKIP untuk menjadi seorang guru, sebenarnya bukan keinginan saya. Walaupun kakekku seorang guru, Bapakku seorang guru, Pakdeku budeku juga guru, banyak keluarga besarku berprofesi sebagai guru. Menurutku bentuk fisik dan performance diriku, sangat tidak mendukung untuk jadi guru. Tubuhku yang kurus krempeng, pendek, suara yang kurang berwibawa, dan sikap pemalu, membuat kurang percaya diri menjadi seorang guru.

Saya begitu bingung ketika ayah menyuruhku ke Surabaya untuk mendaftarkan ke Perguruan Tinggi mana yang saya inginkan. Sejak SMP saya punya keinginan untuk belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Jogyakarta. Kuingat kata-kata guruku saya punya bakat melukis, menyanyi dan membaca puisi, walaupun sebenarnya saya tidak menekuni dunia menggambar kecuali ada tugas dari guru. Ketika  mencoba menyampaikan keinginan saya, bapak tidak setuju karena menurut beliau, apa bisa hidup dengan menjadi pelukis. Mungkin bakat ada, tetapi kalau belum digeluti, masih sangat meragukan. Apakah kamu bersungguh-sungguh menjadi seorang pelukis atau hanya impian kosong belaka. Kuliah di sekolah swasta di Jogya selain biaya sekolah mahal biaya hiduppun mahal. Aku tidak berani membantah argumentasi bapak terutama kalau sudah menyangkut biaya. Sehingga aku langsung menyerah begitu saja, pupus sudah keinginan menjadi seniman. Tetapi ada beberapa keinginan lain dibenak saya.

Pernah terlintas dibenak saya, ingin menjadi wartawan. Kerjanya bebas, menulis berita, berpenampilan bebas hampir sama seperti seniman. Potongan rambut bebas, berkenalan dengan orang-orang penting dan orang terkenal. Saya tidak berpikir apakah kerja sebagai wartawan punya penghasilan cukup atau tidak.  Itulah yang mendasari pemikiran saya ingin kuliah di Akademi wartawan Surabaya (AWS).  Mengapa harus di Surabaya, ya karena Surabaya relative dekat dengan Trenggalek. Disitu banyak saudara. Hidup di kota lain belum pernah mencoba jadi tidak ada keberanian.  Keluarga memberi gambaran bagaimana kehidupan seorang wartawan. Namanya orang desa, maka dasar pertimbangan mereka adalah kehidupan pedesaan yang reperensinya sesuai latar belakang pengetahuan mereka. Yaitu sebagai guru, petani, dokter, polisi, tentara, pegawai negeri, petani, pedagang. Kehidupan sebagai wartawan, seniman,  kurang diperhitungkan. Saya sendiri tidak berani gambling dengan masa depan saya, karena yang terpikir adalah setelah lulus kuliah, saya harus segera bekerja dan membantu finansial orang tua. Rasa kasihan menyaksikan kesulitan orang tua membiayai sepuluh orang anak, membuatku tidak berani mempertahankan impian untuk menjadi kenyataan.

Terbayang juga menjadi seorang Sinder Pabrik Gula. Saya bayangkan, hidup sebagai sinder itu enak. Dapat menempati perumahan mewah dan besar, punya inventaris mobil, lengkap dengan berbagai fasilitas, ber AC, Kursi sofa besar mewah, kamar luas dan dingin, TV, Home teatre, pokoknya semua lengkap. Inventaris mobil tersedia dengan sopirnya sekali. Gajinya so pasti gede , dihormati oleh banyak karyawannya, hidup begitu kurang enak bagaimana coba ? Untuk itu maka ada keinginan untuk kuliah di Akademi Gula Surabaya (AGS). Terhadap keinginan inipun lagi-lagi gagal dan saya tidak berani mempertahankan keinginan saya. Alasannya sama kalau sudah menyangkut biaya hidup, biaya sekolah, dan keharusan segera bekerja setelah lulus maka saya menjadi tidak berdaya kecuali menurut keinginan orang tua.

Pilihan ke empat Perguruan Tinggi Pembangunan Nasional (PTPN). Dari tiga itu akhirnya saya daftar di PTPN Surabaya. Membayar uang Pembangunan atau uang Gedung. Sementara dua lainnya tidak direkomendasi oleh kakak saya dan pak lik saya karena perguruan tinggi itu swasta dan kurang prospek. Sebenarnya kalau saya sih sudah mantap disitu. Di PTPN akhirnya tidak jadi masuk karena PT itu swasta dan biayanya mahal. Jaminan untuk segera mendapatkan pekerjaan setelah lulus, kecil, begitu saran beberapa keluarga. Saran lain terakhir adalah dari Keluarga, mas Tom namanya. Dia kuliah di IKIP Negeri Surabaya yang sambil kuliah sudah bekerja mengajar di suatu sekolah swasta di Surabaya. Penjelasan panjang lebar akhirnya mempengaruhi idealisme keinginan saya menjadi Sinder Pabrik Gula atau Wartawan kondang harus pupus, ahli ekonomi Apalagi ketika ayah akhirnya juga sangat setuju kalau  masuk di IKIP saja. Dengan pertimbangan jaminan kelangsungan kuliah lebih pasti karena di Negeri, jaminan segera bekerja setelah lulus lebih pasti, karena Indonesia waktu itu masih kekurangan guru.


1.4. Menjalani Kuliah di IKIP Negeri Surabaya.

Semua impian harus saya lupakan, mungkin ini sudah jalanku yang ditetapkan Alloh SWT. Karena akhirnya saya mendaftar gelombang kedua kemudian diterima kuliah di IKIP Negeri Surabaya, Jalan ketintang. Saya ambil jurusan Ekonomi Perusahaan Fakultas Keguruan Ilmu Sosial (FKIS). Siapa tahu nanti bisa bekeja di Perusahaan, sehingga tidak harus jadi guru. Setelah diterima para mahasiswa baru, diberi formulir sumbangan peralatan ke kampus. Saya lihat sumbangan teman-teman ada yang berupa meja kursi, rak buku. Dan aku sendiri disarankan oleh ayah menyumbang dua kotak pita mesin Tik baru, biar tidak berat.

 Tahun pertama kuliah di IKIP, diawali dengan kegiatan POSMA selama seminggu. Ciri khas perploncoan, Kepala plontos, atribut macam-macam seperti orang gila, periku dzolim oleh kakak tingkat dengan mengatas namakan serba disiplin. Karena tubuhku yang kecil pendek maka kudiberi jabatan Jendril atau wakil Jendral. Jendralnya anak dari Menado tubuhnya tinggi sekali. Bila apel barisan, tempatku selalu di depan bersama Jendral, sehingga tidak boleh ada kata terlambat, begitu setiap hari harus bangun pagi-pagi membawa tugas yang diberikan, lalu kegiatan full seharian sampai malam, pulang badan capeknya minta ampun, begitupun tidak bisa langsung istirahat bila ada tugas yang harus dikumpulkan esok paginya. Kalau semuanya sudah beres barulah bisa istirahat.

Ada dua kejadian yang masih tetap kuingat sampai sekarang, pertama aku dikerjain oleh pejual anggur di jembatan wonokromo. Karena tahu saya anak ploncoan mereka memanfaatkan kedunguan saya yaitu diberi minum satu sloki anggur bilangnya gratis. Lalu diberi yang kedua, ketiga, keempat, kelima dan keenam. Ketika aku akan berlalu meneruskan perjalanan ke kampus, kuditahan suruh bayar Rp 30.000. Ketika kujawab loh kan tadi bilangnya gratis, kok disuruh baya. Dia menjawab hanya sloki pertama yang gratis lainnya harus bayar. Kalau tidak mau bayar tidak apa-apa, tapi akan saya laporkan kakak senior panitia, dan pasti akan panjang urusannya. Aku yang culun bertubuh kecil dari desa digedag seperti itu tentu sudah keder. Dari pada ramai urusannya lebih baik kubayar saja. Dalam batin walau bagaimana aku yang salah kenapa disuruh minum aku mau saja, oh dasaar penipu

Kejadian kedua ketika pagi-pagi masih sekitar jam lima pagi, aku naik sepeda ke Kantor Pusat IKIP di Jalan Kayoon. Dikerjain oleh anak yang kukira dia itu anggota panitia. Sampai didepan diluar pagar kantor, kudicegat anak, disuruh turun, disuruh copot kaos kaki saya yang bauknya minta ampun dan disuruh gigit. Lalu disuruh jalan mundur sambil dorong sepedaku. Karena kupikir dia panitia tentu saja aku menurut mengerjakan itu semua. Setelah beberapa meter berjalan, anak yang menyuruh itu sudah belok di gang atau kemana. Aku lihat di halaman kantor pusat masih sepi. Ku mulai curiga bahwa sebenarnya ku dikerjai. Sialan bodohnya aku. Dalam hati kuberkata betapa gampangnya diriku ditipu orang, lain kali tidak boleh terjadi, aku harus berhati-hati.

Paska POSMA, rambutku masih kelihatan plontos. Kuliahpun dimulai, beberapa teman laki-laki memakai wig (rambut palsu) untuk menutupi plontosnya, sehingga keihatan gondrong seperti kakak senior. Disiplin ketika masa kuliah benar-benar diterapkan  Masalah pakaian kalau lengan panjang harus dikancingkan tidak boleh di lipat. Masalah rambut harus rapi tidak boleh gondrong, kalau panjang dirasia dipotong oleh dosen. Begitu iri rasanya melihat mahasiswa lain seperti anak UNAIR, ITS, atau Perguruan Tinggi swasta lain. Mereka bebas dalam berpakaian dan bergaya rambut. Kalau di IKIP penampilan lugu, harus seperti guru, pakaian rapi, rambut rapi yah kelihatan culun gitu deh. Beda sekali dengan keinginan saya yang mendambakan kebebasan. Tetapi mau tidak mau, suka tak suka harus tetap dijalani sampai lulus. Alhamdulillah nilai semester pertama dan kedua tahun pertama (1973) terbilang bagus. Sempat dinominasikan untuk mendapatkan Bea siswa tetapi karena kuota terbatas dan kalah dalam prestasi nilai maka batal mendapatkan bea siswa.  

Tahun kedua dan ketiga, masalah kerapian dalam penampilan sudah tidak seketat tahun  pertama. Materi kuliah ditahun pertama, kedua berjalan aman-aman saja. Tanpa hambatan berarti. Semua mata pelajaran bisa lulus dengan nilai A atau B. Sejak tahun pertama kuliah di IKIP, ada kekuatiran yang membuatku tersiksa, bila membayangkan bagaimana nanti kalau praktek mengajar. Saya memotivasi diri “ AKU HARUS SEGERA LULUS DAN SEGERA BEKERJA, DEMI AYAH, IBU DAN SAUDARA” setiap ada masalah yang mengganggu terselesainya kuliah, termasuk masalah menghadapi kegiatan praktek yang akan dilaksanakan di tahun ke empat nanti. selalu kuucapkan kata-kata motivasi diatas.

Tahun keempat, tibalah waktu yang mendebarkan, yaitu pelaksanaan Praktek Mengajar. Saya dan Wahyu Aji sama-sama dari jurusan Ekonomi Perusahaan, Praktek di SMEA Negeri 2 Kranggan Surabaya mengajar Tata Buku atau Akuntansi. Teman lain ada yang mengajar ekonomi, ada yang mengajar Hitung Dagang. Minggu-minggu pertama dan kedua kami diberi kesempatan orientasi lingkungan, orientasi kelas ketika pak Gik (Drs Sugiarto)  guru pembimbing mata pelajaran akuntansi sedang mengajar. Membuat jadwal kegiatan Praktek, membuat persiapan mengajar Akuntansi kelas 1. Bagiku  penguasaan materi pelajaran bukan masalah, karena akuntansi atau tata buku aku bisa. Karena aku alumni SMEA jurusan Tata Buku. Yang saya merasa kurang siap adalah justru mental malu dan kurang percaya diri, berdiri didepan para siswa.

Untuk mengurangi rasa malu dan kurang Percaya Diri, maka  beberapa bulan sebelum melaksanakan kegiatan Praktek mengajar saya ikut kegiatan Teater di Bengkel Muda Surabaya dan Beladiri silat Perisai Diri di Kampus IKIP.  Hasilnya lumayan, dapat menolong penampilan saya dalam melaksanakan praktek Mengajar. Memang minggu-minggu pertama sampai kedua, mengajar masih grogi, gugup, muka merah, suhu badan naik, gerah dan berkeringat. Terkadang pikiran jadi blank tiba-tiba kehabisan kata-kata. Awal-awal saya dan Wahyu Aji teman saya, selalu masuk bersama-sama ke kelas didampingi pak Gik. Bila saya sedang mengajar, Wahyu yang mencatat segala tingkah laku saya dalam mengajar, baik yang positif maupun negative. Wahyu memberi masukan kepadaku, selain pak Gik sebagai pembimbing. Demikian juga sebaliknya bila Wahyu mengajar, tugas saya mencatat dan memberi masukan padanya  selain dari pak Gik. Nilai praktek yang diberikan oleh pak Gik merangkak dari hari kehari mulai dari 6,00 sampai akhirnya 8,00 dengan berbagai saran perbaikan.

Dentang bel tanda masuk atau pergantian jam pelajaran masih mengagetkanku bila ada jadwal mengajar. Sambil berjalan kekelas, saya tenangkan degup jantung, dengan menarik nafas dalam-dalam, lalu dihembuskan pelan-pelan melalui hidung. Sampai dikelas diam sejenak baru kemudian mengucapkan salam kepada para siswa setelah berhasil menenangkan diri. Demikan selalu berulang-ulang saya lakukan ketika mengajar, tidak terasa sebulan, sudah dilalui, dua bulan, tiga, empat bulan selesai sudah kegiatan praktek mengajar yang paling saya takutkan selama kuliah di IKIP.

Setelah itu memasuki masa Kuliah Kerja Nyata (KKN). Saya KKN di SMA Negeri Jombang. Setiap hari mengajar pelajaran ekonomi dan yang paling susah kalau disuruh mengisi di kelas yang kosong tidak ada gurunya. Dengan jam terbatas hanya sekitar dua jam pelajaran, tetapi kalau tidak ada persiapan hanya sekedar spontanitas juga susah. Kreativitas guru benar-benar ditantang disini. Kalau mengajar kan ada materi yang sudah dipersiapkan tidak masalah, ini kalau spontanitas, susahkan. Belum lagi kalau disuruh mengisi ekstra kurikuler Pramuka misalnya kami para mahasiswa kelabakan kalau tidak pernah ikut pramuka. Jadi selama KKN ini kami banyak mengambil pengalaman dari guru pembimbing, guru senior disekolah itu. Jangan berlagak sok pintar kalau memang belum bisa, malu bertanya sesat dijalan akhirnya. Seandainya saya memang sejak awal suka jadi guru seperti teman saya Rofi’i itu maka tidak ada masalah. tetapi karena saya awalnya kurang berminat jadi guru maka susah sekali untuk menjiwai sebagai seorang guru. Dengan susah payah dengan batin yang tersiksa, KKN selama tiga bulan bisa terselesaikan.

Tahun kelima adalah waktu pembuatan skripsi dan ujian skripsi. Saat ini sudah tidak ada masa perkuliahan maka saya bisa lebih santai dan banyak waktu untuk penyelesaian skripsi.  Tetapi rencana Allah memang beda dengan rencana manusia. Proposal judul dan kerangka skripsi yang kuajukan kepada dosen pembimbing tidak segera mendapatkan persetujuan. Satu dosen berinisial Sht dengan mudah dan cepat langsung menyetujui proposal skripsi saya. Satu dosen lainnya berinisial Lqm, sulit sekali saya temui. Kalau ditemui di kampus jawabnya sibuk, kalau ditemui dirumahnya dia tidak bersedia menemui selalu begitu. Entah apa salahku pada dosen itu sehingga dia mendzolimiku. Sebulan, dua bulan tiga bulan masih belum kelar juga membuatku frustasi. Ada rasa malas dan berat mengurus penyelesaian skripsiku. Untung temanku berinisial ASR yang dulunya teman segroup belajar bersama, sudah melanjutkan ke Program S1 datang mensuport agar aku tidak berputus asa.

“Ketika kuliah diprogram Sarjana muda dulu kaulah pelopor kami, eh kini dunia sudah terbalik, ayolah kawan” begitu sindirnya.

“Aku menjadi frustasi karena perlakuan pak Lqm yang tidak segera menyetujui proposalku judul dan kerangka skripsiku” jawabku

ASR memberi saran yang dan menurutku sangat masuk akal. Membuatku bangkit dan ditemani olehnya menghadap sang dosen. Seperti mukjizat, proposal skripsi langsung disetujui. Alhamdulillah tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan asal tidak berputus asa. Lalu dengan semangat menggebu, satu persatu kuselesaikan dan akhirnya urusan skripsi siap. Ujian skripsi tidak menjadi masalah karena Materi yang diujikan aku lebih tahu dari para dosen itu. Ada satu dosen senior berinisial Hrh yang agak menyulitkan. Yaitu mempermasalahkan tentang penulisan catatan kaki, dan itu dapat kuatasi dengan menunjukkan buku reverensi tentang catatan kaki. Namun masih harus ada revisi beberapa lembar dan aku bisa menerima. Subhanalloh akhirnya semua beres dan aku dinyatakan lulus skripsiku, dan tidak lama kemudian ikut diwisuda tahun (1977) dengan menyandang gelar Sarjana Muda dalam waktu lima tahun.


Kalau dipikir-pikir sebetulnya kesulitan itu karena kubuat sendiri. Kuingin membuat skripsi yang beda dengan mahasiswa lain maka kesulitan terjadi. Seharusnya aku berfikir simple seperti kata teman-teman “Kalau ada jalan yang mudah kenapa harus mencari jalan yang sulit”. Begitu lamanya dan begitu sulitnya pendidikan untuk menempuh gela Sarjana Muda. beruntunglah mahasiswa program baru yaitu program Diploma (1,2,3) dan program Sarjana (Strata 1,2,3) tidak melalui program Sarjana Muda, minimal 5 tahun, kalau jadi pegawai negeri golongan pangkat (II/b) . Kalau S1 bisa ditempuh 4 tahun, kalau jadi pegawai negeri golongan pangkat langsung (III/a) 

1.5. Memanfaatkan Waktu Luwang.

Diatas telah saya ceritakan bahwa aku sempat frustasi menunggu persetujuan proposal skripsiku. Sungguh masa ini membuatku galau karena banyak menganggur. Kucoba melamar pekerjaan ke berbagai kantor. tak satupun menerimaku. Sedikit demi sedikit aku menjauhi hubungan dengan teman-teman kampus, lebih mendekat ke pergaulan anak-anak teater Bengkel Muda, dan pergaulan anak kampung petemon. Pergaulan dengan anak muda di Bengkel muda membawaku lebih menjiwai hidup ala seniman yang tentunya ada segi positif maupun negatifnya. Sayangnya aku lebih banyak menjiwai segi negatifnya, misalnya dalam hal berpenampilan, dan berperilaku. Mendekat kepada anak kampung Patemon, kebanyakan mereka sudah tidak sekolah atau putus sekolah, mereka bekerja sebagai tukang duco (cat mobil). Kebiasaan mereka pada malam minggu bersenang-senang mencari hiburan terkadang mo limopun dilakoninya, karena mereka punya uang gajian setiap sabtu. Sebetulnya aku sudah menahan diri untuk tidak terpengaruh tetapi karena kesepian dan tidak ada pekerjaan maka akupun terbawa arus juga. Urusan cinta dengan seorang wanita inipun membuatku fustasi karena ternyata dilamar teman sekampung kami, yang segala sesuatunya lebih mapan lebih siap dibanding saya. Sungguh kutak kuasa mempertahankan kehidupan secara positif.

            Untuk keluar dari kondisi negatif itu aku harus berusaha keras mencari pekerjaan. Alhamdulillah berkat koneksi Paklik dan kakakku maka aku bisa bekerja di Perum Perhutani Kantor Pelaksana Ekspor di daerah Tandes, pada bagian Kepegawaian. Awal mula Status kepegawaian adalah “Pegawai harian Lepas Terbatas (PHLT)” Disini saya hidup lebih tenang, lebih terarah. Walau upahnya kecil ternyata kubertahan sampai dua tahun lebih disini (1978-1980. Sampai suatu saat pak Asisten Administrator bapak Hyn memberi saran

“jangan buang waktu, sebaiknya adik melamar menjadi guru saja itu lebih pas, sesuai ijasah yang dimilikinya. Kalau berharap bisa berkarir disini lama, dan tidak ada kepastian pengangkatan. Perhutani itu kan punya sekolah sendiri dan lulusannya pasti diangkat dengan pegang jabatan langsung, paling tidak kepala meja. Sekali lagi pikirkan di gurupun semakin lama lulusan guru juga banyak dan yang lulusan lama juga akan terdesak oleh yang baru lulus karena masih fresh.”

            Kurenungkan benar-benar saran pak Hyn itu, sampai akhirnya kumengambil keputusan. Dalam kegalauan aku pulang kampung ke Dongko. Maksudnya mau cari kerja disana saja atau bertani saja. Dikala menganggur kukerjakan bersih-bersih rumah, perbaikan, pengecatan dinding, pagar, lantai rumah. Sampai suatu saat kubertemu Pak Wjt kepala SMP 45 Dongko. Kukatakan maksud hati untuk membantu mengajar disana. Ringkas cerita aku diterima dan kemudian mengajar di SMP itu. Aku tidak terlalu berpikir digaji berapa, yang penting bagiku adalah mencari kesibukan yang positif. Aku merasa ayah ibuku pasti merasa kecewa dengan kondisi seperti ini. Aku satu-satunya anak yang dibiayai kuliah di Surabaya ternyata hasilnya masih menganggur seperti itu, tapi harus bagaimana ?

 1.6. Diangkat PNS sebagai Guru di SMK.

Ketika masih kerja di Perhutani KPE Tandes Surabaya kupernah mencoba tes PNS dua kali di Surabaya. Tes Pertama tidak lolos. Tes kedua ku titip no tesku ke Bude Wiendari Poerwo untuk dititipkan kepada Pak Wly. Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur yang kebetulan masih ada hubungan saudara dengan beliau. Dengan harap-harap cemas, sambil menunggu pengumuman penerimaan PNS itu ku menyibukkan diri mengajar di SMP 45 Dongko. Disini adalah pilihan terpaksa karena tidak ada pilihan lain. Aneh melihat murid-murid yang lugu dan sederhana, timbul keiginan saya untuk membantu mengajak mereka untuk maju, bercita-cita tinggi, berpendidikan tinggi. Kini saya mengajar lebih serius, lebih menjiwai, dengan segala ketulusan hati. Disambut gairah belajar, keingin tahuan para murid membuatku kerasan mengajar disekolah ini. Sayang keadaan itu hanya berlangsung satu semester, karena aku ternyata telah lulus menjadi PNS. Mau tidak mau aku harus meninggalkan mereka yang sudah mulai saling respon, saling mencintai sekolah dan belajar.

            Tahun 1981 saya mendapat Surat keputusan sebagai Guru SMEA Negeri Blitar. Dengan mantap suatu hari aku menghadap Kepala sekolah, untuk siap menjai guru di SMEA Negeri Blitar. Tetapi apa yang terjadi ? Saya ditolak, dengan alasan sudah ada GTT yang memegang pelajaran ini, penampilan saya tidak seperti guru, tidak meyakinkan. Dengan penolakan ini saya berjanji pada diri saya sendiri untuk menjadi guru yang berprestasi. Kuminta Kepala sekolah menulis penolakan saya untuk saya bawa kembali ke Dinas Pendidikan Jawa Timur. Disana saya katakan tidak bersedia menjadi guru di SMEA Blitar. Saya minta ditugaskan di sekolah lain saja.     Ada dua tawaran dari petugas dinas Pendidikan Jawa Timur yakni di SMEAN Bangkalan dan SMEA Negeri Kraksaan. Dengan segala pertimbangan dan mungkin sudah di rencanakan Tuhan, maka aku memilih bertugas di Kecamatan Kraksaan Kabupaten Probolinggo. Disini karena masih baru dinegrikan. Jadi saya satu-satunya guru PNS selain Kepala Sekolahnya.

           

oooOooo


 

 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERPEN TENBOK CINA MAHA KARYA DUNIA.

PEMBERITAHUAN.

STUDI BANDING KE CINA (RRC)