36 TAHUN BERKARIR DI PENDIDIKAN (Pengantar dan BAB I Pendahuluan)
1.3. Tidak ada minat menjadi Guru.
Kuliah IKIP untuk menjadi seorang guru, sebenarnya bukan keinginan saya. Walaupun kakekku seorang guru, Bapakku seorang guru, Pakdeku budeku juga guru, banyak keluarga besarku berprofesi sebagai guru. Menurutku bentuk fisik dan performance diriku, sangat tidak mendukung untuk jadi guru. Tubuhku yang kurus krempeng, pendek, suara yang kurang berwibawa, dan sikap pemalu, membuat kurang percaya diri menjadi seorang guru.
Saya begitu bingung ketika ayah menyuruhku ke Surabaya untuk mendaftarkan ke Perguruan Tinggi mana yang saya inginkan. Sejak SMP saya punya keinginan untuk belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Jogyakarta. Kuingat kata-kata guruku saya punya bakat melukis, menyanyi dan membaca puisi, walaupun sebenarnya saya tidak menekuni dunia menggambar kecuali ada tugas dari guru. Ketika mencoba menyampaikan keinginan saya, bapak tidak setuju karena menurut beliau, apa bisa hidup dengan menjadi pelukis. Mungkin bakat ada, tetapi kalau belum digeluti, masih sangat meragukan. Apakah kamu bersungguh-sungguh menjadi seorang pelukis atau hanya impian kosong belaka. Kuliah di sekolah swasta di Jogya selain biaya sekolah mahal biaya hiduppun mahal. Aku tidak berani membantah argumentasi bapak terutama kalau sudah menyangkut biaya. Sehingga aku langsung menyerah begitu saja, pupus sudah keinginan menjadi seniman. Tetapi ada beberapa keinginan lain dibenak saya.
Pernah terlintas dibenak saya, ingin menjadi wartawan. Kerjanya bebas, menulis berita, berpenampilan bebas hampir sama seperti seniman. Potongan rambut bebas, berkenalan dengan orang-orang penting dan orang terkenal. Saya tidak berpikir apakah kerja sebagai wartawan punya penghasilan cukup atau tidak. Itulah yang mendasari pemikiran saya ingin kuliah di Akademi wartawan Surabaya (AWS). Mengapa harus di Surabaya, ya karena Surabaya relative dekat dengan Trenggalek. Disitu banyak saudara. Hidup di kota lain belum pernah mencoba jadi tidak ada keberanian. Keluarga memberi gambaran bagaimana kehidupan seorang wartawan. Namanya orang desa, maka dasar pertimbangan mereka adalah kehidupan pedesaan yang reperensinya sesuai latar belakang pengetahuan mereka. Yaitu sebagai guru, petani, dokter, polisi, tentara, pegawai negeri, petani, pedagang. Kehidupan sebagai wartawan, seniman, kurang diperhitungkan. Saya sendiri tidak berani gambling dengan masa depan saya, karena yang terpikir adalah setelah lulus kuliah, saya harus segera bekerja dan membantu finansial orang tua. Rasa kasihan menyaksikan kesulitan orang tua membiayai sepuluh orang anak, membuatku tidak berani mempertahankan impian untuk menjadi kenyataan.
Terbayang juga menjadi seorang Sinder Pabrik Gula. Saya bayangkan, hidup sebagai sinder itu enak. Dapat menempati perumahan mewah dan besar, punya inventaris mobil, lengkap dengan berbagai fasilitas, ber AC, Kursi sofa besar mewah, kamar luas dan dingin, TV, Home teatre, pokoknya semua lengkap. Inventaris mobil tersedia dengan sopirnya sekali. Gajinya so pasti gede , dihormati oleh banyak karyawannya, hidup begitu kurang enak bagaimana coba ? Untuk itu maka ada keinginan untuk kuliah di Akademi Gula Surabaya (AGS). Terhadap keinginan inipun lagi-lagi gagal dan saya tidak berani mempertahankan keinginan saya. Alasannya sama kalau sudah menyangkut biaya hidup, biaya sekolah, dan keharusan segera bekerja setelah lulus maka saya menjadi tidak berdaya kecuali menurut keinginan orang tua.
Pilihan ke empat Perguruan Tinggi Pembangunan Nasional
(PTPN). Dari tiga itu akhirnya saya daftar di PTPN Surabaya. Membayar uang
Pembangunan atau uang Gedung. Sementara dua lainnya tidak direkomendasi oleh
kakak saya dan pak lik saya karena perguruan tinggi itu swasta dan kurang
prospek. Sebenarnya kalau saya sih sudah mantap disitu. Di PTPN akhirnya tidak
jadi masuk karena PT itu swasta dan biayanya mahal. Jaminan untuk segera
mendapatkan pekerjaan setelah lulus, kecil, begitu saran beberapa keluarga.
Saran lain terakhir adalah dari Keluarga, mas Tom namanya. Dia kuliah di IKIP
Negeri Surabaya yang sambil kuliah sudah bekerja mengajar di suatu sekolah
swasta di Surabaya. Penjelasan panjang lebar akhirnya mempengaruhi idealisme
keinginan saya menjadi Sinder Pabrik Gula atau Wartawan kondang harus pupus,
ahli ekonomi Apalagi ketika ayah akhirnya juga sangat setuju kalau masuk di IKIP saja. Dengan pertimbangan
jaminan kelangsungan kuliah lebih pasti karena di Negeri, jaminan segera
bekerja setelah lulus lebih pasti, karena Indonesia waktu itu masih kekurangan
guru.
1.4. Menjalani Kuliah di IKIP Negeri Surabaya.
Semua impian harus saya lupakan, mungkin ini sudah jalanku yang ditetapkan Alloh SWT. Karena akhirnya saya mendaftar gelombang kedua kemudian diterima kuliah di IKIP Negeri Surabaya, Jalan ketintang. Saya ambil jurusan Ekonomi Perusahaan Fakultas Keguruan Ilmu Sosial (FKIS). Siapa tahu nanti bisa bekeja di Perusahaan, sehingga tidak harus jadi guru. Setelah diterima para mahasiswa baru, diberi formulir sumbangan peralatan ke kampus. Saya lihat sumbangan teman-teman ada yang berupa meja kursi, rak buku. Dan aku sendiri disarankan oleh ayah menyumbang dua kotak pita mesin Tik baru, biar tidak berat.
Tahun pertama kuliah di IKIP, diawali dengan kegiatan POSMA selama seminggu. Ciri khas perploncoan, Kepala plontos, atribut macam-macam seperti orang gila, periku dzolim oleh kakak tingkat dengan mengatas namakan serba disiplin. Karena tubuhku yang kecil pendek maka kudiberi jabatan Jendril atau wakil Jendral. Jendralnya anak dari Menado tubuhnya tinggi sekali. Bila apel barisan, tempatku selalu di depan bersama Jendral, sehingga tidak boleh ada kata terlambat, begitu setiap hari harus bangun pagi-pagi membawa tugas yang diberikan, lalu kegiatan full seharian sampai malam, pulang badan capeknya minta ampun, begitupun tidak bisa langsung istirahat bila ada tugas yang harus dikumpulkan esok paginya. Kalau semuanya sudah beres barulah bisa istirahat.
Ada dua kejadian yang masih tetap kuingat sampai sekarang, pertama aku dikerjain oleh pejual anggur di jembatan wonokromo. Karena tahu saya anak ploncoan mereka memanfaatkan kedunguan saya yaitu diberi minum satu sloki anggur bilangnya gratis. Lalu diberi yang kedua, ketiga, keempat, kelima dan keenam. Ketika aku akan berlalu meneruskan perjalanan ke kampus, kuditahan suruh bayar Rp 30.000. Ketika kujawab loh kan tadi bilangnya gratis, kok disuruh baya. Dia menjawab hanya sloki pertama yang gratis lainnya harus bayar. Kalau tidak mau bayar tidak apa-apa, tapi akan saya laporkan kakak senior panitia, dan pasti akan panjang urusannya. Aku yang culun bertubuh kecil dari desa digedag seperti itu tentu sudah keder. Dari pada ramai urusannya lebih baik kubayar saja. Dalam batin walau bagaimana aku yang salah kenapa disuruh minum aku mau saja, oh dasaar penipu
Kejadian kedua ketika pagi-pagi masih sekitar jam lima pagi, aku naik sepeda ke Kantor Pusat IKIP di Jalan Kayoon. Dikerjain oleh anak yang kukira dia itu anggota panitia. Sampai didepan diluar pagar kantor, kudicegat anak, disuruh turun, disuruh copot kaos kaki saya yang bauknya minta ampun dan disuruh gigit. Lalu disuruh jalan mundur sambil dorong sepedaku. Karena kupikir dia panitia tentu saja aku menurut mengerjakan itu semua. Setelah beberapa meter berjalan, anak yang menyuruh itu sudah belok di gang atau kemana. Aku lihat di halaman kantor pusat masih sepi. Ku mulai curiga bahwa sebenarnya ku dikerjai. Sialan bodohnya aku. Dalam hati kuberkata betapa gampangnya diriku ditipu orang, lain kali tidak boleh terjadi, aku harus berhati-hati.
Paska POSMA, rambutku masih kelihatan plontos. Kuliahpun dimulai, beberapa teman laki-laki memakai wig (rambut palsu) untuk menutupi plontosnya, sehingga keihatan gondrong seperti kakak senior. Disiplin ketika masa kuliah benar-benar diterapkan Masalah pakaian kalau lengan panjang harus dikancingkan tidak boleh di lipat. Masalah rambut harus rapi tidak boleh gondrong, kalau panjang dirasia dipotong oleh dosen. Begitu iri rasanya melihat mahasiswa lain seperti anak UNAIR, ITS, atau Perguruan Tinggi swasta lain. Mereka bebas dalam berpakaian dan bergaya rambut. Kalau di IKIP penampilan lugu, harus seperti guru, pakaian rapi, rambut rapi yah kelihatan culun gitu deh. Beda sekali dengan keinginan saya yang mendambakan kebebasan. Tetapi mau tidak mau, suka tak suka harus tetap dijalani sampai lulus. Alhamdulillah nilai semester pertama dan kedua tahun pertama (1973) terbilang bagus. Sempat dinominasikan untuk mendapatkan Bea siswa tetapi karena kuota terbatas dan kalah dalam prestasi nilai maka batal mendapatkan bea siswa.
Tahun kedua dan ketiga, masalah kerapian dalam penampilan sudah tidak seketat tahun pertama. Materi kuliah ditahun pertama, kedua berjalan aman-aman saja. Tanpa hambatan berarti. Semua mata pelajaran bisa lulus dengan nilai A atau B. Sejak tahun pertama kuliah di IKIP, ada kekuatiran yang membuatku tersiksa, bila membayangkan bagaimana nanti kalau praktek mengajar. Saya memotivasi diri “ AKU HARUS SEGERA LULUS DAN SEGERA BEKERJA, DEMI AYAH, IBU DAN SAUDARA” setiap ada masalah yang mengganggu terselesainya kuliah, termasuk masalah menghadapi kegiatan praktek yang akan dilaksanakan di tahun ke empat nanti. selalu kuucapkan kata-kata motivasi diatas.
Tahun keempat, tibalah waktu yang mendebarkan, yaitu pelaksanaan Praktek Mengajar. Saya dan Wahyu Aji sama-sama dari jurusan Ekonomi Perusahaan, Praktek di SMEA Negeri 2 Kranggan Surabaya mengajar Tata Buku atau Akuntansi. Teman lain ada yang mengajar ekonomi, ada yang mengajar Hitung Dagang. Minggu-minggu pertama dan kedua kami diberi kesempatan orientasi lingkungan, orientasi kelas ketika pak Gik (Drs Sugiarto) guru pembimbing mata pelajaran akuntansi sedang mengajar. Membuat jadwal kegiatan Praktek, membuat persiapan mengajar Akuntansi kelas 1. Bagiku penguasaan materi pelajaran bukan masalah, karena akuntansi atau tata buku aku bisa. Karena aku alumni SMEA jurusan Tata Buku. Yang saya merasa kurang siap adalah justru mental malu dan kurang percaya diri, berdiri didepan para siswa.Untuk mengurangi rasa malu dan kurang Percaya Diri, maka beberapa bulan sebelum melaksanakan kegiatan Praktek mengajar saya ikut kegiatan Teater di Bengkel Muda Surabaya dan Beladiri silat Perisai Diri di Kampus IKIP. Hasilnya lumayan, dapat menolong penampilan saya dalam melaksanakan praktek Mengajar. Memang minggu-minggu pertama sampai kedua, mengajar masih grogi, gugup, muka merah, suhu badan naik, gerah dan berkeringat. Terkadang pikiran jadi blank tiba-tiba kehabisan kata-kata. Awal-awal saya dan Wahyu Aji teman saya, selalu masuk bersama-sama ke kelas didampingi pak Gik. Bila saya sedang mengajar, Wahyu yang mencatat segala tingkah laku saya dalam mengajar, baik yang positif maupun negative. Wahyu memberi masukan kepadaku, selain pak Gik sebagai pembimbing. Demikian juga sebaliknya bila Wahyu mengajar, tugas saya mencatat dan memberi masukan padanya selain dari pak Gik. Nilai praktek yang diberikan oleh pak Gik merangkak dari hari kehari mulai dari 6,00 sampai akhirnya 8,00 dengan berbagai saran perbaikan.
Dentang bel tanda masuk atau pergantian jam pelajaran masih mengagetkanku bila ada jadwal mengajar. Sambil berjalan kekelas, saya tenangkan degup jantung, dengan menarik nafas dalam-dalam, lalu dihembuskan pelan-pelan melalui hidung. Sampai dikelas diam sejenak baru kemudian mengucapkan salam kepada para siswa setelah berhasil menenangkan diri. Demikan selalu berulang-ulang saya lakukan ketika mengajar, tidak terasa sebulan, sudah dilalui, dua bulan, tiga, empat bulan selesai sudah kegiatan praktek mengajar yang paling saya takutkan selama kuliah di IKIP.
Setelah itu memasuki masa Kuliah Kerja Nyata (KKN). Saya KKN di SMA Negeri Jombang. Setiap hari mengajar pelajaran ekonomi dan yang paling susah kalau disuruh mengisi di kelas yang kosong tidak ada gurunya. Dengan jam terbatas hanya sekitar dua jam pelajaran, tetapi kalau tidak ada persiapan hanya sekedar spontanitas juga susah. Kreativitas guru benar-benar ditantang disini. Kalau mengajar kan ada materi yang sudah dipersiapkan tidak masalah, ini kalau spontanitas, susahkan. Belum lagi kalau disuruh mengisi ekstra kurikuler Pramuka misalnya kami para mahasiswa kelabakan kalau tidak pernah ikut pramuka. Jadi selama KKN ini kami banyak mengambil pengalaman dari guru pembimbing, guru senior disekolah itu. Jangan berlagak sok pintar kalau memang belum bisa, malu bertanya sesat dijalan akhirnya. Seandainya saya memang sejak awal suka jadi guru seperti teman saya Rofi’i itu maka tidak ada masalah. tetapi karena saya awalnya kurang berminat jadi guru maka susah sekali untuk menjiwai sebagai seorang guru. Dengan susah payah dengan batin yang tersiksa, KKN selama tiga bulan bisa terselesaikan.
Tahun kelima adalah waktu pembuatan skripsi dan ujian skripsi. Saat ini sudah tidak ada masa perkuliahan maka saya bisa lebih santai dan banyak waktu untuk penyelesaian skripsi. Tetapi rencana Allah memang beda dengan rencana manusia. Proposal judul dan kerangka skripsi yang kuajukan kepada dosen pembimbing tidak segera mendapatkan persetujuan. Satu dosen berinisial Sht dengan mudah dan cepat langsung menyetujui proposal skripsi saya. Satu dosen lainnya berinisial Lqm, sulit sekali saya temui. Kalau ditemui di kampus jawabnya sibuk, kalau ditemui dirumahnya dia tidak bersedia menemui selalu begitu. Entah apa salahku pada dosen itu sehingga dia mendzolimiku. Sebulan, dua bulan tiga bulan masih belum kelar juga membuatku frustasi. Ada rasa malas dan berat mengurus penyelesaian skripsiku. Untung temanku berinisial ASR yang dulunya teman segroup belajar bersama, sudah melanjutkan ke Program S1 datang mensuport agar aku tidak berputus asa.
“Ketika kuliah diprogram Sarjana muda dulu kaulah pelopor kami, eh kini dunia sudah terbalik, ayolah kawan” begitu sindirnya.
“Aku menjadi frustasi karena perlakuan pak Lqm yang tidak segera menyetujui proposalku judul dan kerangka skripsiku” jawabku
ASR memberi saran yang dan menurutku sangat masuk akal. Membuatku bangkit dan ditemani olehnya menghadap sang dosen. Seperti mukjizat, proposal skripsi langsung disetujui. Alhamdulillah tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan asal tidak berputus asa. Lalu dengan semangat menggebu, satu persatu kuselesaikan dan akhirnya urusan skripsi siap. Ujian skripsi tidak menjadi masalah karena Materi yang diujikan aku lebih tahu dari para dosen itu. Ada satu dosen senior berinisial Hrh yang agak menyulitkan. Yaitu mempermasalahkan tentang penulisan catatan kaki, dan itu dapat kuatasi dengan menunjukkan buku reverensi tentang catatan kaki. Namun masih harus ada revisi beberapa lembar dan aku bisa menerima. Subhanalloh akhirnya semua beres dan aku dinyatakan lulus skripsiku, dan tidak lama kemudian ikut diwisuda tahun (1977) dengan menyandang gelar Sarjana Muda dalam waktu lima tahun.
1.5. Memanfaatkan Waktu Luwang.
Diatas telah saya ceritakan bahwa aku sempat frustasi menunggu persetujuan proposal skripsiku. Sungguh masa ini membuatku galau karena banyak menganggur. Kucoba melamar pekerjaan ke berbagai kantor. tak satupun menerimaku. Sedikit demi sedikit aku menjauhi hubungan dengan teman-teman kampus, lebih mendekat ke pergaulan anak-anak teater Bengkel Muda, dan pergaulan anak kampung petemon. Pergaulan dengan anak muda di Bengkel muda membawaku lebih menjiwai hidup ala seniman yang tentunya ada segi positif maupun negatifnya. Sayangnya aku lebih banyak menjiwai segi negatifnya, misalnya dalam hal berpenampilan, dan berperilaku. Mendekat kepada anak kampung Patemon, kebanyakan mereka sudah tidak sekolah atau putus sekolah, mereka bekerja sebagai tukang duco (cat mobil). Kebiasaan mereka pada malam minggu bersenang-senang mencari hiburan terkadang mo limopun dilakoninya, karena mereka punya uang gajian setiap sabtu. Sebetulnya aku sudah menahan diri untuk tidak terpengaruh tetapi karena kesepian dan tidak ada pekerjaan maka akupun terbawa arus juga. Urusan cinta dengan seorang wanita inipun membuatku fustasi karena ternyata dilamar teman sekampung kami, yang segala sesuatunya lebih mapan lebih siap dibanding saya. Sungguh kutak kuasa mempertahankan kehidupan secara positif.
Untuk keluar dari kondisi negatif itu aku harus berusaha keras mencari pekerjaan. Alhamdulillah berkat koneksi Paklik dan kakakku maka aku bisa bekerja di Perum Perhutani Kantor Pelaksana Ekspor di daerah Tandes, pada bagian Kepegawaian. Awal mula Status kepegawaian adalah “Pegawai harian Lepas Terbatas (PHLT)” Disini saya hidup lebih tenang, lebih terarah. Walau upahnya kecil ternyata kubertahan sampai dua tahun lebih disini (1978-1980. Sampai suatu saat pak Asisten Administrator bapak Hyn memberi saran
“jangan buang waktu, sebaiknya adik melamar menjadi guru saja itu lebih pas, sesuai ijasah yang dimilikinya. Kalau berharap bisa berkarir disini lama, dan tidak ada kepastian pengangkatan. Perhutani itu kan punya sekolah sendiri dan lulusannya pasti diangkat dengan pegang jabatan langsung, paling tidak kepala meja. Sekali lagi pikirkan di gurupun semakin lama lulusan guru juga banyak dan yang lulusan lama juga akan terdesak oleh yang baru lulus karena masih fresh.”
Kurenungkan benar-benar saran pak Hyn itu, sampai akhirnya kumengambil keputusan. Dalam kegalauan aku pulang kampung ke Dongko. Maksudnya mau cari kerja disana saja atau bertani saja. Dikala menganggur kukerjakan bersih-bersih rumah, perbaikan, pengecatan dinding, pagar, lantai rumah. Sampai suatu saat kubertemu Pak Wjt kepala SMP 45 Dongko. Kukatakan maksud hati untuk membantu mengajar disana. Ringkas cerita aku diterima dan kemudian mengajar di SMP itu. Aku tidak terlalu berpikir digaji berapa, yang penting bagiku adalah mencari kesibukan yang positif. Aku merasa ayah ibuku pasti merasa kecewa dengan kondisi seperti ini. Aku satu-satunya anak yang dibiayai kuliah di Surabaya ternyata hasilnya masih menganggur seperti itu, tapi harus bagaimana ?
1.6. Diangkat PNS sebagai Guru di SMK.
Ketika masih kerja di Perhutani KPE Tandes Surabaya kupernah mencoba tes PNS dua kali di Surabaya. Tes Pertama tidak lolos. Tes kedua ku titip no tesku ke Bude Wiendari Poerwo untuk dititipkan kepada Pak Wly. Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur yang kebetulan masih ada hubungan saudara dengan beliau. Dengan harap-harap cemas, sambil menunggu pengumuman penerimaan PNS itu ku menyibukkan diri mengajar di SMP 45 Dongko. Disini adalah pilihan terpaksa karena tidak ada pilihan lain. Aneh melihat murid-murid yang lugu dan sederhana, timbul keiginan saya untuk membantu mengajak mereka untuk maju, bercita-cita tinggi, berpendidikan tinggi. Kini saya mengajar lebih serius, lebih menjiwai, dengan segala ketulusan hati. Disambut gairah belajar, keingin tahuan para murid membuatku kerasan mengajar disekolah ini. Sayang keadaan itu hanya berlangsung satu semester, karena aku ternyata telah lulus menjadi PNS. Mau tidak mau aku harus meninggalkan mereka yang sudah mulai saling respon, saling mencintai sekolah dan belajar.
Tahun 1981 saya mendapat Surat keputusan sebagai Guru SMEA Negeri Blitar. Dengan mantap suatu hari aku menghadap Kepala sekolah, untuk siap menjai guru di SMEA Negeri Blitar. Tetapi apa yang terjadi ? Saya ditolak, dengan alasan sudah ada GTT yang memegang pelajaran ini, penampilan saya tidak seperti guru, tidak meyakinkan. Dengan penolakan ini saya berjanji pada diri saya sendiri untuk menjadi guru yang berprestasi. Kuminta Kepala sekolah menulis penolakan saya untuk saya bawa kembali ke Dinas Pendidikan Jawa Timur. Disana saya katakan tidak bersedia menjadi guru di SMEA Blitar. Saya minta ditugaskan di sekolah lain saja. Ada dua tawaran dari petugas dinas Pendidikan Jawa Timur yakni di SMEAN Bangkalan dan SMEA Negeri Kraksaan. Dengan segala pertimbangan dan mungkin sudah di rencanakan Tuhan, maka aku memilih bertugas di Kecamatan Kraksaan Kabupaten Probolinggo. Disini karena masih baru dinegrikan. Jadi saya satu-satunya guru PNS selain Kepala Sekolahnya.
oooOooo
Komentar
Posting Komentar